Dosen HI Universitas Al
Azhar Indonesia, RM Luthfi, yang juga kandidat PhD di NCCU Taiwan menyampaikan
analisisnya.
Berikut catatan yang dikirimkan Luthfi ke kumparan,
Senin (8/1).
Paslon 01.
Dalam
catatan saya, Anies Baswedan tidak terlalu banyak berbicara mengenai isu
kekuatan militer atau alutsista, kecuali mempertanyakan mengenai rencana
pembelian alutsista bekas. Padahal, oleh para pemerhati hubungan internasional
dan fans forum militer dalam negeri, Anies sangat ditunggu penjelasannya
mengenai blue water navy, otomatisasi & supremasi udara, alutsista
network-centric, transfer teknologi, pencapaian Minimum Essential Force (MEF),
dan peperangan hibrida, misalnya. Hal-hal tersebut sebenarnya tercantum dalam
dokumen visi-misi paslon 01 dan banyak diapresiasi oleh pemerhati pertahanan.
Bagian ini menjadi hal yang kurang dan tidak imbang dijelaskan oleh paslon 01,
bahkan terkesan ia tidak menguasai isu perangkat keras dalam pertahanan. Hal
yang bisa menarik pemilih adalah janjinya untuk meningkatkan anggaran
pertahanan menjadi 1-1,5% dari PDB.
Di
lain pihak Anies Baswedan juga perlu diapresiasi karena berkali-kali
mengingatkan publik mengenai ancaman-ancaman keamanan yang datang ke objek
terkecil, yaitu keluarga (dan individu). Statement 01 mengenai ancaman virus
(pandemi), serangan siber, (human) trafficking, narkoba, dan judi online,
terhadap keluarga merupakan isu keseharian yang seringkali luput atau diremehkan
negara. Padahal, ancaman-ancaman non-tradisional yang disebut 01 ini, lebih
sering terjadi dan tidak kalah penting dan sama-sama dapat membuat kerugian
besar bagi negara, sebagaimana kerugian yang ditimbulkan dari perang militer.
Anies
juga nampak sangat memahami bagaimana Indonesia perlu dikembalikan sebagai
pemain utama, penentu agenda dan arah dalam berbagai forum internasional. Perlu
diakui ini hal yang bagus, mengingat Indonesia berulangkali mewarnai arah
kebijakan internasional seperti dalam Dasasila Bandung, formulasi UNCLOS, Bogor
Declaration, Jakarta Informal Meeting, Bali Democracy Forum, dst. Janji Anies
ini akan sangat menarik bagi publik yang melek dan mengidamkan posisi besar
Indonesia di mata dunia. Hal ini juga didukung dengan kapasitas Anies dengan
latar belakang pendidikannya yang memadai untuk membawa Indonesia dengan
presidennya hadir dan mewarnai dalam berbagai forum regional dan internasional.
Akan sangat ditunggu jadinya bagaimana Anies akan memperjuangkan agenda dan
solusi bagi penjajahan terhadap Palestina oleh Israel saat ini.
Anies
juga sangat bagus dalam membawa isu soft power dengan menyatakan pentingnya
kekuatan ekonomi dan budaya (dengan contoh film dan seni), dan pelibatan
diaspora Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan posisi Indonesia.
Investasi terhadap rumah kuliner dan memperkenalkan masakan Indonesia sehingga
bernilai devisa dan menjadi kekuatan budaya, merupakan hal yang tidak
diprioritaskan oleh pemerintahan sebelumnya. Padahal, Korea dan Thailand telah
mengambil banyak keuntungan dari langkah ini.
Namun,
sebagai kesimpulan, saya tidak melihat debat semalam merupakan kemenangan
Anies. Kurangnya penjelasan mengenai penguatan pertahanan dari sektor alutsista
dan upaya modernisasi militer, malah membuat imej 01 yang tidak menguasai
sektor pertahanan dan keamanan. Persoalan etika dan kegagalan Menhan Prabowo
yang beberapa kali dieksplorasi oleh 01, membawa 01 luput membahas isu penting
lainnya: modernisasi militer Indonesia dan industry pertahanan sebagaimana yang
ia bahas dalam visi dan misinya.
Paslon 02
Menurut
saya, jelas debat semalam bukanlah milik Prabowo Subianto. Alih-alih menjadi
isu yang ia kuasai dan menjelaskan berbagai kebijakan yang telah diambil,
Prabowo justru terpantik menjadi lebih emosional.
Paslon
02 terlihat menyampaikan hal-hal normatif dan menjadi hal biasa dalam politik
luar negeri Indonesia seperti bebas-aktif, melanjutkan kebijakan non-blok,
serta menjaga posisi Indonesia dalam rivalitas antara Tiongkok dan Amerika
Serikat.
Ada
hal yang mengingatkan saya akan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia era SBY
saat Prabowo menyatakan thousand friend are too few, one enemy is too many dan
good neigbour policy. Dalam kenyataannya, justru kepentingan nasional yang
harus selalu dikedepankan, bahkan jika terpaksa menjadi assertif dan terhadap
tetangga dan negara sahabat.
Misalnya
saat menghadapi agresifitas China di Laut China Selatan, Skema pembiayaan KCIC
yang membengkak, dst.
Padahal,
dalam pertanyaan sebelumnya, Prabowo jelas menyatakan akan memperjuangkan
kepentingan nasional dan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang telah
mengalami adu domba dan pencurian kekayaan SDA beratus-ratus tahun sebelumnya.
Saya
menduga, prinsip kebijakan luar negeri yang soft yang diperlihatkan oleh 02,
merupakan bagian dari upaya menghindarkan atribut citra terhadap Prabowo yang
dikesankan tegas dan keras sebagaimana karakter individu berlatar belakang
militer.
Ada
hal bisa diapresiasi kepada Prabowo adalah saat ia membuka empat fakultas baru
di Universitas Pertahanan, yaitu STEM (science, technology, engineering, and
mathematics). Negara-negara maju dalam industry pertahanan dan alutsista memang
memberikan investasi besar dalam empat bidang ilmu tadi.
Namun,
alih-alih membuka empat fakultas baru, mengapa ia tidak menyinergikan kebutuhan
pertahanan dengan kampus-kampus terkemuka yang sudah memiliki empat fakultas
tadi? Daripada membuka kampus baru dengan anggaran yang pasti tersedot untuk
penyediaan gedung, dosen, lab, dan beasiswa mahasiswa, mengapa ia tidak
memperbesar saja dana riset untuk pertahanan yang ia bisa gelontorkan kepada
kampus terkemuka yang ditugaskan meneliti mengenai pengembangan drone, roket,
rudal, radar, chip, material terbaru, dsb. Atau, ia bisa juga meningkatkan
sarana dan prasarana laboratorium untuk riset dan inovasi pertahanan di
berbagai BUMNIS dan Puslitbang tiga matra.
Ada
hal yang menjadi kesalahan Prabowo saat ia menjelaskan bahwa Gaza ditindas
karena memiliki militer yang lemah. Nampaknya Prabowo lupa bahwa Palestina
belum sepenuhnya menjadi negara dan belum mampu memiliki militer nasional.
Perlawanan terhadap Israel saat ini merupakan perlawanan oleh sayap-sayap
militer organisasi di Palestina yang tidak memiliki kemampuan menjadi militer
nasional karena status Palestina, berbagai embargo, dan blokade Israel terhadap
Palestina.
Paslon 03
Ganjar
Pranowo tampil memukau dalam debat III ini. Di luar dugaan, ia justru tampak
memahami dan punya pengetahuan yang cukup luas pada isu-isu luar negeri dan
pertahanan- keamanan. Perlu apresiasi kepada tim di belakang 03 yang telah
memberi masukan dan pembaharuan isu kepada 03 sehingga ia bisa tampil
meyakinkan dan membawa data.
Terdapat
beberapa pernyataan yang menarik dari 03 dan bisa menjadi bahan diskusi lebih
lanjut. Misalnya saat ia mau meredefinisi politik luar negeri bebas aktif.
Menjadi pertanyaan apakah ia mau membawa Indonesia keluar dari posisi di
‘tengah’ dan jelas mendekat kepada salah satu major power? Kemana 03 mau
membawa Indonesia? Apakah mendekat kepada Tiongkok atau Amerika?
Ia
juga menyebut stagnasi keberlanjutan Code of Conduct dalam menyelesaikan
konflik di Laut China Selatan. Ada hal menarik saat ia menyatakan perlunya
solusi kesepakatan sementara untuk LCS.
Sayang,
ia tidak elaborasi lebih lanjut untuk solusi ini. Lalu, Sistem Pertahanan
Rakyat Semesta (Sishanta), penataan ulang gelar pasukan karena ibukota baru
(IKN), dan janji meningkatkan anggaran pertahanan 1-2% dari PDB merupakan
indikator bagaimana 03 tampak lihai dalam mencoba menarik dukungan dari pemilih
yang meminati isu pertahanan.
Namun,
ada beberapa catatan kritis untuk 03. Di luar dari pengetahuan yang
komprehensif mengenai isu pertahanan, Ganjar cenderung BOMBASTIS dan OBRAL
JANJI. Salah satunya adalah saat ia menyebutkan mau menguasai teknologi
hypersonic missile dan teknologi SAKTI (Perkasa dengan Keunggulan Teknologi
5.0).
Gagasan
tersebut tampak keren tapi sebenarnya kosong karena Indonesia belum menguasai
banyak teknologi menuju teknologi hypersonic missile. Saat ini, hanya China,
Rusia, dan Amerika Serikat yang sudah memiliki teknologi ini. Saat ini
Indonesia belum memiliki teknologi yang mature untuk roket dan kendalinya, dan
masih memfokuskan ke teknologi roket tanpa kendali. Banyak kesenjangan
teknologi yang Indonesia kejar sebelum mencapai teknologi hypersonic missile.
Saat ini Indonesia belum bisa membuat rudal yang berkecepatan subsonic,
supersonic, dan masih harus impor untuk berbagai rudal yang mempersenjatai
kapal perang, pesawat tempur, dan anti serangan udara. Miris, saat ini banyak
kebutuhan rudal di angkatan laut yang belum dilengkapi karena kekurangan
anggaran.
03
juga tidak menjelaskan apa itu SAKTI dengan teknologi 5.0. Ini seperti
mengulang trik Jokowi yang menjanjikan Industri 4.0 tetapi juga minim dalam
eksekusi.
Tidak
bermaksud mengecilkan upaya Indonesia dalam mencapai teknologi maju, namun,
seharusnya 03 fokus kepada bagaimana mengejar ketertinggalan teknologi
alutsista dengan langkah yang lebih masuk akal. Misalnya adalah memperbaharui
dan melanjutkan konsep MEF menjadi Ideal atau Optimum Essential Force, langkah
taktis meningkatkan anggaran pertahanan di saat yang sama tetap meningkatkan
kesejahteraan negara secara umum.
***
kumparan.com