Tim Kampanye Calon
Legislatif maupun Calon Presiden dan Wakil Presiden sibuk turun ke kantung
suara dapil masing-masing. Semua beradu warna, jargon, teknik marketing dalam
“memasarkan wajah” agar dikenal masyarakat. Teknik kemasan atau tampilan
kreatif untuk menarik perhatian itu kini kerap dikenal dengan istilah
“gimmick”.
Semuanya mencari ceruk
kekhasan profil masing-masing dengan harapan si pemilik suara tertarik, jatuh
hati dan pada akhirnya mencoblos nama mereka di tanggal 14 Februari nanti. Hal
tersebut dilakukan karena keinginan mendongkrak elektabilitas calon.
Jargon-jargon unik seperti: “Mamah Muda”, “Papah Muda”, Jilbab Pink” berjejalan
di mata kita.
Kutipan pantun atau
lirik lagu viral yang mungkin tidak memiliki konteks politik juga kebagian
tempat seperti: “Cikini Ke Gondangdia Aku Begini Gara-Gara Dia”, “Selain Cari
Suara Juga Cari Istri” dll. Calon Presiden yang berjumlah 3 Pasangan Calon
(Paslon) juga tak luput dalam perlombaan memompa elektabilitas.
Anies-Muhaimin misalnya
belakangan mulai mencoba fitur “live”di media social tiktok. Langkah itu segera
“diikuti”oleh Paslon lain seperti Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tiktok tentu
dianggap salah satu platform media yang menjanjikan untuk menjaring perhatian
pemilih.
Berdasarkan data We are
Social dan Hootsuite, pada tahun 2023 pengguna Tiktok di Indonesia berjumlah
106,52 juta. Sebelumnya Pasangan Calon No 2 yaitu Prabowo-Gibran menghadirkan
kampanye dengan menggunakan Artificial Intelegence (AI). Foto, baliho, spanduk
mereka muncul dengan gambar kartun AI yang unik. Bahkan relawan Prabowo-Gibran
Digital Team (PRIDE) tercatat memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI)
sebagai Tim Relawan Pertama yang menggunakan Kecerdasan Buatan/Artificial
Intelligence (AI). Pasangan ini juga viral dengan “Joget Gemoy”.
Cara ini dianggap jitu
untuk mengubah image yang selama ini melekat pada sosok Prabowo yang dianggap
keras, kaku menjadi sosok yang terbuka, santai. Langkah menggunakan
tarian/joget disebut-sebut hasil copy paste pola kampanye Bong-Bong di
Filipina.
Berbagai platform
tersebut kita sebut sebagai kampanye. Kampanye dirumuskan oleh Rogers dan
Storey (1987) sebagai sebuah proses komunikasi yang berlangsung secara
terlembaga dan memiliki keinginan atau tujuan menghadirkan suatu dampak
tertentu dan dilangsungkan dalam kurun waktu tertentu.
Dari berbagai hiruk
pikuk jenis kampanye yang digunakan para calon presiden dan wakil presiden
serta para calon legislatif, pertanyaan yang muncul dan tak kalah penting
adalah, seberapa jauh para pemilih memahami seluk beluk pemikiran, gagasan,
visi-misi dan cita-cita dari para calon?
Kita mungkin bisa
menjawab dengan sederhana dan singkat: visi-misi, gagasan, cita-cita para
paslon bisa dipaparkan, dieksplore melalui Debat Capres-Cawapres yang digelar
Komisi Pemilihan Umum. Debat Capres dijadwalkan sebanyak 3 kali, sedangkan
Debat Cawapres 2 kali.
Selain itu visi-misi
Capres-dan Cawapres dapat diakses secara tertulis dengan masing-masing berjumlah
148 lembar dan berjudul “8 Jalan Perubahan” untuk Paslon 1, Paslon 2 berjumlah
89 halaman berjudul”Asta Cita” serta Paslon 3 berjumlah 62 halaman dengan judul
“8 Gerak Cepat Ganjar Pranowo & Mahfud MD”. Paslon 1 bahkan meluncurkan
agenda yang dinamai “Desak Anies”. Sebuah platform kampanye baru dengan
menghadirkan kampanye dialogis Bersama pemilih muda.
Namun, berapa banyak
masyarakat yang mempertimbangkan dan memilih berdasarkan perhitungan logis?
Survei Litbang Kompas 2023 merilis angka bahwa terdapat beberapa alasan yang
mendorong seseorang memutuskan pilihan suaranya, yaitu memilih karena sosok
tokoh berpengaruh di dalam partai meraih persentase tertinggi yaitu 35,9
persen.
Sedangkan alasan
memilih karena program kerja partai sebesar 14 persen, karena visi dan misi
partai 12,2 persen, karena ideologi partai sebanyak 9,9 persen dst. Tentu yang
menjadi harapan ideal adalah bagaimana kultur politik Partisipan menjadi kultur
politik yang umum di Indonesia.
Almond dan Verba (1990)
merumuskan pemahaman mengenai budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang
khas warga negara terhadap sistem dan aspek politik lainnya, serta sikap pada
keterlibatan warga negara yang terdapat dalam system tersebut. Di mana kultur
politik Partisipan tidak hanya ditandai dengan pemahaman dan kesadaran yang
cukup mengenai politik, memahami hak dan kewajibannya sebagai negara dan
bersikap kritis terhadap politik.
Untuk mengembangkan
masyarakat demokratis di Indonesia, setiap warga negara perlu berpartisipasi
secara aktif, tidak sekadar menerima dan mengikuti tuntutan pihak yang
membutuhkan suara pemilih, namun juga berpartisipasi dalam pemerintahan,
sehingga demokrasi sistem pemerintahan dapat terwujud dengan baik dan tidak
terjebak dalam kubangan politik gimik belaka.
Dengan kata lain,
menikmati gimik para calon sah-sah saja, namun jika kita menginginkan hadirnya
wakil rakyat atau pemimpin terbaik di Pemilu 2024, maka mencermati rekam jejak
dan gagasan mereka menjadi kebutuhan. Tidak bisa ditawar!
Tanpa itu, pemilu hanya
akan menjadi “pesta” demokrasi saja, tanpa edukasi politik ke publik.
Ironisnya, di tengah keinginan kita untuk menaikkan kelas partisipasi warga,
terdapat kekhawatiran civil society justru terjebak dalam kolam dukungan antar
kubu yang kerap membutakan idealisme.
Misalnya ada timses
yang mengatakan bahwa efek debat ke pemilih sangat kecil, dengan begitu mereka
akan lebih fokus ke gimmick dan canvassing. Ada pula lembaga survei yang terus
memompa framing “satu putaran”, seraya menyimpulkan secara sepihak bahwa
pemilih butuh pemimpin yang gimmick-nya diterima masyarakat, dan mengatakan
debat kurang berefek.
Mungkin hal tersebut
valid dan dikonfirmasi melalui pertanyaan survei, namun sebagai bagian dari masyarakat
sipil yang bertanggung jawab mengawal konsolidasi demokrasi kita, perlu
“pemihakan” terhadap nilai bersama. Salah satunya berupa pemihakan bahwa
demokrasi harus sehat, kuat dan semakin berkualitas.
Itu hanya bisa terjadi
bila publik terbiasa untuk memilih karena pertimbangan rasional, dan bukan
gimmick yang non substansial. Jadi untuk sesuatu yang menjadi “kebutuhan
nasional”—menaikkan kualitas demokrasi kita—maka perlu pemihakan dari kita
semua yang ingin demokrasi dan pemilu semakin berkualitas.
Jadi, politik gimik
emang boleh? Tentu boleh saja. Sah-sah saja. Tapi jangan lupa, penggunaan
gimmick harus proporsional dan jangan overdosis, karena masyarakat juga wajib
kita jaga dari jebakan politik gimik yang ilusif.***