MENENUN - Ditia Fandu tampak sedang menenun di rumahnya di Rote, NTT Senin 15 Januari 2024. |
Kisah itu datang dari
pasangan suami-istri (pasutri) yang berdomisili di kampung pinggiran kota,
Sebelah Kali, Kelurahan Namodale, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao.
Jarak pemukiman Sebelah
Kali dari jantung Kota Ba'a kira-kira 750 meter dengan waktu tempuh dua menit.
Tidak muluk-muluk,
sederhana saja untuk pergi menyaksikan kisah dalam album pasutri yang
menginspirasi itu.
Melewati Gereja St.
Kristoforus Ba'a sejauh 300 meter, lalu belok kiri ke seberang jalan.
Perjalanan itu tidak
mulus-mulus saja, terdengar aliran air kali di jembatan kecil, mengiringi
perjumpaan bersama pasutri terkasih.
Dan muncul pertanyaan
di benak, apakah mereka yang melambaikan tangan?
Hmm..namun bukan
mereka, orang yang dimaksud. Hanya senja di pelabuhan kecil yang ikut menghiasi
perjumpaan dengan pasutri.
Maju selangkah, di
helai-helai kain penuh ukiran, nampak seorang ibu tersenyum menghiasi raut
wajah yang cantik.
Kala itu, sang kekasih
hati sedang bepergian.
Pasutri itu bernama
Derbi Yami dan Ditia Fandu.
Desiran angin pantai
disertai lembutnya rayuan ombak merapikan simpul benang di genggaman Ditia
Fandu.
Ditia nampak sedang
merajut benang terindah bermotif daun lontar dengan tangan maju mundur seirama
menyatukan sejumlah benang yang disusun berbaris sembari menunggu giliran.
Ditia, penenun kain
tradisional orang Rote, bekerja keras melawan tantangan zaman.
Apa boleh buat, ibu
dari lima orang anak ini melestarikan kearifan lokal orang Rote lewat tenun
ikatnya.
"Saya menenun
sejak dari kecil. Ini pekerjaan turun temurun dari orang tua saya," ungkap
Ditia Fandu, Senin, 15 Januari 2024.
Dalam sebulan, Ditia
mampu menyelesaikan selembar sarung atau selimut tenun ikat.
Selain sarung atau
selimut, Ditia juga menenun kain selempang. Sekali menenun, dia mampu
menghasilkan enam lembar kain selempang.
Ditia menjual hasil
tenunannya di beranda rumah.
Ayah Menjual Tenun
Selain dipajang di
beranda rumah, sang pendamping hidup, Derbi Yami ikut andil dalam penjualan.
Keluar pagi, pulang
sudah senja, Derbi pergi menjual kain tenun sang istri di pasar-pasar rakyat
wilayah Kabupaten Rote Ndao.
"Hasil tenunan,
dipajang di teras rumah. Saya dengan suami juga bekerjasama. Saya menenun dan
suami yang menjual di pasar," ungkap Ditia.
Derbi dan Ditia juga
menggunakan platform media sosial sebagai instrumen penjualan kain tenun
mereka.
Kisaran harga tenun
yang dijual Derbi dan Ditia senilai Rp.750.000 hingga Rp. 1.000.000, tergantung
motif yang ditawarkan.
Sementara harga
selempang atau selendang yang dijual senilai Rp. 50.000 hingga Rp.100.000.
"Kalau selempang,
harganya tergantung dari yang bisa dicuci, sedikit lebih bernilai dengan harga
Rp.100.000 dan yang biasa Rp.50.000," sebut Ditia.
Dia selalu bersyukur
dengan hasil yang diperoleh dari menjalankan profesi sebagai penenun.
Sekolahkan Anak
Dari uang hasil
penjualan tenun, Derbi dan Ditia mampu menyekolahkan anak sulung mereka hingga
ke jenjang perguruan tinggi.
"Puji Tuhan, kami
bisa kasih sekolah anak. Anak pertama sudah kuliah di perguruan tinggi,"
pungkas Ditia.
Pasutri sumringah itu
tak lupa bersyukur pada Sang Khalik.
Untuk diketahui, Dinas
Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rote Ndao mencatat di
tahun 2023 jumlah penenun ikat sebanyak 1.042 orang.
Kemudian jumlah
produksi tenun tembus 100.061 lembar kain dengan nilai produksi hingga
Rp.42.360.060.000 dan nilai BB/BP mencapai Rp. 23.089.711.000. (rio)