Keresahan ini muncul
akibat dipotongnya anggaran pangan dari pemerintah Jerman. Namun keresahan yang
paling jauh adalah dengan pemotongan subsidi ini tentu akan berpengaruh pada
produksi pertanian Jerman, mengingat negara ini merupakan salah satu negara yang
cukup banyak mendatangkan bahan pangan dengan mekanisme impor.
Berbicara mengenai
pangan, permasalahan mengenai keresahan pangan dan terkonsentrasinya akan isu
ini sudah muncul sejak tahun 1970-an. Isu ini beberapa kali dibahas di level
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengadakan beberapa kali Conference of
the Food and Agriculture Organization yang diawali pada bulan Desember tahun
1974 di Roma.
Seiring berjalannya
waktu, beberapa negara seperti China, Thailand dan vietnam sudah mengambil
langkah seperti membangun Bank for Agriculture dan Agricultural Cooperatives
(BAAC), sementara di China terdapat Agricultural Bank of China (ABC) dan
Vietnam mengembangkan Bank for Agricultural Development (Agribank). Hasilnya
adalah organisasi-organisasi finansial itu memberikan suntikan dana untuk
mengembangkan pertanian di mana angka serapannya berkisar antara 14% untuk
China, 24% untuk Vietnam dan 17% untuk Thailand (Sara, 2024)
Di Indonesia sendiri,
isu pangan sudah banyak dibicarakan, terutama pada pertengahan tahun 2023, di
mana Presiden memberikan wawasan mengenai kekeringan panjang akibat El Nino
yang akan menimpa Indonesia. Namun sebenarnya isu mengenai pangan ini sudah
dibicarakan.
Bahkan jauh sejak masa
Orde Baru, efek green revolution (Revolusi Hijau) telah mempengaruhi Soeharto
untuk mencanangkan program Swasembada Pangan dalam Repelita (rencana
pembangunan lima tahun) rezim saat itu, sehingga pada tahun 1969 Indonesia
menjadi salah satu negara pengimpor beras.
Sampai saat ini,
Presiden Jokowi dalam pemerintahannya juga mencanangkan program Food Estate
yang menggunakan ruang seluas 2,3 juta hektare di wilayah Sumatera Utara,
Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua, yang belum juga membuahkan hasil atau
diprediksikan belum terealisasi secara baik (Tempo, 31/12/2023). Hal inilah
yang banyak dibicarakan kemudian dalam dalam debat Pilpres 2024 baik untuk
Capres maupun Cawapres beberapa hari yang lalu.
Dalam lanskap lokal,
keresahan akan ketersediaan pangan bukan cuma menjadi wacana semata, karena
daerah-daerah di Indonesia pada tahun ini memang mengalami kekeringan. Beberapa
wilayah lokal di Nusa Tenggara Timur seperti di pulau Flores bagian barat,
khususnya di Kabupaten Manggarai Barat, tepatnya di daerah Lembor, mengalami
kekeringan sehingga mengganggu produksi beras.
Selain itu, di wilayah
Flores bagian tengah pun, curah hujan yang datang terlambat, membuat banyak
tanaman yang sudah tumbuh menjadi kering karena kekurangan air. Di daerah
Kecamatan Nangaroro dan Mauponggo di Kabupaten Nagekeo, banyak petani
mengeluhkan karena gagal tanam dan tentu ini berpengaruh secara ekonomi dan
biaya pendidikan anak-anak.
Keresahan soal
ketersediaan pangan merupakan isu yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Pemanasan global dan kekeringan merupakan ancaman nyata dan bukan hanya sekadar
wacana. Namun hal ini sebenarnya bisa diatasi apabila beberapa langkah bisa
dijalankan secara konsisten. Di tahun Pemilihan Umum ini, di mana terdapat pemilihan
calon pemimpin dan calon wakil rakyat, rakyat mesti bisa melihat secara jelas
dan memilih para pemimpin yang punya visi dan perencanaan serta eksekusi yang
mantap mengenai pangan ini.
Hal ini sangat
diperlukan sebab kebijakan secara masih memang perlu diambil untuk mengarahkan
negara ini menjadi negara yang tidak diselenggarakan di atas kondisi rawan
pangan. Selain di level pimpinan yang lebih tinggi, di level pimpinan daerah
pun, kebijakan-kebijakan untuk mencintai dan melestarikan pangan lokal perlu
digalakkan dan ditumbuhkan sampai pada masyarakat di level lokal.
Kecintaan ini penting
untuk ditumbuhkan, sebab dengan mencintai atau bangga akan pangan lokal bisa
membuat masyarakat menjaga dan melestarikan pangan lokal. Hal itu pada gilirannya
menjadi langkah awal untuk menjaga eksistensi pangan di kantong-kantong
masyarakat lokal, sehingga bisa berkontribusi untuk menjaga stabilitas bangsa.
Program untuk mencintai
dan menjaga eksistensi pangan lokal menjadi program basis untuk pengembangan program
pemberdayaan pangan lokal. Program pemberdayaan untuk pangan lokal itu pada
gilirannya bukan hanya akan mendukung ketersediaan pangan yang dapat
menyelamatkan manusia di wilayah tertentu tetapi juga memungkinkan terciptakan
surplus pangan untuk jadi komoditi dagang yang dapat menggenjot secara perlahan
perekonomian di wilayah tertentu.
Selain itu,
pemberdayaan pangan lokal dapat contoh bagi orang-orang di lain di wilayah mana
pun bahwa proyek pengembangan dan pembangunan melalui pemberdayaan pangan lokal
bisa bukan sebuah wacana belaka, tetapi menjadi fakta yang bisa menyelamatkan
umat manusia dari kepunahan di masa depan
Food is Weapon,
begitulah kata-kata Earl Butz (1974) Menteri Pertanian Amerika Serikat
(Yamaguchi, 2011). Kata-kata ini merupakan peringatan serius bahwa pangan bukan
hal sepele. Pangan bisa menjadi senjata untuk menciptakan keonaran atau sebagai
senjata untuk menguasai, termasuk menjadi isu demokrasi dan politik untuk
mengelola kekuasaan.
Untuk itu perlu langkah
untuk menjaga ketersediaan dan keamanan pangan agar tetap jadi bangsa
berdaulat, negara yang merdeka dan sejahtera. Hal itu bisa dimulai dengan
menentukan pemimpin yang tepat untuk menahkodai bangsa dan negara Indonesia.