Ujaran dan Perbuatan
Manusia sebagai penutur
bahasa dalam berkomunikasi tidak hanya menyampaikan ujaran atau kalimatnya
dengan struktur bahasa atau grammar yang logis dan difahami, tetapi juga
dibalik ujaran atau ucapannya terdapat aksi atau perbuatan yang mengiringi
tindak tuturnya (perlokusi). Debat tentunya tidak hanya dimaksudkan untuk
tujuan sekedar menggali ide atau gagasan para pasangan capres-cawapres, tetapi
lebih dari itu debat juga akan menjadi showcase atau etalase
"sederhana" untuk mengukur sejauh mana etika berkomunikasi, pilihan
kata atau diksi, register dan juga tingkat kesopanan (politeness) peserta
debat. Debat sebagai forum resmi demokrasi bagi rakyat tentunya menjadi sebuah
alat preferensi pilihan politik bagi rakyat. Dengan debat, maka rakyat akan
mengetahui secara singkat bagaimana ide atau gagasan program yang disampaikan
dan juga lebih penting mengetahui sikap (attitude) dari para capres-cawapres
dalam bertindak tutur deklaratif untuk menyampaikan ide, gagasan, kebijakan
atau program yang akan disampaikan untuk 5 tahun mendatang.
Secara umum ada 3 hal
yang patut dijadikan preferensi pilihan oleh para audien atau rakyat dalam
menilai penampilan para pasangan capres-cawapres di dalam forum debat.
Sejatinya, debat tidak hanya menjadi penilaian oleh para panelis dalam forum,
tetapi panelis yang sesungguhnya adalah rakyat Indonesia yang memberikan
pertanyaan atau kritik dan gagasan kepada para pasangan capres-cawapres.
Sebagai sebuah forum akademik dan ilmiah, ada 3 hal yang dapat menjadi
parameter bagi rakyat dalam menilai sejauh mana kapasitas,
kapabilitas,kompetensi dan kualifikasi para pasangan capres-cawapres. Ketiga
hal tersebut adalah parameter kemampuan etika, kognitif dan afeksi pasangan
capres-cawapres dalam forum debat. Kemampuan kognitif bermakna sejauh mana
tingkat penguasaan ilmu, pengetahuan, gagasan, diksi kata atau register,
konsep, deskripsi program, solusi, proyeksi dan hal-hal yang berkaitan dengan
konsep kenegaraan secara luas yang menjadi wewenang pemimpin negara. Kemampuan
afeksi bermakna sikap, perasaan (feelings), kesopanan, etika komunikasi,
toleransi, dan gaya pasangan capres-cawapres dalam merespon, menyangkal,
menyetujui, mendebat dan tindakan verbal dan non-verbal lainnya terhadapa
pertanyaan atau sanggahan terhadap individu pasangan capres-cawapres dalam alur
tanya - jawab (question and answer) di forum debat. Hal ketiga, yaitu etika
berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan kesopanan berbahasa baik
verbal maupun non-verbal untuk menjaga hubungan (maintenance) yang baik antar
individu yang terlibat dalam komunikasi atau interaksi.
Keseimbangan Antara Etika, Kognisi dan Afeksi
Debat sebagai sebuah
forum komunikasi langsung yang terbatas mengingat adanya ketentuan yang
diterapkan dalam berkomunikasi diantara pasangan capres-cawapres adalah
merupakan ujian untuk 3 hal yang penulis sampaikan di awal yaitu ujian etika,
kognisi dan afeksi. Penguasaan dalam menjawab terhadap sebuah tema atau topik
yang ditanyakan oleh panelis atau pertanyaan langsung di antara sesama individu
capres-cawapres tidak kemudian menjadikan individu yang menguasai jawaban atau
konsep kemudian secara berlebihan terkesan menggurui, merendahkan, menafikan
dan sikap lainnya yang menyinggung perasaan peserta debat lainnya. Kemampuan
kognisi yang mumpuni dibarengi dengan penyampaian yang elegan, berwibawa, tidak
menyerang individu, akan semakin berpeluang membuat publik simpati dan
menimbulkan preferensi pilihan terhadao individu yang bersangkutan. Sebaliknya,
kemampuan kognisi yang dindikasikan dengan menguasai tema atau topik jawaban
permasalahan namun terkesan menggurui, meremehkan, dan menjatuhkan akan kurang
disukai oleh publik, mengingat budaya komunikasi masyarakat Indonesia yang
kurang menyukai open-debate terlebih yang sifatnya "menyerang"
personal atau individu capres-cawapres. Keberanian untuk mengafirmasi atau
mengkritisi sebuah kebijakan harus benar-benar berdasarkan fakta dan data yang
valid dan menjadi konsumsi publik dari sumber yang kredibel dan bereputasi
secara keilmiahan data dan laporannya.
Di sisi lain, dalam
ajaran Islam, istilah "adab sebelum ilmu" sejatinya menjadi referensi
sosial bagi para capres-cawapres dalam tampil dan berdialektika gagasan di
forum debat. Penguasaan terhadap sebuah materi yang merupakan aspek kognisi
tidak lantas kemudian mengabaikan etika atau adab dalam menyampaikan ide,
gagasan atau sanggahan yang berbeda dalam menanggapi sebuah perspektif. Para
capres-cawapres sejatinya secara nature tetap mengedepankan etika komunikasi
yang elegan dan berwibawa dalam debat dengan fokus pada kritik gagasan atau
program, bukan kepada personal matters yang acapkali menjadi titik kelemahan
individu.
Power Distance and Politeness
Dalam etika komunikasi,
forum debat sejatinya juga dapat dimanfaatkan pasangan capres-cawapres untuk
menampilkan profil terbaik mereka dalam berdebat. Kematangan emosi dan rasio
menjadi tantangan tersendiri bagi para peserta debat. Posisi otoritas dan
status kedudukan politik masing-masing capres-cawapres juga menjadi penilaian
publik dalam hal menjaga etika komunikasi dan hubungan kekuasaan atau jarak
kekuasaan. Menurut teori interaksi simbolik (symbolic interactionism) yang
dikemukakan oleh Goffman (1959), dalam menjalankan peran sosial (social roles)
yang baik maka manusia harus dapat menciptakan dan merawat komunikasi dengan
baik. Teori tersebut juga menegaskan jarak sosial (social distance) sebagai
karakteristik utama peran sosial. Jarak sosial hanya akan dapat dirawat dengan
adanya kesopanan (politeness), karena kesopananlah yang akan mengatur jarak
sosial sebagaimana dikemukakan oleh teori kesopanan (Politeness Theory) yang
dikemukan oleh Brown and Levinson, 1987).
Forum debat bukanlah
sebuah forum yang main-main. Efek atau output komunikasi verbal (lisan) dan
non-verbal (raut muka, bahasa tubuh atau gesture, gimmick dan tindakan bahasa
atau ekspresi tubuh lainnya), sangat bermakna terhadap konstrukti kesopanan yang
muncul dan dikesankan oleh individu capres-cawapres peserta debat. Peserta
debat benar-benar diuji untuk dapat mengendalikan emosi, mematangkan rasio dan
kognisi, sambil tetap mengedepankan afeksi yang positif, kesopanan dan etika
komunikasi selama debat. Peran sosial para tokoh capres-cawapres yang berbeda
secara hirarkis pengalaman politik dan pemerintahan dan serta karir akademik,
akan mengalami reduksi apresiasi dan simpati dari rakyat apabila mereka
"salah" dalam beretika komunikasi dari pertanyaan-pertanyaan yang
sifatnya prompts dari panelis dan membutuhkan jawaban yang komprehensif dan
solutif dari berbagai persoalan bangsa yang besar ini di masa kini dan
mendatang. Selamat mempersiapkan debat berikutnya sambil tetap menerapkan
strategi meraih simpati preferensi pilihan politik rakyat dengan etika
komunikasi dalam debat yang seimbang antara etika, kognisi dan afeksi.