Kendati demikian,
krisis beras yang melanda NTT telah memperlihatkan sisi lain dari permasalahan
tersebut, sebuah paradoks yang menggambarkan anomali yang lebih dalam sistem
pangan lokal dan aspek sosial budaya, bahwa terdapat surplus produksi pangan
lokal, namun orang NTT masih berupaya untuk memperoleh beras, bahkan dengan
menjual jagung dan umbi-umbian mereka (Kompas, 21 Februari 2024).
NTT meskipun dengan
kodisi iklim yang ekstrim, terlihat sebagai daerah yang kaya akan sumber daya
alam, terutama dalam hal produksi pangan lokal seperti ubi, jagung, sorgum dan
kacang-kacangan. Kajian Yayasan PIKUL NTT menunjukan, pangan lokal seperti ubi,
jagung, sorgum dan kacang-kacangan memiliki kemampuannya bertahan pada kondisi
cuaca yang keras seperti wilayah NTT. Selain itu, beragam jenis pangan lokal
tersebut memiliki nilai nutrisi yang tinggi (https://pikul.id/, 2010).
Namun, ironisnya krisis
beras yang tengah berlangsung telah membuka mata pada fakta bahwa kekayaan
sumber daya alam tersebut tidak selalu menjadi jaminan bagi ketahanan pangan
yang stabil bagi orang NTT. Meskipun produksi pangan lokal melimpah, kebiasaan
konsumsi beras yang telah tertanam kuat dalam masyarakat cenderung
memprioritaskan beras sebagai makanan pokok. Hal ini menciptakan paradoks di
mana meskipun ada keberlimpahan pangan lokal, masyarakat tetap merasa perlu
untuk mencari beras, bahkan dengan menjual sumber daya pangan lokal yang
sebenarnya mereka miliki.
Pangan lokal semisalnya
jagung dan ubi-ubian, telah menjadi salah satu sumber pangan bagi orang NTT,
dan juga salah satu komoditas yang dijual demi mendapatkan beras. Padahal,
kandungan karbohidrat pada makanan lokal, seperti jagung dan umbi-umbian, justru
lebih baik dibandingkan dengan beras (Kompas, 21 Februari 2024). Begitu pula
dengan sorgum dan kacang-kacangan, yang bisa menjadi komponen utama dalam
menjaga ketahan pangan, bila sewaktu-waktu terjadi krisis beras. Namun, dalam
kondisi krisis seperti ini, kebutuhan akan beras mengungguli pertimbangan untuk
mengkonsumsi pangan lokal. Kondisi ini kemudian menyebabkan ketergantungan pada
beras tetap tinggi.
Hampir sebagian besar
kebutuhan beras di NTT disuplai dari luar. Mengutip data Kompas.id (2023) bahwa
produksi produksi beras di NTT hanya mencapai 430.948,5 ton, namun kebutuhan
beras mencapai 642.367,53 ton (Kompas, 20 Desember 2023).
Ketergantungan pada
beras setidaknya juga tercermin dalam pandangan orang-orang NTT, bahwa dalam
sebuah hidangan, dianggap sebagai makanan yang lengkap jika sudah tersedia nasi
di atas meja makan, jika belum tersedia nasi maka itu dianggap belum lengkap.
Pandangan ini tercermin dalam ungkapan populer yang menyatakan bahwa "makan
tanpa nasi bukanlah makanan yang sesungguhnya."
Fenomena ini
menunjukkan bahwa nasi dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
hidangan utama dan dianggap sebagai satu-satunya sumber energi utama dalam pola
makan sehari-hari. Selain sebagai salah satu sumber karbohidrat utama, nasi
juga memiliki nilai simbolis dan sosial dalam budaya makan masyarakat dewasa
ini.
Dalam konteks ini,
penting untuk memahami bahwa krisis beras di NTT tidak hanya bersifat ekonomi
atau logistik semata, tetapi juga mencerminkan aspek budaya dan kebiasaan
konsumsi masyarakat setempat. Ketergantungan pada beras sebagai simbol
kemakmuran dan kecukupan pangan telah mengaburkan pandangan akan pentingnya
memanfaatkan keberlimpahan sumber daya pangan lokal yang sebenarnya tersedia.
Selain itu, aspek
infrastruktur dan aksesibilitas juga memainkan peran penting dalam dinamika
krisis pangan ini. Meskipun produksi pangan lokal melimpah, tantangan dalam
distribusi dan aksesibilitas menuju wilayah pedesaan seringkali menjadi
hambatan bagi masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup. Akibatnya, ketika
terjadi krisis seperti ini, masyarakat cenderung mencari solusi yang paling
mudah dan cepat, meskipun itu dengan menjual sumber daya pangan lokal yang
seharusnya mereka konsumsi sendiri.
Untuk mengatasi krisis
pangan yang sedang terjadi di NTT, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang
tidak hanya melibatkan aspek ekonomi dan logistik, tetapi juga melibatkan
pendekatan budaya dan sosial. Penting untuk mempromosikan nilai-nilai
keberagaman pangan dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memanfaatkan
sumber daya lokal yang ada.
Selain itu, diperlukan
investasi dalam infrastruktur dan aksesibilitas yang memadai untuk memastikan
distribusi pangan yang lancar ke seluruh wilayah, terutama wilayah pedesaan
yang seringkali terpinggirkan. Langkah-langkah ini harus didukung oleh kebijakan
yang mempromosikan produksi dan konsumsi pangan lokal, serta memberikan
insentif bagi petani dan produsen lokal untuk terus mengembangkan dan
memasarkan produk pangan lokal mereka.
Dalam jangka panjang,
penyelesaian krisis pangan di NTT membutuhkan transformasi lebih luas dalam
pola konsumsi dan kebiasaan masyarakat, serta investasi yang berkelanjutan
dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan aksesibilitas. Hanya dengan
pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, kita dapat mengatasi tidak hanya
krisis pangan yang terjadi saat ini, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh
untuk ketahanan pangan yang berkelanjutan di masa depan. Orang NTT jangan malu
makan pangan lokal. ***