Beberapa di antaranya
bahkan telah 20 tahun menjadi anggota dewan.
Calon petahana yang
kemungkinan lolos terjadi pada pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat [DPR]) dan
Dewan Perwakilan Daerah [DPD].
Umbu Pariangu, pengajar
di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nusa Cendana [Undana] Kupang
menilai “ada beberapa wajah baru, tetapi beberapa di antaranya adalah anak
politikus mapan.”
“Mereka beruntung
karena didukung oleh basis elektoral ayahnya”, kata Umbu kepada Floresa pada
22 Februari.
Ia berpendapat
“mandeknya sirkulasi elite politik di NTT” dipicu kombinasi antara lemahnya
kaderisasi oleh partai politik dan kecenderungan pemilih untuk memilih calon
legislatif [Caleg] yang familiar.
“Fenomena tersebut
sejatinya semakin menegaskan kecenderungan psikologi dan budaya masyarakat
pemilih yang masih lebih menyukai sosok-sosok lama,” ujar Umbu.
Para pemilih, tambah
Umbu, “tidak mau repot untuk sekadar memikirkan pilihan mereka pada sosok-sosok
baru yang belum terlalu dikenal.”
Sebaliknya, menurut
Yohanes Jimmy Nami, kolega Umbu di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Undana,
terpilih kembalinya anggota DPR atau DPD petahana menunjukkan kepercayaan
publik kepada mereka.
“Masyarakat masih
meyakini bahwa wajah-wajah lama ini sudah banyak bekerja bagi kemajuan daerah,”
ujarnya.
Karena itu, Jimmy
mengatakan, Caleg baru harus punya strategi yang tepat untuk meraih dukungan
pemilih.
“Harus jelas
diferensiasi profil dan visi politik,” ujarnya.
Bila tidak, kata dia,
maka tidak akan menjadi pilihan alternatif bagi pemilih.
“Karena publik tidak
merasa punya garansi politik untuk mengalihkan dukungan politik kepada Caleg
baru yang belum punya rekam jejak politik,” ujarnya.
Dapil NTT 1: Semuanya Wajah Lama
Merujuk pada HasilHitung Suara Legislatif DPR RI 2024 pada laman resmi KPU, untuk Daerah
Pemilihan [Dapil] NTT I yang meliputi Flores, Lembata dan Alor, kemungkinan
besar Caleg terpilih semuanya petahana.
Berdasarkan data per 22
Februari pukul 11.00 Wita, dari 56,8% TPS yang sudah memasukkan data, enam
partai politik dengan perolehan suara dominan secara berurutan adalah Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan [PDIP], Partai Kebangkitan Bangsa [PKB], Partai
Amanat Nasional [PAN], Partai Nasional Demokrat [NasDem], Partai Demokrat dan
Partai Golongan Karya [Golkar].
Semua Caleg dengan
perolehan suara terbanyak pada masing-masing partai tersebut merupakan petahana
sejak Pemilu 2019 bahkan sebelumnya.
Mereka adalah adalah
Dipo Nusantara dari PKB, Andreas Hugo Pareira dari PDIP dan Melchias Markus
Mekeng dari Golkar, Julie Sutrisno Laiskodat dari NasDem, Ahmad Yohan dari PAN
dan Benny Kabur Harman dari Demokrat.
Mekeng dan Benny sudah
menjadi anggota DPR dari Dapil I NTT selama empat periode, 2004. Andreas juga
menjadi anggota DPR sejak 2004, namun semula mewakili Dapil Jawa Barat IV. Ia
baru menjadi anggota DPR RI dari Dapil NTT I sejak periode 2014-2019.
Sementara Ahmad Yohan
menjadi anggota DPR sejak 2018, menggantikan Syahrulan Pua Sawa. Jalan terbuka
bagi Ahmad ke Senayan setelah Laurens Bahang Dama, yang merupakan peraih suara
terbanyak dari PAN pada Pemilu 2014 meninggal.
Posisi Laurens Bahang
Dama – yang sudah menjabat anggota DPR RI periode 2009-2014 – berdasarkan
kebijakan partai, diisi secara bergantian oleh Syahrulan dan Ahmad.
Sementara, Dipo dan
Julie menjadi anggota DPR dari Dapil NTT I sejak 2019. Julie, yang
merupakan istri mantan Gubernur Viktor Laiskodat, menjadi anggota DPR
menggantikan posisi Johnny G. Plate yang ditunjuk menjadi Menteri Komunikasi
dan Informatika pada 2019.
Dapil NTT: Sedikit Perubahan, Ada Anak Politisi
Ada sedikit perbedaan
di Dapil NTT II yang mecakup kabupaten-kabupaten di Pulau Timor, Sumba, Rote
dan Sabu. Ada perubahan komposisi pemenang, meski sebagian besar tetap
merupakan orang lama.
Merujuk data KPU situs
KPU hingga 22 Februari 2024, pukul 13.00 Wita, tujuh partai dengan perolehan
suara terbanyak secara berurutan adalah Golkar, Demokrat, Nasdem, PDIP, Partai
Gerakan Indonesia Raya [Gerindra], PKB dan Partai Solidaritas Indonesia
[PSI].
Perolehan suara
masing-masing partai masih akan berubah karena jumlah TPS yang memasukan data
perolehan suara baru mencapai sekitar 44%.
Berdasarkan data
tersebut, PDIP dan Nasdem yang pada Pemilu 2019 masing-masing meraih dua kursi,
kemungkinan tak bisa mengulangi keberhasilan tersebut. Keduanya hanya bisa
mengutus masing-masing satu anggota.
Sejauh ini peraih suara
terbanyak di PDIP di Dapil NTT II adalah Yohanis Fransiskus Lema, yang sudah
menjadi anggota DPR RI pada periode 2019-2024 bersama Herman Hery.
Pada
Pemilu kali ini, Herman Hery tak lagi mencalonkan diri, digantikan oleh
putranya, Stevano Rizki Adranacus.
Sementara
dari Nasdem, Viktor Laiskodat meraih suara terbanyak. Sebelum menjadi Gubernur
NTT, Viktor menjabat anggota DPR dari Partai Golkar [2004-2009] dan dari Partai
Nasdem [2014-2018].
Golkar, yang sejauh
ini merupakan peraih suara terbanyak, kemungkinan bisa memenangi dua kursi,
lewat Emanuel Melkiades Laka Lena dan Gavriel P. Novanto.
Melkiades yang
merupakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah [DPD] Golkar NTT, menjabat anggota DPR RI
sejak 2019. Sementara itu, Gavriel merupakan putra Setya Novanto–politisi yang
pada 2018 divonis 15 tahun penjara setelah terbukti korupsi.
Setya Novanto menjadi anggota DPR RI dari NTT I sejak 1999 hingga Komisi
Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP pada
November 2017.
Sementara itu
kursi dari Partai Demokrat kemungkinan masih diisi oleh Anita Jacoba Gah, yang
mulai menjabat sebagai anggota DPR sejak periode 2004-2009, kemudian
terpilih kembali pada periode 2009-2014.
Pada periode
2014-2019, ia menjadi anggota DPR RI Pergantian Antara Waktu pada 2017-2019,
menggantikan Jefirstson Richset Riwu Kore yang pada 2017 mengundurkan diri
untuk mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Kupang.
Pada Pemilu
tahun ini, Gerindra kemungkinan akan kembali mengutus perwakilannya ke Senayan,
setelah puasa pada 2019-2024.
Peraih suara
terbanyak Gerindra di Dapil NTT II adalah Serena Cosgrova Franscies, anak dari
Fary Djemy Francis, politisi Gerindra sekaligus anggota DPR dari Dapil NTT II periode
2009-2014 dan 2014-2019.
Namun, perolehan
suara Serena Cosgrova Franscies masih beda tipis dengan Esthon L.Foenay, Wakil
Gubernur NTT periode 2008-2013.
PKB juga
kemungkinan masih akan mengirimkan perwakilannya dari Dapil NTT II.
Namun, ada dua
nama yang perolehan suaranya bersaing ketat yaitu Usman Husin dan Edward
Tannur. Edward sudah menjadi anggota DPR RI dari PKB pada periode 2019-2024.
DPD:
Wajah Lama, Ada Anak Politisi.
Tak hanya di DPR
RI, kursi DPD kemungkinan juga masih diisi wajah lama.
Dari empat calon
dengan suara terbanyak, menurut data KPU hingga 22 Februari pukul 15.00, dua di antaranya merupakan petahana, yaitu
Angelius Wake Kako dan Hilda Manafe.
Dua lainnya yaitu Maria Stevi Harman, dan El Asamau merupakan pendatang baru di
DPD.
Stevi merupakan
putri dari politisi Demokrat, Benny Kabur Harman.
Mengapa Petahana
Tak Terkalahkan?
Selain karena
pemilih yang cenderung memilih calon yang familiar, Umbu dari Undana mengatakan
calon petahana bisa memenangi kontestasi karena pada umumnya mereka “sudah
punya linkage politik yang kuat.”
Calon petahana,
kata Umbu, juga “punya jejaring ekonomi yang bagus”, sehingga memudahkan mereka
memperkenalkan diri dan program ke khalayak luas.
“Jaringan
politik, ekonomi dan sosial yang kuat menjadi modal bagi Caleg petahana
memobilisasi suara mereka lewat tim sukses maupun sukarelawan,” ujarnya.
Sumber daya
calon petahana kontras dengan Caleg yang sebelumnya belum berhasil mengamankan kursi
dewan, kata Umbu, karena mereka “umumnya belum begitu dikenal, minim modal
sosial dan jaringan politik.”
Umbu mengatakan
dua calon pendatang baru, yaitu Serena Cosgrova Franscies dan Stevi Harman
“beruntung karena didukung oleh basis elektoral ayahnya.”
“Dengan
keunggulan yang dipunyai Caleg petahana, jangan heran jika masyarakat pemilih
memang lebih cenderung memilih sosok yang familiar, pernah mendatangi maupun
memberikan sesuatu ke warga,” ujar Umbu.
Tetapi, Umbu
mengatakan masyarakat tidak bisa dipersalahkan atas mandeknya sirkulasi politik
ini, “karena memang kesadaran politik masyarakat kita masih di level seperti
sekarang.”
Yang jelas,
“kondisi tersebut menjadi otokritik bagi partai politik supaya lebih serius dan
konsisten mempersiapkan kader-kadernya sebelum diterjunkan untuk berkontestasi
dalam Pemilu.”
Dengan begitu,
katanya, “mereka punya kesempatan untuk membangun track-record politik yang cukup, sebelum berlaga dalam
kontestasi.”
Kebiasaan partai
politik “yang selama ini cenderung “mempersiapkan kadernya secara karbitan,”
menurut Umbu, akan menghambat partai itu sendiri memproduksi Caleg maupun
kepala daerah yang kapabel dan berintegritas.
Selain fungsi
kaderisasi, partai juga harus terus-menerus menjalankan fungsi edukasi politik
kepada masyarakat agar masyarakat terus terlatih dan terbiasa untuk menyalurkan
preferensi politiknya secara rasional dan selektif berbasis rekam jejak moral
dan integritas politisi.
“Sayangnya kedua
fungsi yang seharusnya menjadi fungsi partai politik malah makin dilupakan
karena pragmatisme politik yang begitu kuat di internal,” katanya.
“Perguruan
tinggi juga perlu melakukan hal yang sama dalam kerja-kerja civilitas-nya, termasuk memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat umum maupun komunitas di kampus. Ini memang kerja jangka
panjang, tapi itulah tantangannya kalau kita ingin serius membangun budaya
politik pemilih yang berkualitas,” ujarnya.
Senada dengan
Umbu, Yohanes Jimmy Nami juga melihat peran strategis partai politik dalam
rekrutmen calon pemimpin bangsa.
Partai,
menurutnya, “perlu lebih banyak lagi menggali aspirasi publik untuk menyiapkan
kader-kader partai calon pemimpin bangsa yang berkualitas dan berintegritas.”
Dengan demikian,
kata dia, “masyarakat lebih punya banyak pilihan politik.” *** floresa.co