Di Nusa Tenggara Timur,
beras Bulog, misalnya, dijual di Pasar Kasih Naikoten, Kota Kupang. Salah satu
penjualnya adalah Suhardi (52). Mitra Bulog ini menjualnya Rp 11.500 per
kilogram.
Beras Bulog tampak
lebih bersih jika dibandingkan dengan beras lain yang harganya lebih mahal. Di
sana, beras Bulog dijual bersama beras lain yang harganya dimulai dari Rp
15.500 per kg.
”Jadi, kalau ada yang
datang, (harapannya) otomatis beli beras Bulog,” ujar Suhardi, Senin
(19/2/2024) siang.
Akan tetapi, meski
sudah memasang tabel harga, tidak banyak warga yang datang dan membelinya.
Setidaknya selama 30 menit, hanya ada satu pembeli beras Bulog di kios Suhardi.
Menurut Suhardi,
dirinya hanya bisa menjual 1 ton beras Bulog dalam sepekan. Jumlah itu
terbilang kecil di tengah melambungnya harga beras saat ini.
Di luar itu, Suhardi
mengakui memang sangat selektif menjual beras Bulog. Setiap orang hanya bisa
membeli 1 kemasan berukuran 5 kg. Pembelian dalam jumlah besar rentan memicu
penimbunan.
Manajer Operasional dan
Pelayanan Publik Bulog Wilayah NTT Faizal Jafar memastikan beras Bulog tersedia
di setiap pasar tradisional di Kota Kupang. Oleh karena itu, warga bisa datang
dan membelinya sesuai dengan harga yang ditetapkan, Rp 10.900-Rp 11.800 per kg.
Terkait itu, Faizal
mengingatkan agar pedagang mitra Bulog tidak main-main dengan harga eceran
tertinggi. ”Jika ada temuan itu, tolong laporan. (Penjual) akan kami blacklist dari
mitra kami,” kata Faizal.
Yuliana Kase (40),
warga Kelurahan Bello, menuturkan tidak tahu ada beras Bulog di Pasar Kasih
Naikoten. Sepengetahuannya, pasar murah digelar di tempat umum, seperti
alun-alun kota atau halaman kantor pemerintah.
”Kalau bisa operasi
pasar itu diumumkan. Jangan diam-diam seperti itu. Masyarakat bisa curiga,
jangan-jangan ada permainan,” katanya.
Sebelumnya, di Pasar
Oesapa, Kota Kupang, warga menyerbu lapak beras yang menjual dengan harga
paling murah, Rp 14.000 per kg, Minggu (18/2/2024). Namun, berasnya tampak
kotor.
Beras bercampur kutu,
kerikil, dan berbau tidak sedap. Butiran beras pun mudah hancur.
”Kami tidak punya cukup
uang, jadi terpaksa beli beras kotor seperti ini. Nanti, kalau mau masak, harus
cuci sampai empat kali. Biar ada rasa, sekali-sekali kami masak nasi kuning,”
kata Juli (40), ibu rumah tangga di Pasar Oesapa.
Saat itu, dia membeli 5
kg beras. Sesuai hitungannya, beras itu akan habis dikonsumsi keluarganya
paling lama empat hari ke depan. Juli tinggal bersama tiga orang lainnya.
”Jadi, makan harus irit. Pagi-pagi kami masak bubur biar banyak,” ucapnya. *** kompas.id