"Ya, kami
mendatangkan tim forensik dari Polda NTT untuk mengautopsi guna memperjelas
penyebab kematian korban," ungkap Kapolres TTU AKBP Mohammad Mukhson
kepada detikBali, Kamis (8/2/2024).
Mukhson menjelaskan
autopsi itu dilaksanakan pada Rabu (7/2/2024) siang di Tempat Pemakaman Umum
(TPU) Usaepkolen Bisafe, Desa Tualene, Kecamatan Biboki Utara, Kabupaten TTU.
Proses autopsi dihadiri oleh ahli forensik Polda NTT AKBP Edi Hasibuan,
keluarga korban, dan personel Polres TTU.
Tim medis memeriksa dan
mengambil sejumlah sampel organ tubuh milik JJR untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Hasilnya akan diserahkan ke penyidik Polres TTU untuk kepentingan penyelidikan.
"Hasilnya
(autopsi) kalau sudah keluar akan kami sampaikan," jelas Mukhson.
Diberitakan sebelumnya,
JJR (11), meninggal dunia sekitar pukul 21.00 Wita, Senin (5/2/2024). Dia
mengalami luka-luka setelah dikeroyok oleh lima temannya, MM, ABM, DNM, HYN,
dan AJM. Pengeroyokan itu terjadi lima hari sebelum kematian JJR.
"Benar, sekitar
satu pekan dikeroyok, baru korban meninggal dunia," ungkap Kapolres TTU
AKBP Mohammad Mukhson kepada detikBali, Kamis (8/2/2024).
Mukhson menjelaskan JJR
dikeroyok di salah satu pematang sawah, Rabu (31/2/2024). Saat itu, dia dan
teman-temannya baru pulang sekolah.
JJR dihujani pukulan
oleh lima temannya. Dia juga sempat dibanting. Akibat penganiayaan tersebut,
siswa laki-laki itu mengalami sakit di bagian dada, perut, pinggang, dan
kemaluan.
Namun, setiba di rumah,
JJR tak bercerita kepada siapapun terkait pengeroyokan itu. Luka-luka dalam
yang dialami sama sekali tidak mendapat penanganan.
"Saat itu korban
hanya tidur-tiduran di rumahnya. Sehingga orang tuanya tidak mengetahui
peristiwa yang menimpanya," jelas Mukshon.
Orang tua JJR baru
mengetahui peristiwa penganiayaan yang menimpa anaknya setelah JJR mulai
mengeluhkan rasa sakit di bagian dada dan kemaluannya. Ayah JJR lalu
menghubungi seorang dukun untuk memijatnya.
"Tetapi berselang
beberapa saat kemudian, korban meninggal dunia," terang Mukhson. *** detik.com