Kecemasan yang pertama
tidak cukup beralasan. Karena penggunaan hak angket tidak akan berimplikasi
langsung pada penetapan hasil Pemilu. Seperti diatur dalam UU 7 Tahun 2017
penetapan hasil Pemilu oleh KPU hanya bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
(MK).
Selain itu, dari sisi
waktu juga tidak memungkinkan. Proses penyelesaian perselisihan hasil Pemilu di
MK berdasarkan tahapan dan jadwal Pemilu relatif jauh lebih cepat dan pendek
waktunya. Paling lambat akhir April hasil Pemilu termasuk Pilpresnya sudah
ditetapkan oleh MK, dan kita tahu putusan MK final and binding, tuntas dan
mengikat.
Jika tidak ada
permohonan gugatan oleh Paslon 1 dan/atau 3, hasil Pemilu bahkan bisa lebih
cepat. Sementara proses penggunaan hak angket akan membutuhkan waktu
berbulan-bulan untuk sampai pada simpulan akhir.
Berbeda dengan
kecemasan yang pertama itu, kecemasan yang kedua bahwa penggunaan hak angket
bisa berujung pada pemakzulan Presiden memang beralasan. Namun inipun dengan
satu catatan, bahwa prosesnya dilakukan cepat.
Sehingga jika hasil
angket menyimpulkan bahwa Presiden diduga kuat melakukan pelanggaran terkait
perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 79 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPR masih punya cukup waktu untuk memproses
dugaan pelanggaran ini ke MK.
Sebagaimana norma Pasal
79 ayat (3) UU 7 Tahun 2014 itu, Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Pada ayat berikutnya
(ayat 4) di pasal yang sama disebutkan bahwa pelaksanaan Hak Angket dapat
ditindaklanjuti oleh DPR dengan Hak Menyatakan Pendapat. Pada titik inilah,
berdasarkan simpulan akhir angket, DPR bisa menyatakan pendapat perihal dugaan
adanya pelanggaran hukum oleh Presiden (secara opsional) baik berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
maupun perbuatan tercela. Inilah yang dicemaskan.
Penguatan Mekanisme Check and Balances
Terlepas dari soal
kecemasan atau juga pro-kontra pendapat publik yang belakangan kian ramai,
hemat saya penggunaan hak angket tetap perlu dilakukan, bahkan penting
berdasarkan dua alasan hukum dan moralitas politik berikut ini.
Pertama, Hak Angket
merupakan bentuk pengawasan DPR (legislatif) terhadap pemerintah (eksekutif)
yang diberikan oleh konstitusi (UUD 1945) untuk mencegah terjadinya abuse of
power atau penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang ugal-ugalan oleh
Presiden. Sehingga menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hukum dan prinsip-prinsip
demokrasi.
Sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 20A UUD 1945, bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan” (ayat 1). Kemudian pada ayat
(2) dinyatakan, bahwa “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
Pasal-Pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”
Selain sebagai bentuk
pelaksanaan amanat UUD 1945, penggunaan hak angket sesungguhnya juga merupakan
instrumen politik untuk memperkuat praktik mekanisme check and balances sebagai
salah satu prinsip dasar negara demokrasi.
Tanpa pelaksanaan
fungsi pengawasan legislatif yang kuat dan/atau absennya mekanisme check and
balances yang memadai, praktik demokrasi akan kehilangan ruh dasarnya. Karena
akibat lemahnya pengawasan dan absennya mekanisme check and balances inilah
berbagai praktik abuse of power sering terjadi.
Membersihkan Pemilu, Menguji Kepatuhan
Kedua, penggunaan Hak
Angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan atau pelanggaran Pemilu/Pilpres
penting dilakukan mengingat fenomena penyikapan terhadap hasil Pilpres yang
berkembang sudah sedemikian rupa. Masing-masing kubu merasa yakin dengan
sikapnya.
Kubu yang merasa bakal
menang (yang didukung Presiden) yakin bahwa kemenangannya adalah hasil
kontestasi yang fair, jurdil dan berintegritas sesuai peraturan
perundang-undangan. Sebaliknya, kubu yang diperkirakan bakal kalah meyakini
bahwa proses Pemilu jauh dari jurdil. Mereka bahkan sudah sampai pada kesimpulan
awal bahwa Pemilu telah diwarnai oleh kecurangan yang bersifat Terstruktur,
Sistematis dan Masif (TSM).
Kedua kubu juga
sama-sama mengeklaim memiliki data, informasi dan bukti-bukti kuat yang
melimpah yang menjadi dasar keyakinan sikap dan pandangannya. Fenomena saling
klaim di ruang publik ini tentu tidak bisa dibiarkan terus meliar. Karena
berpotensi terus memicu emosi dan kemarahan masing-masing pendukung, yang
akhirnya bisa berujung pada pertengkaran horizontal dalam masyarakat,
menimbulkan instabilitas politik dan keamanan, lalu memancing aparat negara
bertindak represif.
Karena itu saling klaim
kebenaran sambil saling menuduh kecurangan itu harus dikanalisasi, dibereskan
dan dituntaskan dengan cara adu kebenaran dan akurasi data. Konflik politik
serupa ini biasa dalam negara demokrasi. Dan demokrasi telah memiliki cara
untuk menyelesaikannya. Yakni melalui mekanisme hukum dan mekanisme politik.
Seperti sudah
disinggung di depan, mekanisme hukum ditempuh melalui jalur peradilan perselisihan
hasil Pemilu di MK. Terlepas dari fakta bahwa kepercayaan terhadap MK sedang
melorot, pihak yang merasa dirugikan tidak ada pilihan lain kecuali mengajukan
permohonan gugatan ke MK. Angkut semua bukti, dalil dan argumen. Bertengkarlah
di medan hukum, di hadapan para hakim konstitusi, dan biarkan rakyat cukup
menyaksikannya secara terbuka. Tidak perlu saling lempar batu di jalanan.
Selain mekanisme hukum,
demokrasi juga menyediakan jalan politik untuk menyelesaikan konflik, termasuk
konflik politik elektoral karena Pemilu diselenggarakan di atas peraturan
perundang-undangan yang merupakan produk kebijakan pemerintah.
Seperti telah
disebutkan di atas tadi, Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Jadi, hemat saya Hak
Angket memang perlu digunakan. Melalui mekanisme ini kedua kubu beradu data,
informasi, dalil dan argumen di ranah politik parlemen. Mengundang atau
mendatangi, dan mintai kesaksian, keterangan, dan pendapat para pihak yang
dianggap perlu untuk mendukung klaim dan/atau tuduhan kecurangan itu secara
beradab. Dan biarkan rakyat cukup mengawasi bersama secara terbuka. Tidak perlu
saling lempar batu di jalanan.
Dengan cara demikian,
baik melalui mekanisme hukum di MK maupun melalui mekanisme politik di DPR,
dugaan kecurangan Pemilu bisa sama-sama diuji secara fair, terbuka dan beradab.
Tentu dengan catatan proses dan para pihak yang terlibat dalam upaya pencarian
kebenaran dan keadilan (yakni hakim konstitusi di MK, anggota DPR, Pemerintah,
serta para pihak lain yang terlibat misalnya para ahli, tokoh masyarakat,
aktivis dll) bersikap jujur, menjunjung tinggi moralitas dan memegang teguh
integritas masing-masing.
Jika kemudian tuduhan
kecurangan TSM terbukti baik di MK maupun di DPR, kubu Paslon 2 harus dengan
legawa menerima konsekuensinya: hasil Pemilu dibatalkan dan wajib diulang.
Konsekuensi yang sama juga harus siap diterima oleh Presiden dan/atau
penyelenggara Pemilu jika terbukti terlibat dalam kecurangan.
Sebaliknya, jika
tuduhan kecurangan TSM itu tidak dapat dibuktikan baik di MK maupun di DPR,
kubu 1 dan 3 juga harus secara fair menerima putusan akhirnya. Dengan cara
demikian Pemilu (mestinya) menjadi bersih dari segala jenis noda, dan kepatuhan
para pihak terhadap putusan hukum dan putusan politik terjaga.