Aristoteles, salah satu
tokoh filsuf klasik terkemuka, menganggap etika sebagai upaya untuk mewujudkan
kebahagiaan individu, sementara politik bertujuan mencapai kesejahteraan
seluruh masyarakat. Dalam konteks pemerintahan, etika memiliki peran yang
penting dalam membentuk panduan perilaku dan pengambilan keputusan bagi para
pemimpin terpilih, anggota parlemen, staf politik, dan pelayan publik.
Etika pemerintahan
melibatkan pengembangan aturan dan pedoman yang menuntun sikap dan perilaku
para aktor dalam lembaga pemerintahan. Ini mencakup tanggung jawab moral dalam
menjalankan kekuasaan, mengambil keputusan yang adil dan transparan, serta
memastikan kesejahteraan seluruh rakyat menjadi prioritas utama.
Para pemimpin terpilih,
seperti presiden dan kabinet menteri, memiliki tanggung jawab moral untuk
memastikan keputusan dan tindakan mereka sesuai dengan kepentingan publik dan
nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat.
Anggota parlemen juga
diharapkan dapat bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika dalam menentukan
kebijakan dan mengawasi tindakan pemerintah. Staf politik dan pelayan publik
harus mengikuti pedoman etika dalam menjalankan tugas mereka. Sebab, ini
merupakan kewajiban untuk berintegritas, menghindari konflik kepentingan, serta
memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Hal ini dituangkan
dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 Bab II Poin ke 2, yang menyatakan ”etika
politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik
untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki
keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti
melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat”.
Dalam keseluruhan,
etika pemerintahan bukanlah hanya tentang mematuhi hukum atau peraturan formal,
tetapi juga tentang mengadopsi sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai
moral yang diakui secara luas oleh masyarakat. Ini memainkan peran penting
dalam membangun kepercayaan dan legitimasi pemerintah, serta menciptakan
lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Dengan memahami
perbedaan antara moral dan etika, serta menerapkan prinsip-prinsip etika dalam
konteks pemerintahan, kita dapat membangun fondasi yang kokoh untuk
pemerintahan yang berintegritas dan bertanggung jawab. Harapannya, ke depan
akan menghasilkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Lantas, apakah ada
keterkaitan antara etika dan politik pork barrel (politik gentong babi)?
Frasa "gentong
babi" berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak
kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865). Istilah "gentong
babi" bernada menghina dan merendahkan. Adapun pengertian pork barrel atau
politik gentong babi adalah politik distribusi dengan menyalurkan sumber daya
seperti anggaran dalam bentuk hibah dan lain sebagainya kepada daerah pemilihan
atau daerah tertentu oleh elite politik.
Biasanya, politik
gentong babi menggunakan kebijakan-kebijakan populis yang justru seringkali
malah mengabaikan azas manfaat dari suatu kebijakan. Dengan adanya program
populis tersebut, penguasa dapat menanamkan romantisme dan jejaring politik
secara efektif dan efisien kepada masyarakat.
Faktanya di lapangan,
sangat sulit melihat ketulusan para kontestan politik. Karena, di dalamnya
terdapat dua praktik yang terkesan mirip, yakni money politics dan pork barrel.
Di mana money politic secara terang-terangan memberikan sesuatu untuk rakyat
dan meminta imbalan untuk mendapatkan suara. Sementara pork barrel alias
politik gentong babi menggunakan anggaran pemerintah untuk memberikan bantuan
demi mendapatkan suara rakyat.
Sebenarnya politik
gentong babi sudah lama berlangsung di Indonesia, terutama para petahana yang
berkompetisi kembali atau kerabat petahana yang maju dalam pemilu. Contoh
konkretnya, beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan fenomena pembagian
bansos yang anggarannya melebihi dari anggaran bansos saat negara terjebak
dalam krisis COVID-19. Jejak perusakan nilai etika pemerintah dapat kita lihat
dari jejak digital para menteri selaku ketua partai dan anggota koalisi
Indonesia Maju.
"Siapa yang
memberikan bansos sama BLT?" Tanya Zulkifli Hasan selaku Ketum PAN dan
Menteri Perdagangan RI. Tak lama, audiens lantas membalas, "Pak
Jokowi!" "Pak Jokowi itu PAN. PAN itu Pak Jokowi," kata Zulkifli
menegaskan. "Makanya kita dukung Gibran,” sambungnya lagi.
Selain itu, pada 9
Januari 2024 saat sidang kabinet di istana negara, Presiden Jokowi mengumumkan
kembali perluasan program bansosnya. Kali ini, bantuan beras dan BLT El Nino
sama-sama diperpanjang penyalurannya hingga Juni 2024. Pada 15 Januari 2024, giliran
Airlangga selaku Ketum Golkar dan Menteri Koordinator Perekonomian RI yang
menggunakan "kartu bansos" saat menemui keluarga penerima bantuan
beras di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Banyak orang yang jeli
melihat skema ini, tidak terkecuali Menteri Keuangan RI Sri Mulyani.
"Tahun ini 2024, bansos di dalam APBN kita nilainya Rp 496 triliun, jadi
beda Rp 20 triliun," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Hasil Rapat
Berkala KSSK di kantornya, Jakarta, Selasa (30/1/2024). Dalam hal ini, publik
melihat kepentingan presiden dan koalisinya dalam bansos untuk mendongkrak
elektabilitas Anak kandungnya, yang terlibat dalam kontestasi pemilihan
presiden 2024.
Praktik politik gentong
babi praktis menimbulkan konflik etika dalam pemerintahan karena dapat mengarah
pada penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan sumber daya publik untuk
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Politik gentong babi juga dapat
menciptakan personalisasi terhadap barang publik, di mana elite politik
berkedok sebagai pemimpin yang adil namun sebenarnya bermaksud untuk mencapai
kepentingan politis dan eksistensi elite itu sendiri.
Hal ini tentu melanggar
prinsip-prinsip etika pemerintahan yang mengharuskan pemimpin dan pejabat
publik bertindak dengan integritas, transparansi, dan pelayanan kepada
masyarakat. Praktik politik gentong babi ini juga menimbulkan personalisasi
terhadap barang publik, seolah elite merupakan ratu adil yang benar-benar
peduli pada rakyatnya. Padahal, di balik hal tersebut ada kepentingan politis untuk
menjaga loyalitas dan eksistensi elite.
Runtuhnya etika dan
moral dalam politik gentong babi menjadi praktik yang mengandung konotasi
negatif. Sebab, di dalamnya terdapat aktivitas politis yang menggunakan uang
negara demi mewujudkan kepentingan politiknya. Bahkan tidak semata-mata untuk
kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Padahal, etika dan
moral harus diwujudkan dalam bentuk sikap yang tulus, tidak berpura-pura, tidak
arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak
manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Di sinilah nilai
etika dan moral harus di kedepankan sebagai pemimpin atau pejabat publik yang
menjauhi praktik-praktik yang terindikasi politik gentong babi, sehingga
memperkuat etika dan moral pemerintah.