Sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, umat berharap kolekte dapat digunakan dengan baik dan benar. Untuk apa sebenarnya kolekte yang terkumpul setiap minggu?
“Mama, mana uang
kolektenya, adik yang akan masukkan ke dalam kantong kolekte ya Ma?” Itulah
keinginan seorang anak usia lima tahun. Luar biasa. Sudah sejak kecil seorang
anak yang biasa mengikuti perayaan Ekaristi Hari Minggu merasakan dorongan
untuk memberi sumbangan berupa kolekte. Patut dipuji kalau ada dorongan seperti
itu untuk belajar memanfaatkan kesempatan yang tersedia untuk memberi sesuatu
bagi orang lain. Apalagi kalau dorongan itu disalurkan dengan ikhlas hati tanpa
pamrih.
Dalam Injil, Yesus
telah memuji keikhlasan hati seperti itu yang diperlihatkan oleh seorang janda
miskin ketika ia memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Menurut Yesus
si janda miskin itu memberi lebih banyak karena ia memberi dari kekurangannya,
bukan dari kelebihannya (bdk Luk 21:1-4). Mengapa?
Umumnya manusia
cenderung merasa kekurangan ini dan itu. Karena itu ada keinginan kuat juga
untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan keyakinan semakin banyak memiliki,
semakin terjamin hidup hari ini dan masa depan. Maka dapat timbul rasa haus
akan harta yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan dapat berkurang rasa
rela memberi atau membagi apa yang dimiliki kepada orang lain yang
berkekurangan. Selain itu keberhasilan dalam mengumpulkan lebih banyak dapat
menimbulkan rasa perasaan bangga atas karya sendiri, semacam rasa mengandalkan
kekuatan diri sendiri, rasa sukses karena kerja keras dan bisa saja pada
akhirnya mengurangi kepekaan akan anugerah daya kekuatan dari atas, dari Allah
sebagai sumber hidup.
Pemberian si janda
miskin dalam Injil itu amat bermakna karena sebenarnya mengungkapkan pemberian
seluruh diri. Si janda miskin itu tidak menunda kesempatan untuk memberi
sesuatu kepada orang lain meskipun ia tidak mengenal orang-orang itu. Ia tidak
menanti sampai ia berkecukupan atau berkelebihan. Kesempatan yang tersedia
untuk memberi dimanfaatkannya dengan segera. Kebiasaan menunda-nunda dalam
memberi karena macam-macam pertimbangan dapat membuat manusia kehilangan
kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang sangat mendesak. Setiap pemberian
(termasuk derma atau kolekte) selain bermaksud menolong orang yang
berkekurangan, sebenarnya pertama-tama menjadi suatu tanda untuk menyampaikan
pujian dan syukur kepada Tuhan, sumber hidup yang memberi kepada semua makluk
anugerah berlimpah yang menguatkan dan menghidupkan.
Dua persepuluhan dan kolekte
Kolekte dalam liturgi
mengingatkan kita akan kebiasaan orang Israel untuk mempersembahkan kepada
Tuhan hasil karya yang pertama, baik hewan maupun hasil panen perdana (Kel
27:7; Im 1:3; Im 23:10-13; Ul 26:2). Orang-orang Israel mengenal kebiasaan
memberi dua persepuluhan, yang menjadi tanda syukur atas anugerah dari Tuhan
berupa hasil ternak dan panen. Secara konkret pemberian itu digunakan untuk
memberi makan kepada kaum Lewi yang menjalankan fungsi pelayanan sebagai imam.
Sebagian lagi diberikan kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkan
pertolongan.
Kebiasaan
mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus.
Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu
bisa tepat sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang
atau bahkan lebih dari persepuluhan. Ada yang memberikannya di luar perayaan
liturgis tetapi ada yang melakukannya sebagai bagian utuh dari perayaan
liturgis. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil karya atau
pendapatan kita pada saat perayaan liturgis dengan nama kolekte.
Pada hari Minggu, Hari
Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk disatukan
dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang
diarak ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku
Kristus yang menghargai setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19).
Kolekte bersama bahan persembahan lainnya seharusnya diterima dengan penuh
sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu tempat yang pantas,
sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya
diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur ((Pedoman
Umum Misale Romawi no. 73 dan 140 (terj. dari Institutio Generalis
Missalis Romani, editio typica tertia 200, oleh Komisi Liturgi KWI,
Jakarta 2002), hlm. 53 dan 75. Selanjutnya disingkat PUMR.)) yang akan
diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.
Meremehkan kolekte
Sikap penghargaan atas
bahan-bahan persembahan dan kolekte itu tidak selalu diungkapkan oleh imam
pemimpin perayaan. Bahkan bisa muncul kekecewaan atau kemarahan kalau imam
melihat bahan-bahan persembahan sangat minim dan tak berharga di hadapan
matanya. Pernah terjadi dalam suatu perayaan Ekaristi imam pemimpin merasa
jengkel sekali melihat kurangnya bahan persembahan yang dihantar oleh umat.
Serta merta imam itu mengubah teks nyanyian persiapan persembahan yang sedang
dinyanyikan oleh umat untuk mengiringi perarakan. Teks nyanyian sebenarnya
adalah:
Trimalah roti anggur
persembahan diri kami ((Teks nyanyian liturgi berjudul “Trimalah ya Bapa”
dalam Yubilate: Buku Doa dan Nyanyian Katolik, no. 262, Disusun Oleh
Komisi Liturgi Keuskupan Senusa Tenggara, Seksi Musik Liturgi (Penerbit Nusa
Indah, Ende, 1991), hlm. 426. ))
Trimalah ya Bapa trimalah
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Trimalah ya Bapa trimalah.
(Trimalah syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Trimalah ya Bapa trimalah): 2x
Secara spontan teks itu
diubah oleh imam yang menyanyikannya dengan suara sangat lantang sehingga
didengar oleh seluruh umat (teks yang diubah dicetak dengan huruf tebal):
Tidak ada ya Tuhan persembahan diri kami
Tidak ada persembahan
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Tidak ada persembahan
(Tak ada syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Tidak ada persembahan): 2x
Spontanitas yang
kreatif ini (semoga tak terulang!) memang menimbulkan kegaduhan dalam gereja.
Umat bersungut-sungut karena pemberian mereka sama sekali dipandang hina tak
berarti bahkan dipandang “tidak ada” oleh sang pastor. Bagi umat spontanitas
sang pastor itu tidak mewakili sikap Kristus yang penuh rasa penghargaan
terhadap semua bahan persembahan. Yesus Kristus sendiri memberi contoh yang
patut ditiru oleh semua imam, yang sebenarnya bertindak dalam setiap perayaan
liturgi “selaku Kristus” (in persona Christi). ((PUMR, no 27; Sacramentum
Caritatis (Sakramen Cinta Kasih), Anjuran Apostolic Pasca-Sinode dari Bapa
Suci Benedictus XVI kepada Para Uskup, Imam, Biarawan-Biarawati, dan Kaum
Beriman Awam, mengenai Ekaristi sebagai Puncak Kehidupan serta Perutusan Gereja
(Terj. Komisi Liturgi Konferensi Waligereja, Jakarta, 2008), no. 23.)) Yesus
sendiri menerima dengan sukacita lima ketul roti dan dua ekor ikan dari seorang
anak kecil, lalu mengucap syukur atas roti dan ikan itu (bukan mengeluh dan
menolak karena terlalu sedikit dan justru diberi oleh anak kecil), Ia
memecah-mecahkan dan membagi-bagikannya kepada ribuan orang (bukan memakannya
sendiri) dan mereka semua yang berjumlah ribuan makan sampai kenyang, bahkan
masih ada sisa duabelas bakul penuh (bdk. Yoh 1:1-14).
Menghargai dengan tulus
dan gembira setiap pemberian, bersyukur atas setiap bentuk pemberian dan
kerelaan memecahkan serta membagi-bagikannya untuk banyak orang lain yang
membutuhkan, akan sungguh membuat banyak orang kagum dan bahagia. Itu berarti
mengambil bagian dalam melestarikan mujizat Yesus. Setiap kali kita merayakan
Ekaristi, peristiwa itu dan maknanya kita kenangkan dan alami kembali.
Menghargai dengan tulus
Dalam sharing
pengalaman liturgi di Taipei (Taiwan) pada sidang para pemerhati liturgi Asia
Tenggara dan Asia Timur tahun 2004, seorang imam dari wilayah pedalaman Kamboja
berceritera sebagai berikut:
Dalam salah satu
perayaan Ekaristi di sebuah desa yang terpencil, saya melihat seorang anak
kecil aktif menolong sebagai salah satu petugas pengumpul kolekte. Anak itu
mengedarkan kotak kolekte kepada teman-temannya yang masih kecil. Ia
memperlihatkan dengan wajah gembira kotak kolekte kepada semua anak dengan
harapan dapat diisi oleh mereka. Namun ternyata kotaknya kosong tak terisi.
Anak itu tidak malu karenanya. Bahkan ia berani berarak bersama para petugas
kolekte lain menuju altar dan menyerahkan kotak yang kosong itu kepada sang
imam. Saya menerimanya dengan senyum. Lalu secara spontan saya mengangkat kotak
kolekte yang kosong itu dan berdoa, “Pandanglah kami umat-Mu ya Tuhan yang
mahamurah, berkenanlah menerima apa yang ada pada kami, diri kami seadanya,
juga kekosongan dan kekurangan kami, terimalah dan penuhilah sesuai dengan
kehendak-Mu”.
Itulah sikap yang
terpuji, sikap penghargaan yang tulus seperti Yesus sendiri yang tidak pernah
menolak pemberian yang tulus. Cerita contoh ini tidak bermaksud mendorong kita
untuk tidak memberi apa-apa dalam kesempatan kolekte, tetapi sebaliknya mau
menyemangati kita untuk mempersembahkan sesuatu sebagai bagian utuh dari diri
kita dengan semangat “kenosis”, semangat pengosongan diri di hadapan Tuhan
sumber pemenuhan hidup manusia baik rohani maupun jasmani.
Makna kolekte
Apa saja yang
dikumpulkan untuk dipersembahkan dan apa maknanya? Dalam praktek Gereja abad
III, selain roti dan anggur untuk Ekaristi, dipersembahkan juga minyak, lilin,
gandum, buah anggur dan barang bernilai lainnya. Pada abad pertengahan muncul
kebiasaan mengumpulkan derma dalam bentuk uang sebagai bagian dari persiapan
persembahan. ((P.Visentin, “Eucaristia”, dalam Domenico Sartore e Achille
M.Tricca (ed.), Nuovo Dizionario di Liturgia (Edizioni Paoline, Roma,
1983), hlm 497; Bdk. P.Bernard Boli Ujan, SVD, Mendalami Bagian-bagian
Perayaan Ekaristi (Yogyakarta, 1992), hlm. 44-48.)) Pengumpulan uang derma
dapat dilakukan sebagai awal persiapan persembahan. Inilah yang disebut
kolekte. ((Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae), Buku Imam (Terj. Komisi
Liturgi KWI, Jakarta 2008), no. 19, hlm. 37. Selanjutnya disingkat TPE.))
Selain asal usul kata kolekte, juga konteks liturgis persiapan persembahan ini
turut memberi makna pada kegiatan kolekte itu.
Kata kolekte berasal
dari collecta (bahasa
Latin) yang berarti sumbangan untuk makan bersama, pengumpulan, rapat atau
sidang. ((P. Th. L Verhoeven, SVD, dan Marcus Carvallo, Kamus
Latin-Indonesia (Ende, Penerbit Ledalero, Maumere 1969), hlm. 163.))
Istilah yang sama ini (collecta) dalam tradisi liturgi dipakai untuk
persekutuan beriman yang terbentuk sebagai satu kelompok doa di suatu tempat
(gereja). Di Roma pada abad-abad pertama biasanya umat berkumpul di salah satu
gereja “statio”. Di sana mereka
berdoa bersama lalu berarak bersama-sama menuju tempat perayaan Ekaristi yang
dipimpin oleh Paus di sebuah gereja lain sambil berdoa dan bernyanyi.
((Mengenai sejarah Ekaristi di gereja statio di Roma, lihat Marcel Metzger,
“The History of the Eucharistic Liturgy in Rome” dalam Anscar J.Chupungco,
O.S.B. (ed.), Handbook for Liturgical Studies: The Eucharist (A
Pueblo Book, The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1997), hlm.
110-114)) Selanjutnya istilah collecta dipakai juga sebagai nama
untuk Doa Pembuka dalam perayaan Ekaristi, karena doa itu yang diucapkan secara
lantang oleh imam pemimpin sebenarnya mengumpulkan dalam rumusan yang
singkat-padat semua intensi atau maksud hati dari umat beriman yang hadir (yang
berdoa dalam hati dalam keheningan sesudah ajakan imam: “Marilah berdoa”). ((PUMR, no.
54; Bdk. Vincenzo Raffa, Liturgia eucaristica, mistagogia della messa:
dalla storia e dalla teologia alla pastorale practica (Edizioni
Liturgiche, Roma, 1998), hlm. 68-69; P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm.
23-24.)) Maka collecta dalam arti pengumpulan uang (kolekte) sebagai
bagian dari persiapan persembahan mempunyai hubungan erat sekali dengan
persatuan-persaudaraan dan dengan doa.
Kolekte tidak hanya
sekedar memberikan sesuatu dari diri sendiri kepada orang lain, tetapi kolekte
itu mempererat persatuan-persaudaraan antara kita dengan orang lain yang
menerima sesuatu dari diri kita. Kolekte adalah bagian dari doa yang
mempersatukan kita sebagai saudara saudari dalam Tuhan. Kita bisa berdoa dengan
kata-kata, dengan nyanyian, dengan sikap-gerak, tetapi juga dengan pemberian
(kolekte). Aspek penting dari doa yang seharusnya mewarnai juga pemberian
(kolekte) adalah syukur-pujian atas anugerah yang telah diterima dan atas
kesempatan untuk berbuat baik dengan meneruskan anugerah itu kepada orang lain
yang membutuhkannya meskipun orang-orang itu tidak kita kenal. Inilah makna
liturgis penting dari kolekte: bersama-sama mengumpulkan sesuatu untuk
kepentingan banyak orang lain. Maka semakin kita rela memberi (kolekte) semakin
kita tahu bersyukur (dalam Doa Syukur Agung), semakin kita bersatu padu dengan
saudara-saudari yang lain dan dengan Tuhan sendiri sebagai sumber anugerah
(dalam komuni).
Menurut tradisi liturgi
memang pernah ada semacam syarat untuk boleh menerima komuni (menyambut Tubuh
dan Darah Yesus Kristus), yaitu selain berada dalam keadaan pantas-layak karena
penuh rahmat dan tidak berdosa berat, juga kalau penerima komuni itu telah
membawa dan memberi sesuatu sebagai bagian dari kolekte pada saat persiapan
persembahan. ((“Dalam sinode Elvira (awal abad IV) ditegaskan bahwa umat yang
membawa persembahan adalah umat yang ikut komuni. Maka persembahan itu dibawa
hanya oleh orang yang telah dipermandikan dan mau berpartisipasi lebih penuh
sebagai umat beriman yang sudah dipilih menjadi imam rajawi. Di daerah Gallia
terdapat kebiasaan menyebut nama orang yang membawa pesembahan dalam doa
persembahan. Tetapi di Roma tidak ada tradisi itu.” P.Bernard Boli Ujan,
SVD, Op.Cit. hlm. 45-46.)) Ada hubungan yang erat antara kolekte dan
komuni dalam perayaan Ekaristi. Dalam hal ini kolekte tidak “membeli komuni”.
Kalau kita memberi dengan penuh rasa syukur, dengan sendirinya kita mengalami
persaudaraan-persatuan sejati bersama sesama dan Tuhan yang dirayakan secara
sakramental dalam komuni.
Semangat yang benar
Dalam konteks persiapan
persembahan, membuat kolekte berarti memberikan bagian dalam mempersiapkan
bahan kurban syukur Yesus Kristus. Maka urutan perarakan dan penyerahan
bahan-bahan persembahan adalah: pertama-tama roti dan anggur (yang akan menjadi
Tubuh dan Darah Yesus Kristus) lalu bahan-bahan lain dan kolekte. ((Bdk. Peter
J. Elliott, Ceremonies of the Modern Roman Rite: The Eucharist and the
Liturgy of the Hours, A Manula for Clergy and All Involved in Liturgical
Ministries (Ignatius Press, San Francisco, 1995), hlm. 100-105.)) Itu
berarti kita tidak mengandalkan atau mengutamakan pemberian-kurban kita, tetapi
menomorsatukan pemberian-kurban Yesus Kristus. Bila demikian kita terhindar
dari sikap “memberi sambil menuntut balasan dari Tuhan” alias do ut des (Latin
= saya beri supaya engkau membalas). Yesus sendiri memberi seluruh diri-Nya
sebagai kurban syukur pujian kepada Bapa, tanpa menuntut apa-apa dari Bapa
sebagai gantinya. Maka ganti memberi sambil menuntut, kita akan memberi dengan
penuh rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
kita. Kehadiran orang yang berkekurangan bisa menjadi kesempatan bagi kita
untuk meneruskan kebaikan dan perhatian Tuhan yang berlimpah-limpah itu seraya
mendorong orang-orang lain untuk selalu bersyukur kepada Tuhan, dan bukan
terutama kepada kita. Itulah sebabnya Yesus mengingatkan kita untuk memberi
dengan tangan kanan sedemikian rupa sehingga tangan kiri tidak mengetahuinya
(bdk Mat 6:3).
Bila dirayakan Ibadat
Sabda tanpa Ekaristi, ada kemungkinan membuat kolekte pada Ritus Penutup ibadat
sebelum pengutusan dan berkat. Itu berarti kolektenya diberikan dalam konteks
pengutusan ke tengah dunia. Kolekte lalu menjadi satu bentuk dari kesaksian
iman bagi banyak orang lain yang dilayani dalam hidup harian. Selanjutnya
dengan kolekte itu orang yang menerimanya dapat semakin percaya dan berharap
pada Tuhan sumber kekuatan dan hidup. Maka kita tidak memberi kepada orang lain
untuk membuat mereka menjadi malas dan kurang berusaha berdikari. Patut
disesali bila kita enggan memberi kolekte hanya karena berprasangka bahwa
pemberian cuma-cuma itu akan membuat si penerima kurang bersemangat untuk
mencari jalan keluar mengatasi kekurangannya.
Untuk siapa?
Untuk siapa kolekte itu
digunakan? Sejak abad-abad pertama umat beriman membuat kolekte dengan tujuan
menopang hidup para pelayan altar, mengatasi kemiskinan orang-orang papa, dan
memenuhi kebutuhan rumah Allah atau tempat ibadat. Para pelayan altar yang menjalankan
tugas-tugas pengabdian bagi banyak orang lain termasuk memimpin
perayaan-perayaan liturgis sepantasnya mendapat dukungan materi dan keuangan
selain dukungan moril serta rohani agar dapat sehat, kuat dan tekun memberikan
pelayanan sebagaimana mestinya. Bagi orang-orang miskin dan berkekurangan
kolekte itu dapat membantu menciptakan keadilan untuk lebih banyak orang. Santo
Yustinus dalam abad ke-tiga mengingatkan orang Kristen untuk tidak melalaikan
kewajiban menolong orang miskin. Ia menulis dalam Apologia I, no. 65:
“Orang-orang yang berada dalam kelimpahan kalau ingin menyumbang hendaknya
meletakkan itu di dekat si pemimpin yang akan menggunakannya untuk membantu
yatim piatu dan para janda, orang miskin yang sakit, para narapidana,
orang-orang asing disekitarnya dan semua orang yang sangat membutuhkannya.” ((Lihat terjemahan dalam bahasa Inggris oleh
R.C.D. Jasper & G.J.Cuming, Prayers of the Eucharist, 2nd ed.
(New York, 1980), hlm. 20. Bdk. Herman Wegman, Christian Worship in East
and West: A Study Guide to Liturgical History (terj. Gordon W.
Lathrop dari teks asli Geshiedenis van de Christelijke Eredienst in het
Westen en in het Oosten, Pueblo Publishing Company, New York, 1985), hlm. 42.))
Kemudian St. Agustinus kembali mencanangkan kewajiban orang Kristiani untuk
memberi kolekte buat orang miskin. ((Bdk. Joseph A. Jungmann, The Mass of
the Roman Rite: Its Origins and Development Vol. Two (Benzinger Brothers, Inc.,
New York, 1955) hlm. 1-41.))
Kolekte merupakan tanda
solidaritas dengan orang-orang kecil, juga dengan keluarga, lingkungan, wilayah
dan paroki bahkan keuskupan atau siapa saja yang menderita kekurangan tanpa
batas wilayah maupun agama. Maka di beberapa tempat kolekte itu menjadi sumber
untuk membentuk dana solidaritas. Ada banyak tempat yang membutuhkan dana untuk
membangun dan memperlengkapi kebutuhan rumah sakit, panti asuhan atau rumah
para lansia, selain rumah ibadat dan pastoran atau gedung paroki dan ruang
serba guna untuk berbagai kegiatan umum.
Dalam kenyataan ada
banyak paroki yang jumlah kolektenya setiap minggu mencapai jutaan bahkan
puluhan juta rupiah. Namun tidak dapat disangkal bahwa banyak paroki hanya
berhasil mengumpulkan kolekte mingguan sebanyak ratusan ribu atau bahkan hanya
puluhan ribu rupiah. Mengapa? Umumnya orang langsung menunjukkan sebab
perbedaan itu dalam tingkat kesejahteraan hidup para anggota persekutuan
beriman di paroki masing-masing. Kolektenya besar karena umatnya kebanyakan
kaya raya, kolektenya sedikit karena umatnya sebagian besar terdiri dari orang
miskin. Mungkin ada benarnya, tetapi belum tentu selalu demikian.
Meningkatkan kesadaran
Hal lain yang
sebenarnya sangat menentukan besar kecilnya kolekte adalah “kesadaran” para
peraya akan pentingnya memberi sebagian dari hasil karya (pendapatan) tiap
minggu kepada Tuhan dan sesama yang sangat membutuhkan. Maka perlu ditempuh
cara yang tepat dan bijaksana untuk menumbuhkembangkan kesadaran itu.
Menanamkan motivasi yang kuat, membuat laporan yang jujur dan transparan,
menggunakan hasil kolekte sesuai dengan tujuan sebenarnya, menerima dengan rela
dan menghargai dengan tulus berbagai bentuk kolekte (uang dan barang),
kesaksian hidup (cara hidup) yang jujur dan sederhana dari para petugas
pastoral yang bertanggungjawab mengelola dan menggunakan hasil kolekte, membuat
pengawasan yang teliti dan memberikan katekese yang memadai, adalah beberapa
cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan “kesadaran” memberi dan sekaligus
memperbesar jumlah hasil kolektenya.
Untuk menanamkan
kesadaran dan motivasi yang kuat dalam diri umat agar rela membagi apa yang ada
padanya untuk kepentingan banyak orang lain yang membutuhkan, ada seorang
pastor paroki yang menceriterakan anekdot sbb:
Konon ada pertengkaran
antara lembaran uang kertas limapuluh ribu dengan limaratus rupiah. Lembaran
limapuluh ribu mengejek yang limaratus rupiah katanya: Wah saya ini paling laku
dan bersih karena saya bisa naik ojek, bisa naik taksi, bisa masuk rumah makan
dan bisa masuk tempat diskotek, tetapi kau limaratus rupiah tidak laku apa-apa,
naik ojek saja tidak bisa, apalagi naik taksi, lebih sulit lagi kau masuk
diskotek dan rumah makan. Saya sangat bersih tapi kau kotor dan hitam. Kau
sungguh tidak laku.
Maka kata lembaran limaratus rupiah: Iya saya memang tidak bisa naik ojek, juga
sulit untuk naik taksi, apalagi masuk rumah makan, bioskop atau diskotek dan
hotel mewah. Namun saya paling rajin dan setia masuk gereja. Kau biar bersih
tetapi takut tampil bahkan tidak laku di hadapan Allah dalam gereja. Tetapi
saya biar hitam, kotor dan lusuh, toh paling laku di tempat kudus. Kalau kau
tidak undang saya untuk sama-sama naik ojek dan taksi atau untuk
sama-sama masuk rumah makan, diskotek, bioskop dan hotel berbintang karena saya
kotor dan hitam, maka saya dengan sangat senang hati mengundang engkau hai
limapuluh ribu rupiah agar rajin-rajinlah bersama saya mengunjungi gereja dan
masuk ke dalamnya. Ayo jangan lupa minggu depan datang ke gereja ya. Pasti kau
akan senang dan bahagia karena kau membawa kegembiraan besar kepada banyak
orang. Kalau saya saja telah menggembirakan banyak orang termasuk pastor dan
pembantu di sekretariat dan dapur, apalagi kau yang bersih dan cerah pasti
membuat wajah orang lain semakin cerah. Saya yakin kalau kau rajin ke gereja,
seratus ribu juga bisa tergerak melihat kegembiraan yang kau bagi-bagikan
kepada banyak orang. Ayooo kita rame-rame bagi kegembiraan. Mari kita setia
pergi ke gereja.
Ketika sang Pastor
menceriterakan anekdot ini kepada umatnya, ada tawa ria di dalam gereja. Umat
menganggukkan kepala tanda tergelitik geli dan setuju. Mereka memahami makna
ajakan sang Pastor yang jenaka. Pesan yang jelas, dibalut dengan cerita lucu,
mampu memberi umat motivasi yang kuat untuk rela memberi. Perlahan-lahan tetapi
pasti, kolekte pada kesempatan-kesempatan berikutnya meningkat dan sungguh
menggembirakan seluruh umat serta petugas pastoralnya. Pastor menyadari bahwa
suatu katekese mengenai makna dan manfaat dari kolekte dalam liturgi serta
hidup Gereja perlu dilaksanakan bagi seluruh umat dalam paroki.
Bawa pasar ke Altar dan Altar ke pasar?
Kolekte sungguh
menggembirakan tetapi bisa saja disalahpahami dan disalahgunakan. Ada orang
yang memandang kolekte sebagai alat yang ampuh di tangan manusia untuk membeli
kemurahan Tuhan. Semangat jual beli di pasar dibawa masuk ke dalam tempat
perayaan, menyusup masuk sampai di panti imam. Ada yang merasa bahwa tempat
panti imam dan suasananya amat tepat untuk menyampaikan macam-macam reklame.
Altar jadi tempat tawar menawar barang jualan antara manusia, tempat tawar
menawar dengan Allah untuk membeli anugerah-Nya. Terjadilah simonia (bdk.
Kis. 8:18-24). Sadar atau tidak ada kecenderungan mencontohi Simon seorang
tukang sihir di sebuah kota di Samaria yang berani menawarkan uang kepada
Petrus dan Yohanes untuk membeli kuasa menumpangkan tangan supaya Roh Kudus
turun atas orang-orang yang mendapat tumpangan tangan itu. Hati Simon tidak
lurus karena ia mau membeli karunia Allah dengan uang.
Karunia adalah karunia
bukanlah barang jual-beli. Bila karunia dipandang sebagai barang dagangan, dan kolekte
dipergunakan sebagai alat untuk membeli karunia dari Tuhan, maka kita telah
membuat kekeliruan. Petrus menamakan sikap ini “suatu kejahatan” dan ia berseru
kepada Simon tukang sihir itu, “Bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah
kepada Tuhan, supaya Ia mengampuni niat hatimu ini; sebab kulihat, bahwa hatimu
telah seperti empedu yang pahit dan terjerat dalam kejahatan.” Akhirnya Simon
tukang sihir itu bertobat katanya, “Hendaklah kamu berdoa untuk aku kepada
Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah kamu
katakan itu” (Kis. 8:22-24). Beranikah kita mendengar dan menanggapi secara
serius seruan Petrus itu? Maukah kita melihat kembali praktek-praktek kita
dalam liturgi yang mengarah kepada simonia yaitu membeli karunia Allah
dengan uang? Bukankah karunia-karunia Allah tidak boleh dibeli oleh manusia
tetapi harus disyukuri terus menerus?
Ada petugas pastoral
yang menggunakan kesempatan perayaan liturgi sebagai saat yang jitu untuk
mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan memperbanyak saat kolekte yang
dikumpulkan dalam beberapa jenis kotak kolekte. Ada kotak satu, dua dan tiga
atau dibedakan dengan warna: kotak abu-abu, kuning, merah dll disertai
penjelasan tentang perbedaan peruntukannya. Liturgi dan gereja dapat berubah menjadi
kesempatan jual beli, tempat pengumpulan dana sebesar-besarnya. Mengapa tidak
diciptakan kesempatan non liturgis untuk mengumpulkan dana seperti bazar, malam
dana dengan acara lelang dan jual suara? Ada banyak kalangan-kelompok dan
paroki juga keuskupan yang telah melakukannya dan sangat berhasil tanpa
mengorbankan perayaan liturgi dan ruang ibadat dalam gereja sebagai kesempatan
transaksi.
Yesus pernah sangat
marah karena pelataran Bait Suci di Yerusalem dijadikan tempat jual beli barang
dagangan (bdk. Yoh. 2:13-16). Apalagi kalau bagian dalam gereja dipakai untuk
mempromosikan barang-barang dan menjadi tempat jual-beli atau lelang-lelangan.
Sangat disayangkan kalau gereja dan perayaan-perayaan liturgi khususnya
Ekaristi menjadi tempat penawaran barang-barang jualan kepada umat dengan cara
menggugah rasa religius umat. Kita harus cukup waspada terhadap kecendrungan
membawa pasar kedalam gereja dan menggunakan Altar atau Mimbar Sabda sebagai
tempat reklame barang-barang dagangan. Kewaspadaan yang sama perlu kita miliki
bila mau membawa altar ke tengah pasar.
Di tengah pasar kita
sebagai orang beriman mau bertransaksi dengan semangat penuh syukur dan
kerelaan untuk saling membagi keuntungan dan kebahagiaan, bukan untuk mengeruk
dan mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya seraya merugikan orang-orang lain
secara tidak adil dalam bentuk apa saja entah sebagai penjual atau pembeli.
Mampukah kita menghayati di tengah pasar semangat kurban-syukur yang kita
rayakan di altar dalam gereja? Mampukah kita menghayati semangat yang sama
dalam segala kegiatan tukar-menukar lain baik di rumah maupun di tempat kerja
dan rekreasi? Sebagai orang beriman kita yakin bahwa dalam dan bersama Tuhan
kita dapat menghayati semangat kurban syukur itu. Kalau kita menyadari dan menghayatinya
dalam liturgi, kita diberi kekuatan juga untuk menjadi orang utusan yang berani
memberi kesaksian tentang semangat ini dalam hidup sehari-hari.
Sacra comercia dan profana comercia
Dalam tradisi doa-doa
liturgis digunakan satu ungkapan dari dunia pasar yang bisa menimbulkan salah
kaprah. Ungkapan itu adalah sacra comercia (= perdagangan atau
pertukaran suci) yang terdapat dalam kumpulan doa-doa Sacramentarium
Veronense (abad V-VII) dan dipakai juga dalam Buku Misa Paulus VI edisi
ke-tiga hasil revisi Paus Yohanes Paulus II tahun 2002, khususnya dalam doa-doa
pada masa Natal dan Paskah. ((MISSALE ROMANUM, Ex Decreto Sacrosncti
Oecumenici Concilii Vaticani II Instauratum Auctoritate Pauli PP. VI
Promulgatum Ioannis Pauli PP. II Cura Recognitum, Editio Typica Tertia (Typis
Vaticanis, A.D. MMII), hlm. 155, 163, 383, 384, 399-400, 406, 425)) Ungkapan
“pertukaran suci” dipakai untuk menjelaskan tindakan Tuhan sebagai karya
penyelamatan yang agung, anugerah terbesar bagi manusia ketika Yesus Putra
Tunggal Allah turun ke dunia dan lahir menjadi manusia supaya kita ditebus dari
dosa-dosa dan kematian abadi, dan ketika Yesus naik ke surga, kembali kepada
Bapa, kita semakin diberi kemampuan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi
Allah. Itulah tindakan penyelamatan Allah: menukar dosa dan kematian kita
dengan penebusan dan hidup dalam Yesus Kristus, menukar kemanusiaan kita dan
hidup sementara di bumi ini dengan hidup ilahi dan abadi dalam Allah.
Jadi sacra
comercia adalah tindakan Allah, adalah anugerah keselamatan dari Allah,
bukanlah tindakan kita manusia ala profana comercia (manusia mau
menukar barang dan jasanya dengan uang sesama bahkan dengan anugerah
Allah). Profana comercia terjadi kalau kita memberi kolekte sesudah
homili, dengan maksud untuk membayar jasa pengkhotbah, sehingga semakin hebat
pengkhotbahnya semakin besar kolektenya. Kalau kita menghantar kolekte ke kaki
altar, dengan tujuan utama untuk membayar jasa imam yang memimpin misa dan mau
membeli anugerah kebaikan Tuhan di altar yang sebenarnya diberi kepada kita
dengan cuma-cuma, itu juga profana comercia yang tidak lain adalah simonia.
Apalagi kalau Mimbar Sabda dan Altar kita pakai untuk menjual produk-produk
kegiatan manusia kepada para pembeli yang adalah umat beriman. Seraya
menghindarkan profana comercia di dalam liturgi, kita mau mengalami
dengan rasa kagum dan penuh syukur-pujian sacra comercia Allah
sendiri, karunia penyelamatan cuma-cuma dari Allah. Maka kita akan memberi
kolekte dengan rela dan tulus terutama untuk bersyukur kepada Tuhan atas
anugerah Sabda-Nya dan mengambil bagian dalam kurban Syukur Yesus Kristus. Kita
boleh memberi kolekte sambil menyampaikan permohonan-permohonan tetapi selalu
dalam semangat penuh syukur bukan dalam semangat menuntut dan memaksa Tuhan.
Kiat-kiat
Untuk menghindarkan
penyalahgunaan kolekte agar tujuan sebenarnya dapat terwujud, maka pemantauan
tentang penggunaan kolekte serta laporan pertanggunganjawab yang transparan
akan sangat berguna. Pemantauan yang teliti menolong membentuk satu sistim
keuangan yang rapih dan teliti sekaligus menjauhkan kecenderungan untuk
korupsi. Administrasi keuangan yang amburadul memberi peluang yang besar untuk
menggelapkan uang dan barang-barang milik Gereja. Kalau hal itu terjadi,
berdasarkan pengalaman di banyak paroki atau komunitas, semangat umat beriman
untuk memberi kolekte akan menurun.
Laporan yang transparan
dan jujur tidak hanya meliputi besarnya pemasukan dan pengeluaran, tetapi juga
pengeluaran untuk pemakaian sesuai dengan tujuan awal pengumpulan kolekte itu.
Kalau tujuan kolekte jelas dan pengeluarannya juga sesuai dengan sasaran yang
dimaksud, maka kepercayaan umat akan bertumbuh dan kerelaan untuk memberi
kolekte dengan sendirinya akan dipacu. Bagi semua orang yang telah dengan rela
memberikan kolekte, pertanggunganjawab yang transparan merupakan satu tanda
terima kasih yang ikhlas. Transparansi laporan keuangan turut memperlihatkan
penghargaan yang tulus kepada semua orang yang telah memberi kolekte dengan
rela dan tulus.
Kesaksian lewat cara
hidup yang sederhana sangat berpengaruh dalam meningkatkan jumlah kolekte,
sebaliknya gaya hidup yang serba mewah dari para petugas pastoral dapat
mengurangkan kolekte. Demikian pula cara pemanfaatan uang atau barang-barang
milik Gereja yang efektif demi kepentingan umum akan menanamkan kepercayaan
dalam diri umat untuk rela memberi. Sebaliknya cara hidup boros dari para
petugas pastoral turut memperlemah semangat umat untuk memberi. Bila petugas
pastoral memiliki semangat tinggi untuk melayani orang lain dengan rendah hati,
maka umat semakin percaya bahwa pemberian mereka tidak disia-siakan tetapi
diteruskan oleh para hamba yang setia dalam melaksanakan tugas penggembalaan.
Petugas pastoral seperti inilah yang selalu didukung oleh umat yang dilayani,
misalnya lewat kerelaan dan kesetiaan memberi kolekte.
Semoga Nama Tuhan
semakin dipuji karena kesaksian hidup orang beriman baik yang memberi maupun
yang mengelola dan memanfaatkan kolekte yang diperoleh dalam liturgi. Kiranya
orang-orang yang berkehendak baik memperoleh rahmat dan damai sejahtera dari
Tuhan secara berlimpah-limpah dan berusaha meneruskan anugerah kebaikan Tuhan
kepada lebih banyak orang lain yang berkekurangan agar dapat semakin
mengalami sacra comercia Allah dan menjauhkan profana
comercia yang mengarah kepada simonia baik dalam liturgi maupun
dalam hidup harian. ***