Lagi-lagi etika dan
moralitas menjadi pokok pembahasan dalam perdebatan tersebut. Catatan tentang
sikap Presiden Joko Widodo soal keterlibatannya dalam pemilu kemarin, kembali
dibahas dalam sidang perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden kali
lalu. Selaku saksi ahli Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Romo Magnis mengulas banyaknya
kecacatan moral dalam kontestasi tersebut baik menjelang hingga berjalannya
pemilu.
Salah satu pembahasan
yang disampaikan oleh Romo Magnis adalah soal etika dan penguasa. Bagi seorang
presiden tidak cukup ia disebut baik hanya ketika ia tidak melanggar hukum.
Standar etika yang tinggilah yang dimaksud Romo Magnis harus dimiliki oleh
seorang penguasa.
Dalam konteks tersebut
Romo Magnis tidak sedikit mendapat respons negatif pasca sidang sengketa hasil
pemilu. Banyak di antaranya yang menyayangkan, bahkan mencibir sikap Guru Besar
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan rohaniwan yang sangat dihormati
tersebut.
Lalu bagaimana mungkin
mengungkapkan pelanggaran moral, dapat dipandang sebagai sikap yang tidak
bermoral? Hal ini mungkin bisa dipahami dari latar belakang Romo Magnis dan
ketidakkonsistenan beliau terhadap Jokowi. Namun, kita tidak akan bicara banyak
soal itu, melainkan tentang letak keanehan dalam perbincangan tentang moral.
Secara pribadi saya
tetap menaruh standpoint yang tegas dengan membangun sikap kritis terhadap
cawe-cawe politik Presiden Joko Widodo. Namun, tulisan ini juga tidak bermaksud
dibuat semata-mata untuk membela Romo Magnis.
Setelah melewati
keriuhan politik ini, perbincangan tentang moral politik semakin terasa
menjenuhkan. Mungkin saja kejenuhan ini datang dari keseharian perpolitikan
kita yang sudah terlalu banyak dihiasi dengan bualan-bualan moral dan
drama-drama tidak jelas.
Mengendalikan Moral Publik
Bagaimana kalau
dikatakan bahwa moral itu dapat dikendalikan? Pertanyaan selanjutnya, lalu
siapa yang mengendalikannya dan untuk apa hal yang dirasa mustahil itu
dilakukan? Mungkin terlalu jauh dan berlebihan untuk membangun pertanyaan
semacam ini. Namun, kenyataan-kenyataan lain yang juga dikendalikan semacam
opini publik dapat menjadi salah satu pintu masuk hal itu mungkin saja terjadi.
Sebelum kembali ke
situ, kita perlu sedikit memahami kembali tentang moralitas. Immanuel Kant
adalah filsuf yang banyak membahas tentang etika dan moral. Terlepas bahwa
dirinya juga dianggap tokoh yang cukup rasis terhadap orang-orang kulit hitam,
seperti dalam beberapa karya yang ditulisnya Von den verschiedenen Racen der
Menschen (Perihal Perbedaan Ras Manusia).
Dalam filsafat moralnya
tentang etika deontologis, Kant menyebut bahwa etika adalah sesuatu yang perlu
dipisahkan dari unsur rasional, sebab etika sudah tertanam dalam diri manusia.
Artinya seseorang berbuat baik karena kebaikan itu sudah ada dalam dirinya dan
merupakan suatu kewajiban. Pendekatan etika deontologis inilah yang juga banyak
dipakai oleh Romo Magnis dalam analisis filosofisnya.
Menyorot pada konteks
perdebatan pemilu ini, rasa-rasanya memang ada yang luput dari analisis tentang
moral saat ini. Jika moral memang sudah dimiliki oleh setiap orang, lalu
mengapa persoalan pelanggaran etika berat oleh seorang presiden justru memicu
perdebatan panjang. Kita tidak lagi wajib menggunakan Kant untuk menjawab soal
ini.
Saya mengira bahwa
etika dan moralitas masih menjadi bagian penting yang dipegang oleh masyarakat
kita. Sayangnya, moralitas sebagai bagian dari norma masih banyak dipahami
secara umum sebagai karakteristik persona. Misalnya saja, sikap lembut hati,
sopan santun, dan penyabar. Suatu yang perlu dibedakan dalam kategorisasi
normatif. Sementara di lain sisi, sikap kritis dengan nada tajam justru dinilai
sebagai perilaku yang tidak bermoral.
Sedikit aneh memang,
jika melihat fenomena semacam ini terjadi. Dengan bahasa yang cukup sulit
dimengerti, pemikiran Žižek tentang cara subjek memandang realitas yang
berbeda-beda menarik digunakan. Dalam The Sublime Object of Ideology, Žižek
menjelaskan ideologi adalah serangkaian wacana yang mendorong gagasan-gagasan
palsu kepada masyarakat. Ketika orang menerima ide-ide palsu ini, mereka
mengembangkan “kesadaran palsu” tentang dunia di mana mereka tinggal di
dalamnya.
Dari pemahaman
tersebut, kita dapat mengacu pada suprastruktur yang menjadi tempat ideologi itu
diproduksi dan didistribusikan. Sederhananya dapat dilihat pada produk politik
apa yang dihasilkan dan narasi apa yang paling sering ditampilkan. Kondisi ini
membuat kita kesulitan tiba pada kesadaran moral yang dapat dimaknai secara
universal.
Apalagi sungguh sulit
memang menerima fakta bahwa orang yang kita kira baik secara moral, justru
melakukan hal yang sebaliknya fatal. Mengingat banyak dari kita mengenal,
hingga mencintai sosok pemimpin kita dengan apa yang diproyeksikan lewat
media-media sosial atau media konvensional. Dengan citra penyabar dan pemaaf
ketika banyaknya nada-nada cibiran dialamatkan padanya.
Paradoks Moral
Bagaimana jika bantuan
sosial yang dikeluarkan oleh presiden menjelang pemilu kemarin, justru dapat
dipandang sebagai praktik moral itu sendiri bagi mereka yang menerima manfaat.
Ini tentu bakal sulit dipahami oleh mereka-mereka yang telah tercerahkan,
termasuk oleh saya sendiri. Terlebih jika kita mengkaitkan soal kuatnya unsur
politisasi bansos di dalamnya.
“Jika kamu membunuh kecoa kamu adalah
pahlawan, jika kamu membunuh kupu-kupu kamu adalah orang jahat. Moralitas pada
kenyataannya memiliki standar estetika”. Kalimat Nietzsche yang cukup menohok
ini semakin membuat paham tentang moralitas terkesan membingungkan, tetapi di
sisi lain cukup memberikan tamparan segar.
Jika kita mengacu pada
pemikiran Lawrance Kohlberg tentang tahap perkembangan moral, mungkin kita bisa
melihat bahwa moralitas dapat menjadi begitu abstrak. Sebelum moral mencapai
pada tahap universal, terdapat tahap moral yang disebut Kohlberg sebagai
moralitas pasca-konvensional. Tahap ini dipahami ketika seseorang mengambil
keputusan berdasarkan apa yang mereka anggap benar, bukan sekadar mengikuti
aturan masyarakat.
Dengan kata lain,
subjektivitas moral yang abstrak dapat menjadi begitu dominan. Ini juga
sebabnya persoalan etika dan moral dalam sengketa hasil pemilu tidak memiliki
level kadar moral yang berarti pada sudut pandang orang tertentu.
Mengejutkannya adalah sudut pandang itu merupakan sudut pandang dominan oleh
mereka yang telah memberikan suara terbanyak.
Situasi semacam ini
juga tidak lepas dari watak politik kita yang terlalu banyak diisi dengan
tumpukan pelanggaran etika dan hukum. Berteriak atas nama moral ketika tidak
berkuasa, namun melanggar moral ketika berkuasa. Sebuah anomali yang khas
dengan wajah perpolitikan saat ini.
Apa pun hasilnya, apa
yang tengah terjadi sarat dengan kecacatan moral. Meskipun dengan nada yang
cukup pesimis bahwa hampir mungkin keputusan tidak bakal berubah. Selayaknya
berendam di lautan fakta, nurani yang murni tidak pernah dapat disangkal.
Mengutip Pramoedya Ananta Toer “kebenaran akan selalu hidup, walaupun tidak ada
yang memperjuangkannya”.