Hilarius Bria Suri. (Foto: Nofry) |
Anggota Bawaslu
Kabupaten Malaka, Hilarius Bria Suri menyampaikan ini kepada wartawan di Betun,
Senin 15 April 2024.
Hilarius Bria Suri
menyampaikan, sebagai bentuk pencegahan Bawaslu Malaka sudah bersurat ke
pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan Wakil Bupati dilarang melakukan
mutasi atau rotasi jabatan 6 bulan sebelum penetapan yakni terhitung 22 maret
2024. Surat himbauan tersebut bernomor 152/KLNT/PM/03/2024.
Hilarius Bria Suri
menyampaikan aturan yang sehubungan dengan pelaksanaan tahapan pemilihan
gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil
walikota tahun 2024, maka Bawaslu Kabupaten Malaka mengimbau Bupati Malaka agar
memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pengganti pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang – Undang
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2020 tentang penetapan peraturan pemerintah Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
penetapan peraturan pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang sebagai berikut.
Pertama, diatur dalam
pasal 71 ayat (1) bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil
negara, anggota TNI -Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain/lurah dilarang
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon.
Kedua, Pasal 71 ayat
(2) bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota
atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum
tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali
mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
Ketiga, pasal 71 ayat
(3) bahwa Gubemur atau Wakil Gubemur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota
atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri
maupun di daerah lain dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan
calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Keempat, pasal 71 ayat
(4) bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
Kelima, pasal 71 ayat
(5) bahwa dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi
pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Keenam, pasal 71 ayat
(5) bahwa dalam hal Gubemur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi
pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Ketujuh, pasal 71 ayat
(8) bahwa sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang
bukan petahana diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedelapan, pasal 188
bahwa setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa
atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan
atau paling lama 8 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 (enam
ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 8.000.000,00 (enam juta rupiah).
Kesembilan, pasal 190
bahwa pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau pasal 162 ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan 2 atau paling lama 8
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
“Dan masih banyak
aturan yang mengatur soal keterkaitan kebijakan kepala daerah,” tutupnya. (*) Koran NTT