Menurut Ketua IPW,
Sugeng Teguh Santoso, jika laporan itu benar, oknum Polri telah berlaku sebagai
penguasa dan sebagai pengatur proyek.
Ia berkata, tugas,
pokok dan fungsi Polri yang harus dijalankan setiap anggota adalah penegakan
hukum, perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat.
Dalam konteks itu, kata
Sugeng kepada Floresa, anggota Polri “tidak boleh terlibat dalam
proyek-proyek pengadaan barang dan jasa.”
Pernyataan Sugeng
merespons pemberitaan media yang menyebut Kapolres Belu, AKBP Richo
Nataldo Devallas Simanjuntak dan Kasat Reskrim, Iptu Djafar Awad Alkatiri
terlibat mengerjakan proyek infrastruktur di Kabupaten Belu di kawasan hutan
lindung dan diduga memeras pengusaha.
Keduanya telah
menjalani pemeriksaan di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur [Polda NTT] pada
6 April.
Disitir dari NTTHits.com, keduanya
diperiksa oleh Tim Pengamanan Internal Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Sugeng berkata, IPW
mendorong Polri menangani kasus ini “secara profesional.”
Kasus ini harus
dibawa ke sidang kode etik apabila sudah mendapatkan cukup bukti, katanya.
Kalau ada unsur pidana,
kata dia, harus diproses di satuan reserse Polda NTT atau Mabes Polri.
Menurut Sugeng, kalau
anggota Polri terlibat bermain proyek, “berpotensi menjadi pihak yang
melindungi” praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme [KKN] dalam pengadaan
barang dan jasa di daerah.
Apalagi, kata dia,
dalam proses pengadaan barang dan jasa selalu ada indikasi KKN.
Ia menyebut praktik KKN
yang sering terjadi, seperti mark up proyek, pemberian komisi proyek
kepada pihak tertentu, ijon proyek, pengurangan spek atau pengaturan penyusunan
anggaran menjelang pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Biasanya, kata Sugeng,
pembicaraan untuk menetapkan Harga Perkiraan Sendiri [HPS] dalam sebuah proyek
sudah dipermainkan sejak awal dan diketahui intelijen kepolisian dan
kejaksaan.
“Semestinya modus-modus
seperti ini ditindak oleh penegak hukum. Namun, hal ini seringkali
dimanfaatkan aparat penegak hukum untuk mendapat keuntungan dengan memeras
pengusaha,” katanya
Ia menambahkan, bahkan
oknum penegak hukum juga terlibat dalam pengadaan barang dan jasa.
Sugeng menyatakan, hal
itu yang membuat aparat penegak hukum “bukannya menjadi pengawas,malah jadi
pemain sekaligus mengamankan dugaan-dugaan korupsi tersebut.”
Dalam kasus tambang di
hutan lindung, seperti di Belu, kata dia, semestinya ditindak, tetapi karena
ada dugaan oknum Kapolres terlibat, maka itu bisa saja dimanfaatkan untuk
mendapatkan keuntungan, sekaligus mengamankan kasus.
Jadi Sorotan
Kapolres
Belu, AKBP Richo Nataldo Devallas Simanjuntak menjadi sorotan usai sebuah
surat yang disinyalir ditulis oleh sejumlah pengusaha di Atambua memuat pengakuan
bahwa mereka diperas.
Surat itu
ditujukan kepada Presiden Jokowi dan Kapolri Sigit Sulistyo Prabowo, Gubernur
NTT dan Bupati Belu.
“Bapak Kapolres yang
terhormat bersama anggota, belum cukupkah gaji yang bapak dapatkan rutin setiap
bulan tanpa harus memeras dari kami,” tulis mereka dalam surat itu seperti
dikutip dari Kompas.com pada
29 Maret.
Surat itu juga
menyinggung harapan mereka terhadap institusi Polri yang semestinya menjadi
pelindung dan pengayom masyarakat, namun justru bertingkah seperti perampok dan
pemeras.
Richo telah membantah
tudingan itu, menyebutnya sebagai “hoaks.”
Ia menganggap surat tersebut
ditulis dan disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk
mendiskreditkannya.
Ia mengklaim penulis
surat itu adalah orang yang tidak senang karena ia dekat dengan masyarakat.
Selain tudingan
melakukan pemerasan, Richo juga disebut-sebut sebagai dalang pengrusakan hutan
lindung.
Dilansir dari NTTHits.com, Richo
diduga mengerjakan proyek pembangunan jalan dalam kawasan hutan lindung
di Desa Tukuneno, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu.
Pembangunan jalan itu
disinyalir sebagai akses menuju pertambangan galian C yang berada dalam hutan
lindung.
Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Cabang Atambua sempat melakukan aksi unjuk
rasa di Kantor Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan wilayah
Kabupaten Belu pada 26 Maret, memprotes perusakan hutan lindung itu.
Ketua Presidium PMKRI
DPC Cabang Atambua, Sekundus Loe juga menyoroti dugaan keterlibatan Richo dan
jajarannya.
Sejumlah aktivitas itu,
kata dia, meliputi peningkatan jalan di dalam kawasan hutan lindung sepanjang
sepanjang tiga kilometer yang membuat sejumlah pohon dalam lintasan
ditebang.
Tidak hanya itu, ia
juga mengaku menemukan adanya aktivitas tambang galian C di dalam kawasan
hutan lindung.
Kendati tidak membantah
adanya sejumlah aktivitas tersebut, Richo mengklaim kegiatannya berada di luar
kawasan hutan lindung.
Ia juga menyebut tidak
membangun jalan, tetapi hanya melakukan perbaikan karena jalan itu rusak.
“Itu jalan lama yang
sudah digunakan oleh masyarakat desa,” katanya.