Pada level pendidikan
dasar sejak TK hingga SLTA yang dibutuhkan secara substansial adalah masalah
akses pendidikan yang murah dan inklusif di satu sisi, dan pada sisi lain
adalah memastikan ranking PISA (Programme for International Student Assessment)
Indonesia yang terdiri atas kemampuan matematika, sains dan literasi/reading
naik secara signifikan.
Sebagai informasi per
2022, ranking PISA pelajar Indonesia hanya menempati posisi 68 dengan skor
matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Posisi Indonesia masih di
bawah Malaysia dan lebih jauh di peringkat bawah jika dibandingkan dengan
Singapura yang selalu langganan di ranking top 5
(https://worldpopulationreview.com/country-rankings/pisa-scores-by-country).
Hal ini terjadi karena
guru dan murid di sekolah dibebani hal-hal yang seremonial dan administratif
saja yang tak berdampak kepada literasi atau kemampuan sains dan matematik
mereka seperti yang dituliskan oleh Naufalul Ihya Ulumuddin dalam Mojok.co
(https://mojok.co/terminal/guru-diburu-berkas-siswa-diburu-tugas-wajar-minat-baca-rendah/).
Hal yang juga tak jauh
berbeda di level perguruan tinggi di mana dosen diberi beban kerja yang sangat
administratif dan tidak menunjang peningkatan kemampuan akademik dan penelitian
(https://www.bing.com/search?q=scopus+thaufan&form=ANNTH1&refig=20440DBE75ED433598B595C5B88C0449&pc=LCTS).
Prakondisi yang
seharusnya ideal di level pendidikan dasar sejak TK hingga SLTA seharusnya
terkoneksi dengan kebijakan yang strategis di level perguruan tinggi yaitu
memastikan akses pendidikan tinggi yang juga harus murah dan inklusif di satu
sisi, dan di sisi lain adalah memastikan keahlian mahasiswa di bidang kajiannya
yang disertai dengan penguasaan soft skill yang baik.
Hanya dengan memastikan
dua level inilah, maka masa depan Indonesia bisa dibayangkan akan lebih baik
karena generasi yang lahir adalah generasi yang cerdas dan berkualitas. Bonus
demografi akan benar-benar menjadi bonus demografi dan bukan bencana demografi.
Seharusnya Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, memikirkan untuk
mentransformasi hal yang fundamental ini dan bukan sekadar menghabiskan energi
membangun wacana publik yang insignifikan.
Dari berbagai kebijakan
Nadiem Makarim yang cenderung berkiblat kepada model pendidikan liberal di
negara maju yang dibungkus dalam paradigma Merdeka Belajar sejatinya masih
kurang nyambung dan tepat di Indonesia karena masih banyak persoalan struktural
pendidikan yang belum selesai seperti yang diuraikan di atas.
Merdeka Belajar hanya
bisa diterapkan secara efektif ketika fasilitas pendidikan di berbagai level
sudah memadai, SDM guru dan dosen memadai, administrasi birokrasi yang cepat
dan mendukung (bukan membebani seperti hari ini baik di level pendidikan dasar
maupun pendidikan tinggi), serta kreatifitas dan antusiasme yang tinggi dari
peserta didik.
Alhasil, Nadiem Makarim
seharusnya mendorong revolusi struktural pendidikan di negeri ini agar akses
pendidikan di level dasar dan perguruan tinggi mudah diakses dan inklusif serta
memastikan kualitas hasil pendidikan yang terukur dengan memastikan kenaikan
ranking PISA siswa Indonesia di level pendidikan dasar dan penguatan keahlian
mahasiswa Indonesia di berbagai bidang kajian yang disertai dengan soft skill
yang baik di semua universitas di Indonesia.
Tentu, yang lebih
penting adalah memastikan prakondisi yang baik terutama fasilitas dan SDM
sebelum mendorong paradigma pendidikan yang liberal humanis di Indonesia.
Mungkin ini hanya terwujud jika anda (yang sedang membaca tulisan ini) jadi
Mendikbud.