Dibandingkan dengan
perkara PHPU 2014 dan 2019, dalam PHPU 2024 terdapat sejumlah keunikan. Sebab
kompleksitas perkara dan hal-hal diluar agenda formal pemilu juga turut
diperkarakan dalam persidangan PHPU 2024. Misalnya terkait bagi-bagi bansos dan
cawe-cawe presiden yang banyak disinggung dalam permohonan PHPU. Sampai-sampai
membuat MK harus memanggil sejumlah menteri dan DKPP untuk mengkonfirmasi
pelanggaran pemilu dan penyalahgunaan kekuasaan. Ditambah lagi isu
penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang tidak independen juga dijadikan
sebagai dalil permohonan PHPU.
Kegaduhan Pilpres
Hal berbeda dalam
gelaran pilpres 2024 karena sejak awal pendaftaran capres/cawapres sudah
diwarnai perdebatan masalah etik terhadap paslon Prabowo-Gibran. Sebab majunya
Gibran sebagai cawapres Prabowo mengandung dua masalah utama. Pertama, Putusan
MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dinyatakan cacat etik. Kedua, adanya konflik
kepentingan karena kedudukan Gibran sebagai anak kandung Presiden Jokowi.
Sesungguhnya dua
permasalahan itu belum pernah terjadi dalam gelaran pilpres sebelumnya,
sehingga perkara inilah yang menjadikan pilpres 2024 mengandung hiruk pikuk dan
problematika hukum yang akan terus dipermasalahkan. Meski kedua permasalahan
itu cenderung kental dengan unsur “formal” penyelenggaraan pilpres, tetapi
pastinya berdampak terhadap aspek “substansial” karena menandakan lemahnya
konsolidasi demokrasi di Indonesia. Padahal, gelaran pemilu adalah momentum
mengkonsolidasikan demokrasi menjadi lebih baik.
Hujan kecaman terhadap
Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 pada kenyataannya tidak bisa menghentikan langkah
Gibran menjadi cawapres Prabowo. Meski upaya untuk menggugurkan Amar Putusan
No. 90/PUU-XXI/2023 juga dilakukan melalui mekanisme judicial review, akan
tetapi nyatanya MK konsisten mempertahankan norma yang sebelumnya sudah
diputus.
Permasalahan serupa
juga terjadi ketika KPU tidak mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 yang
mengatur syarat pencalonan capres/cawapres. Tidak berubahnya Peraturan KPU
tersebut pada akhirnya menjadikan Gibran tetap mengikuti laga pilpres sampai ia
dinyatakan memperoleh suara terbanyak.
Perdebatan demi
perdebatan itu ternyata terus berlanjut hingga persidangan PHPU di MK.
Sampai-sampai problematika pencalonan Gibran menjadi dalil yang paling utama
dan dijadikan dasar permohonan untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran dan
melakukan pemilu ulang.
Mungkinkah MK Menembus Batas Kewajaran Putusan PHPU?
Dalam tiap gelaran
persidangan PHPU, selalu saja yang menjadi polemik adalah soal kewenangan MK.
Meski dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 beserta aturan turunannya telah menegaskan
bahwa MK mengadili perselisihan hasil. Akan tetapi banyak pihak yang memberikan
tafsir baru supaya MK tidak sekadar memutus perselisihan hasil dari angka-angka
saja, melainkan harus berani menembus batas-batas formalitas angka-angka.
Artinya, kalau merunut dari tafsir itu, MK didesak untuk membuat putusan
revolusioner yang memutus konstitusionalitas seluruh rangkaian pilpres. Tidak
hanya terkait perolehan hasil pilpres tetapi juga rangkaian proses yang
berdampak terhadap hasil.
Sesungguhnya apabila
mencermati UU Pemilu sudah ada pemetaan lembaga yang berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus apabila terjadi sengketa proses, perselisihan hasil,
pelanggaran administrasi, dan tindak pidana pemilu. Lembaga itu adalah Bawaslu,
DKPP, PTUN, Pengadilan Negeri, dan MK.
Secara normatif,
apabila nantinya MK mengadili perkara di luar kewenangan yang sudah ditentukan
menurut UUD NRI 1945 dan aturan turunannya, maka sesungguhnya akan menimbulkan
persoalan baru karena memutus hal-hal diluar yang sudah dinormakan dalam
perundang-undangan. Suka atau tidak suka, memang begitulah bunyi rumusan norma
yang membatasi supaya MK hanya mengadili perselisihan hasil pemilu. Sejauh ini
pun belum ada perkara pilpres yang mengharuskan MK melampaui batas kewenangan
mengadili di luar perselisihan hasil.
Andai kata MK
benar-benar memutus perkara diluar perselisihan hasil maka tentu akan
mengacaukan kelaziman penyelesaian sengketa, dan hal itu berdampak terhadap
legitimasi putusan. Untuk mengubah kelaziman penyelesaian sengketa itu
sebetulnya bisa dilakukan ketika MK berpandangan ada persoalan ketatanegaraan
yang sangat luar biasa terjadi dan harus diselesaikan oleh MK.
Kewenangan MK yang
sekadar memutus perselisihan hasil pilpres memang sangat dilematis. Sekalipun
MK menyadari ada potensi penyalahgunaan kekuasaan, akan tetapi ruang gerak MK
untuk menilai konstitusionalitas seluruh rangkaian pemilu sebetulnya tertutup
secara yuridis sebagaimana norma perundang-undangan.
Kecuali, MK dengan
langkah beraninya melakukan judicial activism dan menembus batas dimensi
kewajaran dan norma perundang-undangan karena adanya persoalan ketatanegaraan
yang luar biasa. Artinya MK dengan inisiatifnya sendiri bisa saja menilai
konstitusionalitas seluruh rangkaian pilpres yang tidak terbatas pada
perselisihan hasil.
Apabila keberanian MK
tersebut benar-benar dilakukan, maka MK juga harus memproyeksikan potensi
permasalahan serta solusi untuk mengatasinya. Sebab karakteristik putusan MK
terkait pilpres bersifat final and binding sehingga tidak ada upaya hukum untuk
mengubahnya. Dengan konsep final and binding itu, MK bisa menerapkan judicial
activism untuk memutus perkara secara revolusioner guna mengatasi persoalan
pilpres yang teramat kacau.
Tantangan Terberat Hakim Konstitusi
Setelah mencermati alat
bukti dalam persidangan PHPU yang disampaikan para pemohon, agaknya menjadi
tantangan yang sangat berat nan dilematis bagi Hakim Konstitusi untuk
mengabulkan perkara ini. Sekalipun berbagai pelanggaran dan penyalahgunaan
kekuasaan itu nyata terjadi dan disadari oleh Hakim Konstitusi, akan tetapi
ketika menuangkan dalam bentuk amar putusan menjadi tantangan tersendiri. Sebab
ada dinding kewenangan yang membatasi ruang gerak MK secara terbatas.
Terlebih lagi apabila
melihat petitum yang dimohonkan supaya mendiskualifikasi paslon Prabowo-Gibran
dan mengadakan pemilu ulang agaknya petitum itu dalam batas penalaran yang
wajar mustahil dilakukan. Baik dalam UU Pemilu, UU MK, dan Peraturan MK tidak
ada ketentuan dilakukannya “diskualifikasi” maupun “pemilu ulang”. Sebab yang
berwenang melakukan diskualifikasi seharusnya KPU dengan alasan paslon yang
tidak memenuhi syarat menurut undang-undang.
Kalaupun MK
berkeinginan mendiskualifikasi paslon dan membatalkan hasil pilpres, MK harus
benar-benar yakin adanya pelanggaran TSM dan secara nyata berdampak terhadap
perolehan hasil secara signifikan. Apabila mencermati sidang pembuktian,
agaknya sulit bagi MK melakukan diskualifikasi terhadap salah satu paslon
ataupun melakukan pemilu ulang. Sekalipun yang didalilkan pemohon karena adanya
bansos dan cawe-cawe presiden.
Dalam berbagai putusan
PHPU, MK sangatlah hati-hati dalam memutus perkara. Sekalipun ada desakan
publik supaya MK mengabulkan permohonan, tetapi dalam sejarahnya belum pernah
ada putusan MK yang mengabulkan permohonan PHPU, baik untuk sebagian maupun
seluruhnya.
Meski MK tidak pernah
mengabulkan perkara PHPU, akan tetapi dalam ratio decidendi dapat dimungkinkan
apabila MK melahirkan rumusan konstitusionalitas baru (yurisprudensi) berkenaan
dengan pilpres. Tidak menutup peluang ratio decidendi putusan MK nantinya
menetapkan larangan adanya benturan kepentingan (conflict of interest) antara
peserta pemilu dengan pemangku jabatan eksekutif (presiden/wapres yang sedang
menjabat).
Apabila merunut putusan
MK berkenaan dengan benturan kepentingan sebetulnya pernah diadili dalam judicial
review UU Pilkada yang melarang adanya konflik kepentingan peserta pilkada
dengan petahana (vide Putusan No. 33/PUU-XIII/2015). Akan tetapi ketentuan
konflik kepentingan tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK karena
dianggap diskriminatif. Apabila logika hukum Putusan No. 33/PUU-XIII/2015
tersebut konsekuen diterapkan dalam PHPU 2024, maka dimungkinkan apabila MK
akan menolak permohonan PHPU 2024 untuk mendiskualifikasi paslon Prabowo-Gibran
karena relasinya dengan Presiden Jokowi.
Terlebih lagi
sebetulnya, lolosnya Gibran menjadi cawapres Prabowo juga akibat adanya Putusan
No. 90/PUU-XXI/2023. Sehingga dalam PHPU 2024 secara tidak langsung MK juga
berhadapan dengan putusan yang pernah dibuatnya sendiri. Meski di kemudian hari
tidak menutup peluang apabila MK akan berubah haluan yang tidak lagi sejalan
dengan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 akibat adanya permasalahan ketatanegaraan yang
dianggapnya luar biasa.
Harapan Publik Terhadap Amar Putusan
Andai kata MK
mengabulkan petitum untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran atau mengabulkan
pemilu ulang, maka akibat hukum dari pengabulan itu juga harus ditentukan MK
secara expressive verbis dalam putusan guna menghindari adanya penyalahgunaan
kebijakan serta mengantisipasi terjadinya konflik yang “berulang”. Sekalipun
putusan semacam itu dimungkinkan, akan tetapi lagi-lagi butuh judicial activism
dan keberanian yang kuat supaya MK memutus perkara itu diluar kelaziman yang
selama ini sudah dipraktikkan serta menembus batas norma dalam undang-undang.
Meski saat ini terdapat
perubahan komposisi Hakim Konstitusi dibanding saat mengadili Putusan No.
90/PUU-XXI/2023, akan tetapi hal itu sepertinya tidak serta merta menjamin
dikabulkannya perkara PHPU. Sebab lagi-lagi dikatakan bahwa MK juga sedang
berhadapan dengan konsistensi putusannya sendiri. Dan untuk mengubahnya butuh
keadaan conditio sine qua non sehingga berpengaruh terhadap pendirian MK.
Satu hal yang pasti,
supaya MK memutus perkara ini dengan bijak dan seadil-adilnya. Berbagai
pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan harus sudah dihentikan dan tidak
menganggapnya sebagai suatu normalisasi politik dalam pemilu. Karena itu
putusan MK adalah jalan terakhir yang dinanti publik mengenai nasib bangsa ini
ke depannya.
Apabila nantinya
putusan MK menyatakan menolak sebagian atau seluruh petitum pemohon, setidaknya
ratio decidendi dalam putusan MK akan memberikan warna baru supaya gelaran
pilpres selanjutnya tidak ada lagi konflik kepentingan antara paslon yang
memiliki hubungan keluarga dengan pejabat negara lainnya (in casu
presiden/wapres). Oleh sebab itu, meski putusannya menolak masih ada peluang
bagi MK untuk bermain pada bagian ratio decidendi yang menjadi dasar
konstitusional untuk memperbaiki gelaran pemilu di masa mendatang.
Melalui putusan PHPU
ini pula menjadi kesempatan bagi MK untuk mengembalikan kepercayaan publik yang
berada pada titik terendah pasca Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Publik saat ini
benar-benar menantikan keberanian MK supaya memutus perkara ini seadil-adilnya
tanpa ada intervensi dari penguasa. Karena itulah MK sebagai garda terakhir
pelindung demokrasi konstitusional (the guardian of constitutional democracy).
Tanpa melalui MK, lantas ke mana lagi publik harus berharap?