Tak terkecuali di
segala sisi kampus yang notabene dapurnya generasi bangsa. Di sepanjang lorong
gedung kampus yang menjulang tinggi itu, tersebar pesan istimewa bagi
orang-orang muda. Stop korupsi!
Kok bisa, sih, dengan
slogan bertebaran bak gundukan pasir, akal keling itu masih mencemari pikiran
mahasiswa yang teredukasi? Padahal, otak mereka seharusnya merekam dan
mengamalkan ayat luar biasa tersebut. Tiada mendustakannya, bukan?
Sayangnya, tak semudah
itu mengkampanyekan kebersihan di tengah bumi yang kumuh. Sejernih-jernihnya
tubuh, kalau masuk ke sungai yang tercemar, pasti akan turut keruh.
Bagaimana tidak jorok,
segala macam manipulasi telah terfasilitasi dengan apik. Dari sisi edukasi,
mahasiswa bisa melakukan improvisasi agar tak tereliminasi. Hal itu bisa
dilancarkan melalui beragam aksi, seperti menyontek, titip absen, menyalin
tugas teman, dan memberi bingkisan untuk dosen akademisi.
Di sisi lain, tidak ada
sanksi yang diberikan bagi mereka yang jelas beraksi. Dosen terpelajar seolah
tak acuh dengan kelakuan mahasiswa fiksi yang cuma ada nama dan absen wujud
fisik. Yang penting, tugas lengkap dan daftar hadir terisi.
Kedua, gratifikasi.
Orang mana yang enggan menerima imbalan ketika melakukan pekerjaan di luar
ekspetasi? Bodoh kiranya dia menolak komisi seperti itu. Hal itu bisa menjadi
investasi jangka panjang baginya.
Ya, bayar dulu baru
kerja! Enggak bayar, enggan benar. Enggak bayar, tunggu sebentar! Beri jalan
dulu untuk mereka yang membawa amplop pelancar. Skripsi kamu macet? Begini
solusinya!
Pertanyaannya, apakah
hal-hal itu mendapat evaluasi? Tidak! Urusan benar atau tidaknya, ya
belakangan. Yang terpenting, perut kenyang oleh sesuap nasi.
Seandainya negeri ini
ingin bersih dari eksistensi tipu daya, tempat perkembangbiakannya harus
dievakuasi terlebih dahulu. Hilangkan pikiran kalau curang sedikit masih bisa
diberi toleransi. Itu bukan solusi!
Untuk merestorasi semua
itu tidak semudah yang dikira. Kamu pikir, dengan menangkap para bandit
tersebut langsung membuat mereka angkat tangan? Mereka yang terkurung itu
hanyalah satu dari beribu calon mafia yang penuh potensi.
Sarang mereka banyak.
Tikus-tikus itu mudah beranak-pinak. Jika ingin dibasmi, semua harus dihabisi.
Akan tetapi, negeri
kita dipenuhi populasi orang-orang baik dan pengasih. Tak jarang, para tikus
itu dibebaskan oleh kelakuan baik mereka selama menginap di penjara bintang
lima. Angan-angan untuk menjadi negeri bersih korupsi itu pada akhirnya menjadi
cerita fiksi belaka.
Begitulah kiranya oase
tikus berdasi. Adanya dia membuat utopia hanya sebatas fantasi. Semoga
keturunan kita yang ke tujuh bisa merasakan indahnya bumi bebas polusi.