Dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah didefinisikan
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam halnya
penyelenggaran pemerintahan daerah, otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan
suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) terbaru tahun 2023, mengacu pada hasil pendataan rentang
tahun 2018-2022, Indonesia terdapat 38 provinsi, 416 Kabupaten dan 98 Kota di
Indonesia. Banyaknya jumlah pemerintah daerah di Indonesia pada dasarnya
diharapkan untuk:
1. Mencapai tujuan dari adanya pemerataan pembangunan
ke seluruh wilayah Indonesia;
2.
Optimalnya
penyelenggaraan pelayanan publik hingga ke unit masyarakat terkecil; serta
3. Efektifnya hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
daerah untuk mengembangkan potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan
tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Namun, dalam
pelaksanaan di lapangan terdapat ketimpangan yang cukup jauh antara apa yang
dicita-citakan dan apa yang terjadi saat ini. Seperti istilah dalam ilmu hukum,
terdapat das sollen dan das sein dalam hal penyelenggaraan otonomi daerah.
Terdapat beberapa studi kasus di lapangan yang menjadi perhatian penulis:
Banyak pemerintah
daerah yang belum mandiri secara anggaran (keuangan), masih sangat bergantung
dari belas kasihan pemerintah pusat. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah
daerah kesulitan untuk melakukan inovasi pembangunan di daerah mereka;
Rendahnya penerapan
meritokrasi kepada Aparatur Sipil Negara di pemerintah daerah, sehingga
kebiasaan jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah menjadi hal yang
dianggap lumrah. Hal tersebut berdampak kepada inkompeten ASN dalam
melaksanakan tupoksi sebagai pelayan publik;
1. Tingginya angka korupsi oleh pejabat daerah, baik
yang dilakukan oleh kepala daerah, DPRD, maupun pejabat ASN di lingkungan
pemerintah daerah. Berdasarkan data dari KPK, per 2023 terdapat 1.462 kasus
korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal tersebut berdampak pada
tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan daerah, terhambatnya pembangunan
fisik maupun nonfisik, sehingga memperlambat pertumbuhan serta pembangunan
daerah.
2.
Program kerja
pemerintah daerah yang masih monoton, hal tersebut terlihat dari kurangnya
inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pekerjaan birokrasi lebih banyak
mengarah kepada pekerjaan formalitas, ketimbang melahirkan ide/inovasi yang
dapat berdampak kepada masyarakat.
3. Masih terdapat pemerintah daerah yang belum
mengoptimalkan kekhasan/keunikan sumber daya yang dimiliki. Sebagai contoh,
daerah yang memiliki sumber daya di bidang perikanan seharusnya bisa
mendatangkan pendapatan daerah melalui pajak daerah/retribusi/pungutan lainnya,
begitu juga dengan sektor lainnya. Bahkan, terdapat daerah yang memiliki
potensi sumberdaya yang tidak hanya pada satu sektor, namun multisektor. Upaya
ini seharusnya dapat dioptimalkan sehingga pemerintah daerah tidak lagi
bergantung dari belas kasihan pemerintah pusat untuk melakukan pembangunan.
Penutup:
Mari kita refleksikan
sejenak! Peringatan Hari Otonomi Daerah bukan hanya sekedar peringatan
formalitas, namun setiap tahunnya kita diperingatkan bahwa banyak daerah
berdiri namun belum mandiri. Masih terdapat daerah yang berdiri namun
membutuhkan belas kasihan pemerintah pusat. Padahal, tujuannya dari Otonomi
Daerah adalah memperpanjang pelayanan publik dan pembangunan dari pusat hingga
ke wilayah-wilayah Indonesia.
Selamat
Hari Otonomi Daerah!
Kita
Bergerak, Daerah Berdiri Tegak, Untuk Indonesia Maju.