Banyak tafsir terkait
putusan MK ini. Saya coba telisik dengan semiotika (ilmu Tanda). Ferdinand De
Saussure, seorang ilmuwan semiotika berpandangan bagaimana persepsi dan
pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda
lain yang digunakan dalam konteks sosial. Dalam arti, dia berpandangan tanda
membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas semata.
Kita akan coba merunutnya.
MK telah memutuskan.
Keputusan itu telah diterima oleh pasangan capres dan cawapres yang kalah.
Tapi, diskusi tentang kebenaran tidak berhenti sampai di situ. Keputusan
konstitusi yang final itu memang menjadi pijakan formal bagi Prabowo-Gibran
melenggang tenang sambil menunggu pelantikan menjadi presiden dan wakil
presiden yang sah. Hanya saja, diskusi tentang kebenaran di luar pengadilan,
etika dan cacat demokrasi tetap menyisakan ruang bagi ingatan-ingatan sejarah
yang tak bisa begitu saja dihapus dengan putusan MK tersebut.
Saya akan coba baca
melalui semiotika sosial yang akrab dikalangan para praktisi dan peneliti
bidang komunikasi. Membaca melalui tiga usur yang menjadi perhatian terhadap
wacana putusan MK ini. Diantaranya Medan Wacana (field of discourse), Pelibat
Wacana, (tenor of discourse) dan Sarana Wacana (mode of discourse). Kita telaah
pelan-pelan:
Pertama, medan wacana
(field of discourse). Terkait dengan apa yang terjadi, apa yang dijadikan
wacana dan apa yang terjadi di lapangan. Dalam hal ini tema besarnya adalah
sengketa pilpres dengan MK sebagai fokus utama. Hukum sebatas hukum. Mahkamah
Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan
capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta
capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang diajukan
dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. MK menyatakan
permohonan pemohon "tidak beralasan menurut hukum seluruhnya".
Dalil-dalil permohonan
yang diajukan itu antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) dan DKPP. Kemudian dalil lainnya terkait tuduhan adanya abuse of
power yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menggunakan APBN dalam bentuk
penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk memengaruhi
pemilu.Termasuk dalil soal penyalahgunanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah
pusat, pemda, dan pemerintahan desa dalam bentuk dukungan dengan tujuan
memenangkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo
Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Juga dalil pemohon yang menyebutkan
nepotisme yang dilakukan Presiden untuk memenangkan paslon nomor urut 02 dalam
satu putaran, tidak beralasan menurut hukum. Semuanya itu keputusan hukum
final.
Hanya, seperti yang
sudah saya singgung di awal, diskusi tentang kebenaran “Yang Lain”, tidak
berakhir di sini.
Kedua, pelibat wacana
(Tenor of discourse). Menunjuk kepada orang-orang yang terlibat dalam wacana,
kedudukan dan peran mereka. Bagi sebagian besar hakim yang terlibat memutuskan
perkara, gambaran hasilnya bisa dilihat di atas. Tapi yang menarik, ada 3 hakim
MK yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Walau,
Dissenting opinion ini tidak mempengaruhi putusan MK yang bersifat final dan
mengikat. Misalnya, Saldi Isra yang membacakan dissenting opinion. Saldi
mengatakan terjadi ketidaknetralan sebagian Pj kepala daerah yang menyebabkan
pemilu berlangsung tidak jujur dan adil. Saldi menilai dalil tim AMIN soal
politisasi bansos dan mobilisasi aparat beralasan menurut hukum. Karena itu,
kata Saldi, seharusnya MK memeritahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang.
Sementara itu, hakim
Enny juga membacakan dissenting opinion. Enny mengatakan pemberian bansos oleh
presiden menjelang pemilu berdampak pada para peserta pemilihan karena adanya
ketidaksetaraan. Enny juga mengatakan permohonan yang diajukan tim AMIN dan tim
Ganjar-Mahfud beralasan hulum untuk sebagian. Enny menilai ada pejabat yang
sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi di beberapa daerah.
Hakim lain, Arief
Hidayat juga membacakan dissenting opinion dengan menyatakan mengabulkan
gugatan yang diajukan tim AMIN dan tim Ganjar-Mahfud untuk sebagian. Arief
menilai seharusnya dilakukan pemilihan ulang di beberapa daerah yakni DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara.
Unsur “Pelibat Wacana”
ini perlu mendapatkan perhatian ke depan. Kenapa? beberapa kalangan menilai
masih ada secercah harapan dan akal sehat dalam hukum dan demokrasi di tanah
air melalui pandangan-pandangan hakim semacam ini.
Ketiga, Sarana Wacana
(Mode of Discourse). Terkait dengan bagian yang diperankan Bahasa, menunjukkan
bagaimana para komunikator menggunakan Bahasa untuk menggambarkan medan
(situasi) beserta wacana yang menjadi fokus perhatian. Kali ini kita tarik
misalnya dengan pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Tim Hukum Prabowo-Gibran. Dia
mengatakan "Ini kan dunia memperhatikan, Anda bisa bayangkan ya, kepala
negara, presiden, perdana menteri, dari seluruh dunia sudah mengucapkan selamat
kepada Pak Prabowo, tiba-tiba MK mengatakan dibatalkan. Di mana muka kita ini
mau ditaruh?" kata Yusril di Gedung MK (Kumparan, 22/4/2004). Saya kira
ini pernyataan yang bernuansa politis, bukan bernuansa hukum. Menjadi tidak
relevan dan hanya berpotensi membangun opini yang menguntungkan pihak yang
dimenangkan.
Kita lihat yang lain.
PP Muhammadiyah mengajak masyarakat untuk menyikapi hasil pemilu sebagai
realitas politik dan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang dipilih oleh
bangsa Indonesia. Diharapkan masyarakat dapat menerima hasil keputusan MK
dengan arif, bijaksana, dan legawa, Tentu sebuah sikap yang adem dan perlu
dicontoh.
Hanya saja, tidak
berhenti di situ. Diwakili misalnya oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
(LHKP) PP Muhammadiyah yang menggelar Sidang Pendapat Rakyat yang menyoroti
atas sidang sengketa Pemilu 2024 di MK. Kegiatan ini sebagai bentuk
kekhawatiran atas kondisi demokrasi bangsa yang semakin merosot. Ketua LHKP PP
Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi menilai putusan MK masih menuai kritik kalangan
prodemokrasi.
Akibat dari adanya
berbagai kecurangan hingga pelanggaran ini, pemerintah dituntut dapat tegas
dalam menangani masalah moral, etika, serta intelektual pemimpin negara yang
dianggap telah menyimpang ini. “Mau tidak mau kalangan masyarakat perlu
mengambil inisiatif yang inovatif berupa pembentukan sebuah Mahkamah Konstitusi
versi Rakyat. Atau sebut saja Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu,” Ridho
Al-Hamdi (Inilah.com/19/4/2024).
Mahkamah Rakyat untuk
Keadilan Pemilu ini diisi oleh berbagai ahli dan tokoh mulai dari Ketua PP
Muhammadiyah Dr. Busyro Muqoddas, Pemikir Kebhinekaan Dr. Sukidi, mantan Ketua
KPU 2004-2007 Prof Dr. Ramlan Surbakti, peneliti senior BRIN Prof. Dr. Siti
Zuhro, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, Guru
Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Sulistyowati Irianto,
Rektor UII Yogyakarta Prof. Fathul Wahid, Pengajar Filsafat Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara Dr. Karlina Supelli, dan Ilmuwan Politik UMY Bambang Eka
Cahya Widodo. Tentu, sebuah inisiatif yang boleh-boleh saja dilakukan sebagai
kreativitas warga (masyarakat). Sebagai bagian merawat akal sehat bangsa.
Melihat telisik di
atas, saya kira memang semua mesti legowo menerima keputusan MK ini sebagai
keputusan yang final dan mengikat. Hanya saja, tetap perlu membaca
“Tanda-Tanda” dari sisi lain yang tak kalah menariknya. Sisi lain dari segi
hukum formal. Sisi lain yang masih menyisakan tempat bagi akal sehat, etika dan
prinsip-prinsip demokrasi. Pada Akhirnya, menyikapi putusan MK ini, menarik
Sebuah ungkapan yang sempat terlontar “Ada makanan yang yang secara hukum
halal, tapi secara rasa (etika) tidak enak. Tapi, kalau tetap ada yang makan,
silakan, akibat ditanggung sendiri”. []