Surat berisi seruan
moral yang sangat lugas itu bisa dibaca secara terbuka karena dipublikasi juga
di Harian Kompas dengan judul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi.” (8
April 2024).
Seperti diungkapkan
Hasto Kristyanto, Sekjen PDIP melalui berbagai media, surat itu memang tidak
hanya dimaksudkan untuk para hakim konstitusi. Melainkan juga agar bisa dibaca
dan diketahui isinya oleh rakyat secara luas
Pada bagian akhir surat
tersebut, Megawati menulis: “Semua pemikiran dan pendapat di atas, saya
suarakan sebagai bagian dari Amicus Curiae, atau Sahabat Pengadilan. Merdeka!”
Sebelumnya, Amicus
Curiae juga datang dari 303 orang guru besar dan perwakilan masyarakat sipil.
Amicus Curiae atau "Sahabat Pengadilan" (Friends of the Court) adalah
pihak-pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara sehingga
mendorong mereka untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan, dalam
kasus ini tentu Mahkamah Konstitusi.
Amicus Curiae bisa
diajukan secara perorangan, bisa juga kelompok atau organisasi. Megawati dalam
hal ini bertindak sebagai perorangan warga negara yang berkepentingan terhadap
kasus gugatan Pilpres.
Tanggungajawab Pemimpin dan Dewi Keadilan
Namun perlu segera
dikemukakan, bahwa “kepentingan” yang dimaksud tentu saja tidak bisa dimaknai
secara simplistik-pragmatik sebagai “kepentingan pribadi.” Kepentingan ini,
sebagaimana terbaca dalam surat Megawati perlu difahami dalam konteks yang
lebih luas, yakni kepentingan publik, kepentingan negara-bangsa. Saya sendiri
membaca surat atau opini Megawati ini sebagai bentuk ekspresif tanggung seorang
pemimpin.
Mengawali opininya
Megawati bertanya, apakah para hakim konstitusi dapat mengambil keputusan
sengketa pemilu presiden dan wakil presiden sesuai dengan hati nurani dan sikap
kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dalam sejarah demokrasi Indonesia?
Sebagaimana terbaca
dalam tajuk opininya, saripati pikiran Megawati memang terkait dengan kewajiban
moral para hakim konstitusi untuk memegang teguh dan menunjukan karakter
kenegarawanan. Karena hanya dengan karakter dan sikap inilah mereka bisa
menghadirkan keadilan substantif serta menempatkan kepentingan negara bangsa
sebagai mahkota, diatas dan mengatasi segala kepentingan parsial dan kelompok
serta kepentingan-kepentingan pragmatik-oportunistik.
Megawati lalu menyitir
makna filosofis patung “Dewi Keadilan” sebagai simbol universal hukum. Pertama,
mata Sang Dewi tertutup, menutup pandangan di depan dan hanya menghadirkan
kegelapan. Makna filosofisnya bahwa dengan mata tertutup maka pada setiap hakim
harus terjadi dialog dengan hati nuraninya masing-masing, lalu memutus perkara
dengan tidak membedakan siapa yang berbuat.
Kedua, sebelah tangan
Sang Dewi mengangkat timbangan yang seimbang. Makna filosofisnya bahwa hukum
tidak pernah memihak, setiap perbuatan akan ditimbang berat ringannya secara
obyektif sebelum putusan dijatuhkan. Megawati memaknai fenomena ini sebagai
cermin keadilan substantif.
Ketiga, sebelah tangan
lain Sang Dewi memgang pedang dalam posisi diturunkan ke bawah. Simbol ini
mengandung makna filosofis bahwa hukum bukan alat untuk membunuh. Pedang
terhunus menjulur ke bawah ini diperlukan sebagai ultimum remedium (obat
terakhir), dan bukan premium remedium (pencagahan awal). Megawati memaknainya
bahwa hukum harus didasarkan pada norma, etika, kesadaran hukum, dan tertib
hukum serta keteladanan para aparat penegak hukum.
Tanggungjawab Etik Presiden
Pada bagian lain
suratnya, dengan merujuk keterangan Romo Magnis (sebagai ahli dalam sidang
gugatan PHPU di MK) bahwa telah terjadi pelanggaran etik serius dalam
penyelenggaraan Pilpres, Megawati juga menyinggung soal tanggungjawab etika
seorang Presiden.
Dalam pandangan
Megawati, Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat
besar. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut standar dan
tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta.
Dalam kerangka etik
itu, maka persoalan yang berkaitan dengan keselamatan seluruh bangsa dan negara
berada di pundak presiden. Presiden berdiri untuk semua. Segala kesan yang
menunjukkan bahwa presiden memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya
adalah fatal. Sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia.
Ironisnya kesan yang
disinggung Megawati itu justru yang terjadi, bahkan dengan cara menabrak etik.
Demi kepentingan pribadi dan keluarganya, Presiden diduga terlibat, setidaknya
membiarkan pelanggaran etik itu berlangsung, bahkan dimulai sejak --dan menjadi
tonggak-- awal perhelatan Pilpres.
Dari situlah dugaan
kecurangan Pilpres berawal dan berevolusi. Ia tidak terjadi secara tiba-tiba.
Dan Megawati berharap, dengan kewenangan yang dimilikinya, para hakim
konstitusi dapat membedah sumber kegaduhan dan kecurangan itu, serta memberikan
putusan yang obyektif dan berkeadilan.
Tanggungjawab “Delapan Dewa”
Akhirnya, terhadap
pelanggaran etik dan berbagai dugaan kecurangan yang terjadi di sepanjang
perhelatan Pilpres, secara lugas Megawati meminta agar para hakim konstitusi
sungguh-sungguh bisa
menunjukan sikap kenegarawanannya sebagai upaya pemulihan etika dan moral yang
sakit itu.
Karena tanpa sikap
kenegarawanan itu, Mahkamah Konstitusi hanya menjadi jalan pembenaran bagi
sengketa Pilpres yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara
jernih bagaimana proses dan keseluruhan input dari prosesnya.
Belajar dari putusan
perkara Nomor 90 yang kontroversial, Megawati mendorong para hakim konstitusi
agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut. Tanpa landasan etika,
moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah
dilakukan.
Dengan kesadaran dan
keinsafan itu, sebelum mengakhir suratnya Megawati menulis: “…sebagai anak
bangsa, saya berdoa semoga dengan izin Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia
akan melihat cahaya terang demokrasi ketika ”Sembilan Dewa” di MK memberikan
keputusan yang berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya.”
“Sembilan Dewa” itu maksudnya tentu “Delapan
Hakim MK”, karena Anwar Usman dilarang Majelis Kehormatan MK terlibat dalam
peradilan PHPU Pilpres.
“Ingat, nama-nama para
hakim Mahkamah Konstitusi akan tertulis dalam sejarah Republik Indonesia, baik
maupun buruk. Semoga!!” pungkas Megawati, lugas dan tuntas.