Meskipun teknologi
dapat menyediakan alat inovatif dan efisien untuk meningkatkan pembelajaran,
humanisme menekankan pentingnya interaksi sosial, pemahaman emosional, dan
pengembangan karakter.
Oleh karena itu,
pendekatan yang berhasil akan memadukan kekuatan teknologi dengan esensi
humanisme, menciptakan lingkungan belajar yang memanusiakan teknologi dan
memanfaatkan potensi manusia dalam setiap siswa.
Dalam artikel Technology
and Humanism in the Classroom: Frontiers of Educational Practice, Fox, Jr.
& DeVault (1972) mengulas strategi yang bertujuan untuk meningkatkan
kegembiraan dalam konteks pendidikan dengan cara menggabungkan unsur
"humanisme" dan "teknokrasi".
Kendati ada banyak
literatur yang cenderung memisahkan dan memandang keduanya sebagai dua konsep
yang berlawanan atau saling bertentangan, artikel ini dengan tegas mengajukan
pandangan bahwa kegembiraan sejati dalam pendidikan dapat ditemukan di kelas yang
efektif dan produktif.
Di kelas-kelas seperti
ini, terjadi interaksi dan diskusi yang rutin antara elemen-elemen teknokratis
dan humanistik, menciptakan sebuah dinamika yang kaya dan memperkaya.
Artikel tersebut
menyoroti pentingnya menciptakan sebuah lingkungan pendidikan yang memungkinkan
interaksi dan integrasi antara teknologi dan aspek-aspek humanistik.
Dalam kelas yang
berfungsi dengan baik, perdebatan sehari-hari antara aspek-aspek teknokratis
dan humanistik membantu menciptakan sebuah atmosfer dinamis dan menarik bagi
siswa.
Pendekatan demikian
mengakui bahwa kedua aspek ini, meskipun berbeda, dapat saling melengkapi dan
memperkaya satu sama lain dalam menciptakan pengalaman pendidikan yang lebih
menyeluruh dan bermakna.
Pendekatan terbesar
bagi pendidik adalah menciptakan lingkungan yang memadukan kedua elemen
tersebut. Artikel ini tidak secara mendalam mendefinisikan teknologi dan
humanisme, tetapi memberikan kriteria untuk mendefinisikannya dalam konteks
pendidikan.
Contoh perbandingan
antara teknologi dan humanisme menunjukkan perbedaan antara keduanya, seperti
kegiatan mandiri dalam teknologi pendidikan versus kegiatan kelompok dalam
humanisme pendidikan.
Model yang diperkenalkan
oleh Fox, Jr. & DeVault (1972) mengungkapkan tiga implikasi utama yang
menjadi fokus dalam diskusi pendidikan kontemporer.
Pertama, model tersebut
mengidentifikasi lokasi batas-batas pendidikan, yaitu teknologi pendidikan dan
humanisme pendidikan, serta bagaimana kedua aspek tersebut dapat diintegrasikan
dalam kelas yang efektif.
Kedua, model ini
menyoroti potensi penggunaan teknokrasi dan humanisme sebagai alat atau
pendekatan dalam konteks pendidikan. Teknokrasi dapat menyediakan pendekatan
lebih struktural dan berbasis teknologi, sementara humanisme menekankan pada
aspek-aspek emosional, sosial, dan moral dalam pendidikan.
Ketiga, model ini
menawarkan saran dan rekomendasi praktis untuk mengimplementasikan dan
mengintegrasikan kedua elemen ini dalam program pendidikan, dengan harapan
menciptakan sebuah lingkungan pendidikan seimbang dan holistik.
Implikasi utama dari
model tersebut mencerminkan keyakinan bahwa ada potensi besar dalam
menggabungkan teknologi pendidikan dan humanisme pendidikan untuk menciptakan
pengalaman belajar yang lebih kaya dan berdaya guna.
Dengan memadukan kedua
elemen ini dalam kelas yang berfungsi dengan baik, harapannya adalah bahwa
batas antara teknologi dan humanisme dapat menjadi titik konvergensi, di mana
pendidikan dapat mencapai potensi penuh.
Integrasi ini
menciptakan sebuah lingkungan di mana siswa dapat memanfaatkan keuntungan
teknologi untuk meningkatkan pembelajaran mereka sambil tetap mempertahankan
nilai-nilai dan aspek-aspek kemanusiaan yang esensial dalam proses pendidikan.
Dalam diskusi mengenai
integrasi antara teknologi dan humanisme dalam pendidikan, beberapa teoretikus
telah memberikan kontribusi penting dengan ide-ide mereka.
Ivan Illich, misalnya,
memperkenalkan konsep "convivial tools" yang menekankan pentingnya teknologi
yang mendukung kebebasan dan partisipasi sosial.
Konsep ini menyoroti
bahwa teknologi yang digunakan dalam pendidikan perlu dirancang untuk
mempromosikan interaksi sosial yang sehat dan pemberdayaan individu.
Selanjutnya, Dwayne
Huebner (dalam Fox, Jr. & DeVault 1972) mengembangkan pemikiran mengenai
teknologi "baik" dan "buruk", di mana ia membedakan antara
teknologi yang dapat meningkatkan pengalaman belajar dan teknologi yang mungkin
menghalangi atau merugikan proses pendidikan.
Sementara itu, Michael Apple dan
Herbert Walberg telah memfokuskan pada evaluasi pendidikan, menyoroti
pentingnya memahami dampak teknologi dan humanisme dalam meningkatkan
efektivitas dan kualitas pendidikan.
Pertanyaan krusial yang
sering muncul bagi praktisi pendidikan adalah bagaimana cara memanfaatkan kedua
pendekatan ini dalam praktik sehari-hari mereka.
Salah satu pendekatan
yang dianjurkan adalah kolaborasi antara teknokrat dan humanis untuk menentukan
tujuan dan strategi pendidikan lebih holistik.
Kolaborasi ini
memungkinkan para praktisi menggabungkan keahlian dan perspektif masing-masing
dalam menciptakan pendekatan pendidikan lebih seimbang dan beragam.
Selain itu, model yang
diajukan juga menyajikan tiga aturan praktis yang dapat dijadikan pedoman dalam
mengubah atau mengembangkan program pendidikan.
Aturan-aturan tersebut
menekankan bahwa perubahan yang radikal dalam satu arah saja, entah itu menuju
humanisme atau teknologi, mungkin tidak menghasilkan hasil yang diharapkan.
Sebaliknya, perubahan
bertahap dan seimbang dalam kedua bidang akan lebih mungkin menciptakan
kemajuan yang berkelanjutan dan efektif dalam pendidikan.
Sebagai kesimpulan,
artikel ini menegaskan pentingnya memahami dan mengintegrasikan baik teknologi
maupun humanisme dalam pendidikan di ruang kelas.
Integrasi keduanya
dianggap kunci untuk mencapai potensi pendidikan yang penuh dan holistik,
dengan menggabungkan aspek teknologi dan humanistik dalam pendekatan seimbang
dan berkesinambungan.