Ilustrasi beri makan
arwah/Intisari Online-Grid.ID |
Dalam tulisan ini,
penulis hendak mengangkat sebuah tradisi orang mati yang terjadi dalam
masyarakat Belu khususnya orang Naitimu.
Naitimu merupakan suatu
wilayah kerajaan tradisional di Timor. Menurut sejarah, kerajaan Naitimu di
Belu berdiri pada tahun 1653 hingga 1942 dengan pusat kerajaannya di Nanaet
Dubesi.
Dahulu pada zaman
kerajaan, wilayahnya meliputi hampir seluruh Kecamatan Tasifeto Barat sekarang.
Namun seiring perjalanan waktu dan adanya pemerintahan gaya baru, maka lambat
laun pengaruh kerajaan itu semakin pudar. Namun masih terdapat ketaatan
'terselubung' dari masyarakat yang masih menghargai tradisi dan kebersamaan
budaya.
Kini nama Naitimu
terpatri pada sebuah nama kedesaan Naitimu, kecamatan Tasifeto Barat, kabupaten
Belu, Nusa Tenggara Timur. Namun ketika kita membahas tentang sebuah tradisi
termasuk tradisi kematian yang menyangkut orang Naitimu, wilayahnya seharusnya
lebih luas dari sekedar Desa Naitimu.
Tradisi Kematian Orang Naitimu
Orang Belu pada umumnya
memiliki kepercayaan bahwa kematian merupakan peristiwa beralihnya manusia dari
kehidupan di dunia ini menuju suatu kehidupan yang baru. Meskipun kehidupan
yang baru itu tentu masih merupakan suatu misteri yang sampai saat ini belum
terpecahkan oleh manusia.
Pada zaman dahulu
diyakini oleh manusia bahwa setelah seseorang meninggal dunia, badannya akan
tinggal di dalam tanah, namun jiwanya berjalan menuju puncak gunung yang
tertinggi. Dan bagi orang Timor, khususnya bagi mereka yang menetap di Belu
yakin bahwa semua orang yang telah meninggal dunia, jiwa mereka akan berangkat
menuju gunung Lakaan dan bersemayam di sana. Di sana semua arwah orang mati
akan berkumpul.
Namun keyakinan ini
lambat laun mulai samar-samar atau memudar seiring adanya kehidupan beragama
dan kemajuan dalam dunia keilmuan dan teknologi.
Meskipun demikian
tradisi kematian terus dilestarikan melalui acara atau ritual khusus seperti
Ta'E Tebok atau memecahkan piring orang yang sudah mati dan tradisi memanggil
arwah.
Pelaksanaan dan Maknanya
Acara Ta'E Tebok
biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara kenduri atau dapat dikatakan
sebagai syukuran kematian. Pada acara kenduri ini ditandai dengan penyembelihan
atau pemotongan sapi atau babi dengan tujuan untuk makan perpisahan antara
anak-anak atau keluarga yang masih hidup dengan orang mati.
Sore hari menjelang
upacara Ta'E Tebok dilangsung penyembelihan binatang berupa sapi atau babi oleh
ketua suku (uma suku). Setelah sapi atau babi dibunuh kemudian diambil bagian
hati dan isinya untuk 'diterawang' secara adat yang dinamakan 'Leno Urat' atau
melihat keberuntungan melalui hati atau isi perut binatang kurban.
Biasanya kalau 'baik'
menurut pengamatan tua adat maka semua anggota suku gembira. Tetapi apabila
yang ditemui itu 'kurang baik' maka seluruh anggota suku atau dia yang
menyediakan binatang kurban itu akan menggantinya dengan yang lain.
Kadang-kadang demi menekan pemborosan, biasanya memakai hewan pengganti. Kalau
tadinya sapi akan diganti dengan babi, dan kalau tadinya babi maka akan diganti
dengan ayam.
Selanjutnya pada sore
atau malam hari ketika semua anggota keluarga sudah berkumpul, lalu
diadakan doa untuk keselamatan orang yang telah meninggal dunia dan
dilanjutkan dengan makan malam. Di tempat lain makan malam ini dilakukan dengan
makan adat. Namun itu disesuaikan dengan keadaan.
Ta'E Tebok dilaksanakan
pada tengah malam. Pada tengah malam, biasanya antara pkl. 24.00 sampai
pkl.02.00 dinihari. Ketua suku bersama seorang yang sudah biasa atau
berpengalaman memanggil arwah, pergi ke persimpangan jalan atau di sebuah
tempat yang agak lebih tingi jauh dari rumah orang mati itu membawa nasi pada
sebuah 'nyiru'. Demikian pun daging yang telah direbus, ditaruh pada nyiru yang
lain.
Seorang yang bertugas
memanggil arwah akan berteriak memanggil nama orang mati berturut-turut
sebanyak tiga kali. Setelah panggilan ketiga diharapkan ada sebuah tanda alam.
Misalnya setelah dipanggil nama si arwah, tiba-tiba muncul atau terdengar
suara: kucing atau burung, dll, maka itu adalah tanda kedatangannya.
Orang Belu khususnya
Naitimu percaya bahwa setelah orang meninggal dunia, 'roh' nya tetap hidup.
Sesekali ia akan datang namun dalam bentuk yang lain seperti burung, kucing
atau binatang lainnya.
Jadi dalam tradisi
kematian orang Naitimu terutama pasca penguburan biasanya dilaksanakan juga
ritual Ta'E Tebok yang bertujuan untuk memanggil dan memberi makan arwah orang
yang sudah meninggal sebagai makan perpisahan.
Diyakini oleh oarang
Naitimu, kalau ada orang Naitimu yang meninggal dunia tetapi kemudian tidak ada
Ta'E Tebok, orang merasa belum berpisah dengan orang yang telah meninggal itu.
Selain itu, bagi keluarga yang masih hidup yang tidak memikirkan ritual Ta'E
Tebok bagi anggota keluarag yang sudah meninggal, mereka dianggap tidak tahu
adat atau bahkan dicap tidak menghormati orang tua.
Pesan Untuk Kita
1. Apabila keluarga
hendak menyelenggarakan ritual Ta'E Tebok' untuk anggota keluarga yang telah
meninggal, hendaknya memperhatikan langkah-langkahnya dengan baik.
2. Ritual panggil dan
beri makan arwah bagi orang Naitimu merupakan suatu kewajiban dari anak-anak
dan cucu dari orang yang telah meninggal sebagai tanda terima kasih sekaligus
perpisahan dengan dia yang telah meninggal.
3. Bagi sebagian orang
Naitimu akan merasa malu apabila anggota keluarganya (terutama orang tua) yang
telah meninggal namun belum dilakukan Ta'E Tebok oleh anak-anak dan cucunya.
Hal ini akan dilihat sebagai kurangnya rasa hormat terhadap orang tua.
4. Semakin cepat
dilangsungkan ritual Ta'E Tebok oleh anak-anak dan cucu dari orang tua yang
sudah meninggal akan lebih baik karena diyakini bahwa arwah orang mati itu akan
lebih cepat mencapai 'surga.'
Demikian secuil kisah
menurut penuturan bapak Aloysius bersamaan dengan pelaksanaan ritual Ta'E Tebok
di Halilulik pada Selasa, 23 April 2024.
Semoga bermanfaat.
*** Yosef M. Hello
Artikel ini telah dipublikasikan di kompasiana.com dengan judul "Ritual Ta'E Tebok dalam Adat Kematian Orang Naitimu di Belu", Klik untuk baca: