Humanisme
Humanisme, dalam
pengertian modern, muncul pada abad ketujuh belas dan terdiri dari penempatan
nilai-nilai pada otonomi, nalar, dan ilmu pengetahuan.
Humanisme tidak
anti-agama, tetapi digambarkan seperti ini karena, jika dibandingkan dengan
kepercayaan agama tradisional, humanisme tampak sangat ateis. Otonomi berarti
bahwa manusia bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Tidak ada tuhan yang
menempatkan kita pada posisi untuk suatu tujuan. Hidup adalah anugerah
individu, dan apa yang kita lakukan adalah tindakan otonomi kita.
Nalar atau akal adalah
panduan hidup. Dalam humanisme, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang
sesuai dengan penilaian terbaik tentang dunia nyata, dan penilaian ini bertumpu
pada penggunaan nalar atau akal. Akal membuat pendidikan menjadi nilai humanis.
Sains adalah metode
humanisme. Akal tidak dapat berkembang jika isinya hanya memiliki sedikit atau
tidak memiliki kebenaran yang sesuai. Kebenaran yang sesuai berarti bahwa
sebuah klaim kebenaran memiliki hubungan yang konsisten dengan realitas, dan
sarana dari hubungan tersebut adalah fakta atau bukti. Zaman ilmu pengetahuan
adalah zaman nalar atau akal berbasis bukti.
Karena Tuhan bukanlah
kesimpulan dari nalar atau akal berbasis bukti, dan karena nalar berbasis bukti
adalah nilai humanis, maka sering kali disimpulkan bahwa humanisme adalah
ateisme. Akan tetapi, hal ini tidaklah benar. Humanisme dapat menghargai
misteri dan dapat menghargai mistisisme. Misteri dan mistisisme dalam
humanisme, bagaimanapun juga, bukanlah pengakuan keagamaan; melainkan, mereka
mengidentifikasi ujung-ujung pengetahuan manusia dan membuka pengalaman
keagamaan yang menakjubkan.
Posthumanisme
Posthumanisme
bergantung pada tradisi humanisme dan nilai-nilai humanis seperti alasan
berbasis bukti, pentingnya pendidikan, dan otonomi individu. Namun,
posthumanisme berusaha untuk mendobrak batasan yang diasumsikan oleh humanisme
tradisional antara dunia manusia dan alam. Humanisme, dalam ekspresi klasiknya,
menjadikan alam, melalui penggunaan sains, sebagai objek manipulasi manusia.
Posthumanisme
mengaburkan batas antara manusia dan alam. Hal ini membuat evolusi menjadi
nilai dalam posthumanisme karena mengafirmasi evolusi berarti mengafirmasi
bahwa manusia adalah proses alamiah bumi. Reaksi agama fundamentalis terhadap
posthumanisme adalah kreasionisme. Kreasionisme melihat posthumanisme sebagai
sebuah ancaman.
Transhumanisme
Transhumanisme berusaha
untuk membawa, melalui teknologi integratif, pemahaman post humanisme saat ini
ke tingkat realitas manusia yang baru. Dengan kata lain, transhumanisme adalah
komitmen terhadap jenis posthumanisme tertentu.
Transhumanisme adalah
integrasi teknologi dengan pengalaman alami manusia, dan integrasi ini
menimbulkan pertanyaan tentang masa depan post humanisme. Apa sifat dari masa
depan posthuman kolektif kita yang akan datang? Kedua, haruskah kita
menerimanya ataukah menolaknya? Pertanyaan kedua adalah tentang hubungan
manusia dengan dunia yang melibatkan teknologi yang mendalam. Pertanyaan
tentang hubungan dengan dunia tidak dapat dihindari dan bahkan mungkin
merupakan pertanyaan teologis.
Cyborg
“Cyborg” adalah bagian
dari gambaran transhumanis, dan kita mengenalnya dari serial TV yang sudah
berumur puluhan tahun, Star Trek: The Next Generation. Dalam serial ini, “Borg”
adalah cyborg (manusia yang sepenuhnya terintegrasi dengan teknologi).
Kemanusiaan dan “mekanikalitas” mereka (untuk menciptakan kata untuk
ke-mesin-an) tidak dapat dibedakan.
Borg dapat dilihat
sebagai mesin, tetapi mereka juga dapat dilihat sebagai komunitas makhluk,
komunitas yang sangat efisien dan sangat terintegrasi dengan mesin, tetapi
tetap sebuah komunitas. Tokoh Star Trek “Seven of Nine” adalah mantan Borg yang
lolos dari kondisi posthumanisme cyborg transhuman untuk mendapatkan kembali
kemanusiaannya, humanismenya, di antara awak kapal luar angkasa Enterprise.
Meskipun serial TV ini
ditayangkan dari tahun 1987 hingga 1994, seperti serial Star Trek dari tahun
1960-an, Star Trek: The Next Generation mengangkat pertanyaan menarik dan
mengganggu tentang masa depan manusia. Acara ini juga mencontohkan apa yang
dimaksud dengan transhumanisme: pertanyaan tentang integrasi teknologi dengan
manusia dalam perjalanan menuju masa depan posthumanisme. Karakter Data, sebuah
mesin yang ingin menjadi manusia, juga merupakan elemen dari serial ini.
Kekhawatiran Teologis
Perhatian teologis
terhadap transhumanisme sebagai jalan menuju posthumanisme baru mengambil
bentuk pertanyaan besar Pemazmur dari berabad-abad yang lalu, “apakah manusia
itu” (Mazmur 8:4)? Pertanyaan Pemazmur bukanlah tentang seorang individu,
tetapi tentang keluarga manusia. Ini adalah pertanyaan tentang ciptaan Allah
secara keseluruhan dan tempat manusia dalam keseluruhannya.
Sejak zaman purba,
Pemazmur mengajukan pertanyaan tentang masa depan. Sejauh mana manusia harus
memanipulasi gambar Allah, yang adalah diri mereka sendiri? Seperti halnya
setiap orang yang menghadapi pertanyaan ini, seorang teolog akan memiliki
keraguan, ketidakyakinan, ketakutan, tetapi juga harapan. Apakah masa depan
kolektif kita setelah kematian adalah sesuatu yang perlu dirayakan atau sesuatu
yang perlu dikhawatirkan?
Citra Allah
“Citra Allah” sebagai
sebuah metafora memberikan beberapa panduan. Dalam filsafat Kristen
tradisional, “citra” adalah tujuan (tujuan dari forma) dari ciptaan manusia.
Ingatlah, “forma”, dari Plato, adalah gambaran sempurna dari suatu hal yang
bersifat material.
Segala sesuatu yang ada
di dunia ini tidak sempurna, tetapi segala sesuatu yang ada, yang terlihat,
berpartisipasi dalam bentuk kesempurnaannya yang tidak terlihat. Dalam filsafat
Kristen, secara tradisional dinyatakan bahwa Citra Allah adalah bentuk yang
diciptakan Allah untuk manusia. Citra Allah adalah apa yang dimaksudkan untuk
menjadi sempurna dalam ketidaksempurnaan kita sehari-hari.
Tentu saja di dalam
Alkitab tidak terdapat pengertian filosofis tentang gambar tersebut. Bagi para
penulis Alkitab, Citra Allah lebih bersifat aktif daripada pasif. Ini adalah
cara Allah membentuk manusia. Ini adalah kehidupan atau nafas yang Allah
berikan kepada manusia untuk menjadikan mereka manusia.
Semua manusia adalah
saudara dan saudara karena semuanya adalah Citra Allah, kehidupan dari tindakan
penciptaan Allah. Menurut Alkitab, semua manusia adalah pembawa jiwa ilahi atau
pembawa energi.
Citra Allah, yang
dipahami secara filosofis atau alkitabiah, adalah penting bagi teologi dan
pertanyaan tentang transhumanisme karena pertanyaan ini menanyakan sejauh mana
pengalaman manusia dengan teknologi mengubah Citra Allah dalam diri manusia?
Tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan ini. Sejauh teknologi meningkatkan
kehidupan, maka teknologi meningkatkan “Citra Allah”, yang menurut Alkitab
adalah energi kehidupan.
Namun jika teknologi
menghancurkan kehidupan, maka teknologi menghancurkan “Citra Allah” dalam
kehidupan. Ketika kita berpikir seperti ini, kita akan kembali pada nilai
humanis klasik tentang otonomi: sejauh mana manusia bertanggung jawab atas masa
depan mereka sendiri?
Teologi menempatkan
“Citra Allah” ke dalam pertanyaan tentang masa depan. Teologi mengatakan bahwa
upaya transhumanis untuk membentuk masa depan pasca humanisme haruslah
merupakan pertanyaan komunal karena “Citra Allah” adalah pertanyaan tentang
nilai keluarga manusia. Ini bukan pertanyaan tentang nilai teknologi.*