Puluhan tahun sejak
kemerdekaan 1945, bangsa ini tidak pernah menggunakan cara langsung pemilihan.
Kecuali untuk jabatan kepala desa dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat di
berbagai tingkatan. Pilkada langsung baru dilaksanakan setelah rezim orde baru
berakhir. Tepatnya sejak tahun 2005 menyusul pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara langsung tahun 2004.
UUD 1945 sendiri memang
tidak secara eksplisit memerintahkan penggunaan mekanisme Pilkada Langsung
untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Teks pasal 18 ayat (4) UUD
1945 menyatakan, bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”.
Frasa “dipilih secara
demokratis” dalam teks pasal ini mengisyaratkan jalan opsional. Artinya Pilkada
dapat dilaksanakan secara langsung, bisa juga tidak langsung, sepanjang
perhelatannya memenuhi prinsip-prinsip demokrasi.
Tetapi kemudian
mekanisme pemilihan tidak langsung yang dilakukan oleh DPRD dinilai oleh para
ahli mengandung suatu kelemahan mendasar terutama dilihat dari sudut pandang
partisipasi sebagai nilai paling penting dari demokrasi. Karena dengan
mekanisme perwakilan, rakyat sebagai pemilik kedaulatan diamputasi hak
politiknya untuk menentukan secara langsung siapa bakal calon pemimpinnya di
daerah.
Gugatan terhadap
mekanisme perwakilan dalam pilkada itu makin menguat dan membutuhkan jalan
keluar ketika dalam praktiknya pilkada yang dilaksanakan dengan cara elites
vote itu terbukti pula telah melahirkan berbagai kecenderungan atau fenomena
contradictio in terminis.
Misalnya bahwa pilkada
oleh DPRD kerap mereduksi preferensi rakyat terhadap figur-figur yang dianggap
cakap dan pantas. Produk pilihan DPRD dianggap tidak sungguh-sungguh
merepresentasikan kehendak rakyat. Dalam banyak kasus bahkan kerap lebih
mencerminkan pilihan segelintir elit politisi di Jakarta, atau kolaborasi
kepentingan elit lokal dan nasional. Dalam konteks ini terminologi demokrasi
bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat seolah kemudian menjadi semu dan jauh
dari substantif.
Basis Teoritik Pilkada Langsung
Dalam kerangka
mewujudkan demokrasi substantif itu, para ilmuwan politik penganut pendekatan
kelembagaan baru (new institusionalism) seperti Samuel Huntington, Brian Smith,
James March dan Johan Olsen sepakat perihal pentingnya proses demokratisasi
ditempuh.
Secara terminologis
terma demokratisasi dimaknai sebagai proses politik yang dijalankan bersama
oleh pemerintah dengan masyarakat dalam kerangka perubahan menuju dan untuk
menciptakan kehidupan politik yang demokratis di suatu negara. Dengan kata
lain, demokratisasi dapat dinyatakan sebagai proses dan upaya penguatan
(konsolidasi) demokrasi itu sendiri.
Di aras lokal, proses
demokratisasi itu antara lain dilakukan dengan mengubah mekanisme pemilihan
pemimpin eksekutif daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dari elites vote
menjadi popular vote alias pemilihan secara langsung oleh rakyat yang kini
dikenal dengan istilah Pemilihan atau Pilkada.
Merujuk pada pemikiran
Brian C. Smith (1998), demokratisasi di tingkat lokal berupa Pilkada langsung
itu penting karena ia merupakan prasyarat bagi terbangunnya demokrasi di
tingkat nasional. Berikut argumentasi teoritiknya.
Pertama, demokrasi
pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan
bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis. Hal ini terutama
karena tingkat proximity (kedekatan) yang lebih dekat antara pemerintah daerah
dengan rakyat.
Kedua, pemerintah
daerah dipandang sebagai pengontrol perilaku pemerintah pusat yang berlebihan
dan berkecenderungan anti-demokrasi yang kerap muncul pada masa transisi dari
pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis. Di dalam masa transisi
ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar kekuasaan yang lebih tinggi
atas kekuasaan dan otoritas pemerintah pusat.
Ketiga, demokrasi di
daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik
dibandingkan dengan yang terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di
daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih mengenal di antara satu dengan
lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi di daerah itu lebih
bermakna dibandingkan dengan di tingkat nasional. Bagi Smith, partisipasi di
daerah lebih memungkinkan bertumbuhnya tradisi deliberative democracy. Praktik
demokrasi yang mengedepankan komunikasi dan dialog-dialog diskursif dan lebih
partisipatif.
Keempat, dengan
menyebut kasus negara Kolumbia berdasarikan hasil risetnya, Smith meyakini
bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah
pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini
berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat
Sejalan dengan
pemikiran Smith, dua ilmuwan politik penganut
pendekatan kelembagaan baru, James March dan Johan Olsen mendalilkan, bahwa “political
democracy depends not only on economic and social conditions, but also on the
design of political institutions.” Bahwa demokratisasi politik tidak hanya
bergantung pada kondisi sosial dan ekonomi, tetapi juga pada desain kelembagaan
politik.
Asumsi yang mendasari
pandangan March dan Olson itu adalah, bahwa Pemilu (termasuk Pilkada) merupakan
jalan untuk merotasi kepemimpinan dimana rakyat terlibat secara langsung dan
terbuka. Maka Pemilu dan Pilkada merupakan salah satu wujud paling ekspresif
dari langkah-langkah politik penataan desain kelembagaan untuk
mengonsolidasikan demokrasi.
Perspektif Otonomi Daerah: “All Politics is Local”
Sementara itu, dalam
perspektif otonomi daerah (yang ruhnya adalah desentralisasi kewenangan
pemerintahan), Pilkada langsung juga dapat mengutuhkan implementasi
prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi dalam bingkai besar agenda politik
nasional. Yakni demokratisasi menuju era kehidupan demokrasi substantif,
demokrasi yang sesungguhnya. Karena Pilkada langsung pada dasarnya merupakan
pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional.
Demikian misalnya yang
dinyatakan oleh Tip O Neil seperti dikutip Agustino (2014), “all politics is
local.” Maksudnya bahwa demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di
aras nasional apabila pada tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai
demokrasi berakar kuat.
Atau sebagaimana
dinyatakan pula oleh Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1996), bahwa suatu negara
dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memberikan kebebasan
kepada warganya (termasuk di aras lokal) untuk merumuskan preferensi-preferensi
politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi.
Kemudian memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai,
serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan-jabatan politik,
nasional maupun lokal.
Dalam konteks itu,
Pilkada langsung mengejewantahkan adanya desentralisasi tatakelola kekuasaan
pada tahap dan sumber muasalnya, yaitu rakyat. Kemudian seperti dinyatakan
Joseph A. Schumpeter dalam Kacung Marijan (2007), bahwa demokrasi yang
sesungguhnya memang hanya mungkin dapat diwujudkan manakala terdapat pranata
politik yang memungkinkan terciptanya 3 (tiga) situasi politik ideal. Yaitu
political equality, local accountability, dan local responsiveness. Dan pranata
yang paling tepat untuk ini adalah penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat
di daerah.
Semangat dan pikiran
demokratisasi itulah yang telah mendasari pilihan sikap banyak pihak pada
dekade pertama pasca reformasi 1999 untuk menyambut dan mendorong perubahan
model Pilkada, dari elites vote ke popular vote.