Saya mengulas cinta
terhadap sesama manusia dalam beranda agama yang
seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa cinta untuk sesama manusia. Namun,
masih terbilang ringkih bagi kita untuk menelusuri teras-teras cinta itu
sendiri. Dalam tulisan kitab-kitab semua agama, setiap yang tertulis selalu
tercermin dari kehidupan yang lalu-lalu, yang kerap diawali dengan hal-hal yang
baik menjadi buruk hingga menjadi baik dan kembali menjadi buruk. Itulah awal
dari sengatan cinta yang saya katakan sebagai arus peradaban cinta itu sendiri.
Berangkat dari gelapnya situasi masa lalu, saya memberikan ruang ketenangan
bagi tubuh saya sendiri untuk memilah bagaimana cara memberikan cinta kepada
diri sendiri dan kepada sesama. Banyak orang mengatakan, untuk mencintai diri
sendiri, cukuplah dengan menjadi dirimu sendiri, dan berjalanlah semampumu dan
bersenang-senanglah dengan dirimu sendiri. Bagi saya, jawaban itu masih menjadi
jawaban pragmatis, saya menemukan sebuah arus terobosan bahwa untuk mencintai
diri sendiri, cukuplah dengan mencintai sesama manusia, karena setiap manusia
adalah diri kita sendiri. Saya berandai, ketika saya memberikan perhatian lebih
kepada orang lain, apalagi membuatnya merasa nyaman, maka saya sudah
menyumbangkan rasa yang membuatnya bahagia. Itulah cinta yang di tandai dengan
antusias, “karena aku mencintai, maka aku harus memberikannya”, itu menjadi
pedoman cinta yang saya terapkan untuk kawan-kawan sepantaran dan para sahabat.
Saya menerapkan cinta
sebagai alat utama untuk menjadi diri sendiri dan baik untuk menghargai sesama
manusia. Mencintai sesama sebagai kebutuhan untuk hidup yang damai dan rasional
dalam masyarakat yang sifatnya Societas.
Jika kita semua mengandalkan cinta sebagai pedoman hidup yang mulia, maka di
pastikan tidak ada pertikaian dan permusuhan di antara kita. Sebab, kita di
ciptakan sama dalam rupa Tuhan; begitulah pandangan agama. Namun, agama menjadi
alat represif ketika setiap penganutnya tidak memahami makna mendalam tentang
cinta yang seharusnya pada setiap beranda agamanya masing-masing. Munculnya
istilah “mabuk agama” memberikan respon kontoversi yang bisa saja menjadi
bencana bagi siapa dan apapun itu. Cinta mestinya dijadikan sebagai bantal
untuk kenyamanan hidup, apalagi jika cinta berbaring dalam tubuh agama,
bukankah itu terlihat indah?
Agama tidak pernah
menggagalkan dasar-dasar dan sirkulasi cinta itu sendiri, agama selalu
menciptakan cinta yang baik. Dalam setiap agama, cinta acap di terjemahkan
dalam kasih sayang, karena dalam pandangan setiap manusia saat ini menganggap
bahwa, ketika membicarakan cinta artinya membicarakan hubungan intim sepasang
suami dan istri. Seringkali, cinta di pandu sebagai kasih dan sayang sebagai
penghalusan-penggunaan bahasa, maka kesungkanan selalu menjadi aktor di balik
perbincangan itu. Padahal cinta adalah agama itu sendiri. Agama adalah
keindahan, sama dengan keindahan cinta itu sendiri, dan sering sekali cinta
dihiasi dengan aspek menghargai dan menghormati.
Etalase agama saat ini
seringkali mengotori wajah cinta yang telah di prioritaskan sejak dahulu kala.
Cinta menjadi sangat sensitif, dan sering digunakan sebagai alat untuk
menghasut sesama, bahkan melalui cinta kita bisa saja mengucilkan sesama.
Premis-premis candaan dijadikan sebagai budaya, meskipun itu berbau
menyinggung, akan tetapi bagian yang kecil dipaksakan harus bisa mengalah
sebisa mungkin, karena yang besar adalah yang selalu benar. Penandaan sikap
menghormati dan menghargai adalah jalan pamungkas untuk berhubungan baik
terhadap sesama manusia. Saya kira dengan saling menghormati dan menghargai,
kita bisa menjadi manusia yang moderen dan beraklak mulia, karena kita sadar
bahwa kita adalah manusia yang Societas. Kelayakan hidup manusia, bergantung
pada setiap manusia yang menjalaninya, jika dalam perjalanan hidupnya ia selalu
berusaha menindas orang lain, maka ia akan dijauhi dan bisa ditakuti oleh orang
lain. Di takuti bukan karena takut, melainkan memilih untuk menghindar dari
mereka yang saya sebut sebagai orang yang “mabuk”. Upaya untuk menggagalkan
orang-orang yang mabuk sangatlah susah di era kini, karena mereka di organisir
secara struktural oleh mereka-mereka yang lainnya. Orang-orang yang menghasut
dengan percikan-percikan doktrin yang kadarnya tak pasti itu, selalu
menggunakan ruang agama sebagai bukti kepastian untuk menarik kepercayaan orang
lainnya. Saya begitu sedih ketika mendengar ada satu agama yang selalu di
represif oleh agama lainnya, hanya karena merasa aneh dan mengganggu
pemandangan agamanya. Bagi saya, itulah bukti nyata bahwa manusia belum sadar
ada cinta dalam dirinya. Sikap menghargai dan menghormati belum di sempurnakan
dalam dirinya, sekalipun ia beragama dan ber- Tuhan. Dalam hemat saya, dengan
lantang saya katakan bahwa saat ini agama masih gagal menciptakan manusia yang
teliti dalam mencintai sesama manusia. Agama masih bisa di pelintir sebagai
alat untuk menyalurkan sabda dan ruang ibadah, namun belum sempurna menerapkan
“kasih” kepada sesama. Sangat di sayangkan jika agama terus menerus di salahkan
sebagai yang gagal dan selalu gagal.
Dalam beranda agama,
cinta seharusnya diprioritaskan sebagai kunci utama untuk memandu rasa
memiliki; kesamaan, kedamaian, keharmonisan, kepercayaan dan cinta. Panduan
untuk mencintai sesama sudah banyak di terapkan oleh para motivator, pengajar,
aktivis, dan keluarga dan semuanya ideal dan kontruktif, namun sedikit menurun
eskalasinya pada beranda agama. Sebab, masih ada kejahatan dan keselewengan
yang mengatasnamakan agama hingga menggunakan nama itu sebagai pagar kejahatan.
Sekali lagi saya tawarkan, panduan untuk mencintai sesama ialah dengan
menjadikan sesama sebagai yang sama dengan diri kita, tanamkan premis, “aku
adalah dia, dan dia adalah aku”, maka jadilah sebuah keharmonisan yang baik.
Jika agama berhasil menciptakan manusia yang secara keseluruhan berhasil meraup
kesadaran itu, maka di pastikan tidak akan ada kejahatan dalam agama-agama
apapun. Karena sejauh ini, banyak orang saling menghasut dan melahirkan
wajah-wajah represif yang ditawarkan melalui ajaran-ajaran agama. Maka, marwah
agama menjadi buruk di mata orang-orang yang meyakininya sebagai instansi yang religius.