Dua tahun pandemi
mengajarkan kita bahwa kejujuran tidak lagi menjadi prioritas utama bagi siswa
karena setiap kali melakukan penilaian siswa berada dirumah sementara guru
berada ditempat yang berbeda. Tidak ada kontrol dari guru tentang arti sebuah
kejujuran dalam mengerjakan setiap penilaian yang diberikan oleh guru. Sehingga
untuk saat ini guru bener benar menekankan sikap jujur dalam segala hal.
Begitu marahnya guru
ketika mendapati setiap siswa yang tidak jujur dalam mengerjakan penilaian atau
pun dalam hal yang lain. Seperti yang kita ketahui dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Civic Honesty Around the Globe pada tahun 2014. Sebuah
penelitian yang dilaksanakan di 355 kota di 40 negara dengan menyerahkan 17.303
dompet yang hilang kepada warga sekitar. Hasilnya didapati Swiss menjadi negara
yang sangat jujur dengan sebesar 70% orang mengembalikan dompet tidak berisi
uang dan sebesar 78% orang mengembalikan dompet berisi uang kepada pemiliknya.
Sementara cina menjadi
negara diurutan terakhir dengan masyarakat paling jujur di dunia. Sebesar 8%
orang dari negara Cina mengembalikan dompet ke pemiliknya, serta 20% orang
mengembalikan dompet kepada pemiliknya. Sementara Indonesia berada di urutan 33
sebagai negara dengan masyarakat paling jujur di dunia. Sekitar 18% orang Indonesia
mengembalikan dompet yang tidak ada uangnya, sementara 31% orang mengembalikan
dompet berisi uang kepada yang punya (Tempo.com).
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Kejujuran memiliki arti yaitu lurus hati, tidak
curang, dan kejujuran adalah kelurusan hati, ketulusan hati. Kita boleh
menyimpulkan dari pernyataan diatas bahwa jujur merupakan suatu sikap yang
lurus dengan mengatakan yang sebenar benarnya dan biasa kita mengartikan
kejujuran dengan istilah tidak berbohong, atau mengatakan hal – hal yang
menyalahi apa yang terjadi/fakta. Dalam kehidupan sehari – hari, dimana manusia
cukup jauh dari kata jujur yang sebenarnya, dengan menutupi semua yang terjadi
dengan kebohongan, berharap nya semua masalah akan selesai.
Sebagai guru kitaselalu
dihadapkan pada sebuah pilihan yang begitu sulit ketika ingin memasukan nilai
yang diperoleh siswa apa adanya tetapi nanti beresiko bagi siswi dan sekolah
kedepannya karena nilai yang diperoleh sangat kecil akan berdampak bagi siswa
untuk bisa melanjutkan kejenjang berikutnya. Guru juga bisa memanipulasi nilai
agar siswa mendapatkan nilai yang layak.
Ketika kita secara
jujur melihat dari tujuan penilaian yang kita lakukan dalam proses pembelajaran
untuk mengetahui sejauh mana kemajuan belajar siswa, dan nanti hasil yang
diperoleh akan digunakan oleh sekolah untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan
belajar siswa serta sekaligus memberi umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan
kegiatan belajar itu artinya guru dituntut untuk memberikan nilai sesuai dengan
apa yang diperoleh siswa tanpa dimanipulasi oleh guru.
Dalam kurikulum merdeka
setiap sekolah fleksibel dalam menentukan jenis, teknik, instrumen, dan waktu
ujian berdasarkan karakteristik tujuan pembelajaran. Sekolah juga memiliki
keleluasaan untuk menentukan strategi pengolahan hasil penilaian sesuai
kebutuhan.
Masalah pendidikan di
Indonesia bukan hanya dari sisi kognitifnya saja tetapi masalah attitude dengan
mengutamakan kejujuran baik yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Baik
buruknya kualitas pendidikan harus menjadi tanggung jawab kita semua.
Guru sebagai motivator
bagi siswa nya harus benar-benar mengajarkan arti kejujuran bagi siswanya
jangan sampai guru hanya mengajarkan dan memaksakan kejujuran kepada siswa
sementara guru masih ada yang tidak jujur dalam melakukan setiap kegiatan.
Ketika guru jujur maka siswa pun jujur dan pastinya harapan sekolah tertumpu
nantinya, pada peserta didik, untuk menjadi insan yang berakhlak mulia dan
berkarakter.