Lantas bagaimana dengan
nasib desa dalam
proses menuju Indonesia
Emas 2045? Peran inklusivitas serta transparansi dalam
pemerintah desa menjadi tolak ukur bagaimana kebijakan pembangunan di desa yang
inklusif dapat tercapai secara kolektif. Terciptanya collaborative governance
antarpemerintah desa dan masyarakat tanpa mengecualikan kelompok mana pun akan
mempermudah menuju visi Indonesia Emas 2045.
Karena itu, desa
menjadi kontributor utama dalam mencapai target visi pembangunan Indonesia Emas
2045, serta negara nusantara berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Pertanyaannya,
apakah revisi Undang-Undang (UU) Desa yang baru disahkan sudah memastikan
pembangunan di level desa dapat berkontribusi terhadap cita-cita Indonesia Emas
2045?
Wajah desa
Faktanya, revisi UU
Desa tahun 2024 belum banyak mendiskusikan soal pembangunan berkelanjutan di
lingkup desa, melainkan baru sebatas diskursus pada kepentingan elit desa
semata. Hal ini terlihat pada revisi Pasal 26, Pasal 50a, dan Pasal 62 terkait
dengan pemberian tunjangan purnatugas dan pada Pasal 39 tentang perpanjangan
masa jabatan kepala desa dari enam menjadi delapan tahun.
Adanya penambahan masa
jabatan pada kepala desa berpotensi memunculkan penyelewengan-penyelewengan
terhadap anggaran jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang ketat.
Seperti adagium dari Lord Acton yang menyebut, power tends to corrupt and absolute
power corrupt absolutely, bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan
yang absolut cenderung korup secara absolut.
Catatan sejarah
menyebut, semenjak turunnya dana desa pada 2015, tingkat korupsi desa semakin
meningkat. Terhitung sejak 2016 dana desa yang dikorupsi masih sebesar 45
miliar, pada tahun 2022 jumlah korupsi yang tertangkap sebesar Rp 381 miliar
naik drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2023, menurut
Indonesia Corruption Watch (ICW), terjadi 187 kasus korupsi di desa 108 kasus,
di antaranya merupakan kasus pemerintahan dan merugikan negara sebesar Rp 162,2
miliar.
Dengan adanya
pertambahan masa jabatan dua kali delapan, pemerintah desa akan mengelola dana
per tahun rata-rata Rp 1 miliar jika di total selama 16 tahun maka akan ada 16
miliar yang dikelola oleh setiap desa. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem
keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan dana desa serta pengawasan dari
masyarakat untuk memastikan implementasi UU Desa yang baru tidak menciptakan
semakin banyak praktik korupsi dan menguatnya oligarki di desa.
Pada sisi lain,
perpanjangan masa jabatan berpotensi menciptakan oligarki yang berujung pada
praktik-praktik nepotisme sekelompok orang di desa. Akibatnya regenerasi kepala
desa semakin terhambat dengan masa jabatan kepala desa yang semakin lama.
Belum lagi, pihak
oposisi juga akan semakin teredam karena semakin kuatnya kekuasaan yang
dibangun oleh kelompok pemerintah desa. Sehingga hal itu akan mematikan
kontribusi masyarakat desa terlebih lagi ketika anak muda yang masuk dalam usia
produktif menjadi penduduk mayoritas.
Desa inklusif
Pemerintah kini punya
pekerjaan rumah untuk membuat turunan dari revisi UU Desa. Sebelum merumuskan
kebijakan tersebut pemeritah perlu melihat kembali esensi dari keberadaan desa
untuk siapa? Merujuk Handbook Desa Inklusif yang dibuat oleh Kementerian Desa
PDTT, sejatinya desa hadir untuk semua, menjalankan peran dan manfaat untuk
kepentingan bersama dan memangku mandat rakyat.
Untuk mencapai tujuan
dari sebuah desa inklusif maka dibutuhkan prasyarat-prasyarat keterlibatan
partisipasi kelompok rentan dan marginal dalam penyelenggaran pembangunan desa.
Kelompok rentan dan marginal, meliputi warga miskin, warga disabilitas,
Perempuan, anak, lansia, masyarakat adat, kelompok anak muda, kelompok
minoritas, serta kelompok rentan dan marginal lainnya.
Desa inklusif menjadi
salah satu konsep pembangunan desa yang dapat meminimalisasi adanya
penyelewengan dan munculnya elite desa. Karena akan mempersempit ruang bagi
oknum-oknum pemerintah desa yang ingin melakukan penyelewengan-penyelewengan di
saat adanya keterlibatan pengawasan masyarakat secara inklusif.
Dengan terciptanya desa
inklusif secara otomatis akan menciptakan sisi akuntabilitas sosial yang kuat.
Peran akuntabilitas sosial juga menjadi bagian dari terciptanya masyarakat yang
harmonis dan meningkatkan rasa kepercayaan terhadap pemerintah desa. Karena
bagaimanapun masyarakat desa mempunyai hak untuk pertanggungjawaban penggunaan
dana desa, transaparansi anggaran dan pelayanan publik.
Pemerintahan yang
inklusif menjadi pintu untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.
Poin-poin target dalam SDGs lebih mudah tercapai jika masyarakat ikut
berpartisipasi dalam perumusan serta implementasi kebijakan khususnya di
pemerintah desa.
Prinsip leave no one behind SDGs sejalan dengan collaborative
governance, adanya kolaborasi antarpemerintah desa dan masyarakat secara
menyeluruh tanpa mengesampingkan kelompok mana pun, di antaranya kelompok
rentan dan marginal sehingga pengambilan kebijakan dan penggunaan dana desa
bisa lebih kolektif dan tepat sasaran.
Dengan pembangunan desa
inklusif target pembangunan Indonesia Emas 2045 tidak mustahil tercapai.