Sudah dua tahun mereka
pinjam pakai Gedung Sekolah Dasar (SD) Wekakeu, dengan berbagai keterbatasan.
Hal ini dikemukakan
Maria saat dikonfirmasi Pos Kupang, Selasa (4/6) terkait kondisi SMA Perbatasan
Belu.
"Kami senang
sekali bisa bersekolah di SMA Perbatasan, karena dekat dengan rumah. Tapi kami
belum memiliki gedung sendiri dan kursi meja juga masih sangat kurang, dan sekolahnya
siang hari. Ini yang membuat semangat belajar kami berkurang," ujar Maria.
Maria berharap
Pemerintah bisa membantu dia dan teman-temannya agar bisa mendapatkan sekolah
baru dengan fasilitas yang memadai.
Siswa lain, Juliana Soi
juga menyampaikan harapan yang sama. "Kami harap Pemerintah bisa bantu
kami untuk membangun gedung baru dan fasilitas pendukung lain. Apa lagi kami
ini berada di garda terdepan Indonesia dan Timor Leste," ungkapnya.
Apa yang dikemukakan
Maria dan Juliana itu adalah fakta yang dialami sekolah itu
Mereka terpaksa belajar
dengan kondisi keterbatasan, karena hingga kini belum memiliki gedung sendiri
dan mengalami kekurangan fasilitas pendukung seperti meja dan kursi.
Kondisi demikian sudah
dialami sejak dua tahun lalu sejak sekolah tersebut berdiri. Bahkan para siswa
juga mengaku terkadang mereka kurang bersemangat karena harus sekolah di siang
hari. Belum lagi jumlah meja dan bangku yang kurang.
Wakil Kepala SMAN
Perbatasan, Eduard SL, menjelaskan, pembangunan sekolah ini, dilakukan atas
inisiatif masyarakat dan pemerintah desa setempat. Hal ini bermaksud untuk
memudahkan siswa SMP melanjutkan pendidikan tanpa harus menempuh jarak yang
jauh.
Sebanyak 87 siswa
berasal dari beberapa desa di Kecamatan Lamaknen dan Lamaknen Selatan. “Sekolah
ini mengalami keterbatasan tidak hanya pada fasilitas gedung, tetapi juga pada
tenaga pendidik," jelasnya.
Pinjam pakai gedung
sekolah SD Wekakeu di Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan ini sudah dialami
mereka selama dua tahun.
Sebanyak 87 siswa SMA
Perbatasan itu masuk sekolah siang hari mulai pukul 12.00 Wita hingga 17.00
Wita. Sebab, pagi hari gedung sekolah itu ditempati oleh murid SD Wekakeu.
"Meski dengan kondisi yang serba terbatas, semangat para siswa tetap
tinggi demi mengejar cita-cita mereka," tambahnya.
Eduard berharap
Pemerintah Provinsi NTT dan Kabupaten Belu dapat menjawab kebutuhan siswa SMAN
Perbatasan ini. Selain gedung, demikian Eduard, tantangan lainnya yang dialami
SMA Perbatasan adalah status tenaga pendidik, dimana lebih banyak bestatus
honorer.
"Para tenaga
pendidik dan tenaga pendidikan, statusnya hononer. Kami tetap menjalankan tugas
dengan baik demi tercapainya generasi unggul di wilayah perbatasan
Indonesia-Timor Leste," ujarnya.
Selain itu, tenaga
pendidik di sekolah ini berstatus honorer dan digaji setiap tiga bulan sekali
dari uang komite sekolah. "Guru ada 14 orang, PNS hanya satu orang,
sisanya adalah guru honorer," pungkasnya.
Eduard menjelaskan,
sejak sekolah ini berdiri, Dinas Pendidikan Provinsi NTT meminta sekolah untuk
menginput kondisi sekolah di Dapodik. "Kita masih menunggu penilaian atau
petunjuk lebih lanjut dari Dinas. Semoga proses ini dipercepat mengingat sudah
dua tahun," tuturnya.
Guru digaji Komite
Ketua Komite SMAN
Perbatasan, Alfonsius Bere, menjelaskan, SMAN Perbatasan merupakan satu-satunya
SMA Negeri yang ada di Kecamatan Lamaknen dengan sekolah pendukung terdiri dari
5 SMP. “Masyarakat sangat senang dengan adanya SMA Negeri yang sudah diberikan
izin pada Tahun 2022 lalu, dan mulai bulan Juli ini sudah ada kelas 3. Namun,
gedungnya belum ada," ungkap Bere.
Karena itu, Alfonsius
mewakili masyarakat dan orang tua siswa/I SMAN Perbatasan, dia agar Pemerintah
pusat dan Pemerintah Provinsi NTT untuk menyediakan gedung sekolah yang layak.
"Kami sebagai
masyarakat dan orang tua membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat dan juga
provinsi untuk memberikan gedung-gedung sebagai ruang belajar, perpustakaan,
dan juga laboratorium. Dengan cara ini, siswa-siswa sudah dapat belajar dengan
baik," tambahnya.
Saat ini, jumlah
rombongan belajar (rombel) di SMA Negeri Perbatasan Lamaknen Selatan terbatas
karena keterbatasan ruang kelas.
Dari kelas 10 dan kelas
11 yang semula berjumlah 2 rombel, sekarang hanya 4 rombel. Namun, mulai bulan
Juli ini sudah bisa mencapai 6 rombel.
“Oleh karena itu, kami
sangat membutuhkan ruang-ruang belajar. Itu harapan kami, semoga pemerintah
bisa memperhatikan," ungkapnya.
Selain itu, dia juga
berharap ada perhatian untuk guru-guru di sekolah itu karena hingga saat ini
guru masih digaji dari uang Komite.
Selama ini Komite sangat
mendukung sekolah tersebut walaupun masih sangat terbatas dalam hal keuangan.
“Dukungan Komite Sekolah hanya sebatas mengadakan rapat-rapat dengan orang tua
siswa sehingga ada pengumpulan uang komite sebesar Rp 75 ribu perbulan,”
katanya.
Namun hal itu banyak
yang tidak terealisasikan. Karena, sekolah itu berada di pedalaman sehingga
banyak anak yang mengalami kendala untuk membayar uang sekolah. “Sampai akhir
semester, ada sekitar 20 persen siswa yang belum melunasi uang sekolah," ungkapnya.
Meskipun demikian, Bere
mengapresiasi pengorbanan guru-guru SMAN Perbatasan yang rela berjuang meskipun
dengan honor yang tidak sebanding.
"Guru-guru juga
betul-betul suka rela berkorban untuk mendidik anak-anak di SMA Perbatasan.
Walaupun dengan honor terbatas mereka terus menjalanan tugasnya,” kata Bere.
Usulkan ke BNPP
Sekretaris Daerah
(Sekda) Belu, Johanes A Prihatin memastikan, pihaknya akan segera mengusulkan
pengembangan SMAN Perbatasan itu ke Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan
(BNPP) RI.
"Dari pendekatan
pembangunan perbatasan negara, tentu sekolah ini berada di lokasi prioritas
(lokri) Kecamatan Lamaknen Selatan, sehingga usulan pengembangan sekolah ini
juga kami sampaikan ke BNPP," ujar Johanes.
Mantan Kepala Badan
Pengelola Perbatasan Kabupaten Belu ini juga menyampaikan terima kasih atas
kehadiran Sekolah SMA Negeri Perbatasan. "Tentu masyarakat sangat
berterima kasih atas kehadiran sekolah ini, karena selama ini sekolah terdekat
hanya di weluli kecamatan lamaknen," ungkapnya.
Merespon aspirasi yang
berkembang, Mantan Kadis Kominfo Belu ini menyampaikan pemerintah Kabupaten
mengharapkan perhatian dari Pemerintah Provinsi untuk terus membenahi sekolah
ini, terutaman dari sarana prasarananya.
"Kita berharap
perhatian dari Pemerintah Provinsi untuk terus membenahi sekolah ini, terutaman
dari sarana prasarananya," pungkasnya.
Pemda Belu Mesti Proaktif
ANGGOTA DPRD Belu,
Melkiyaris Lelo meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belu untuk proaktif
menjawab permasalahan yang dialami oleh SMAN Perbatasan yang berada di
Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu.
Menurut Melki, meski SMAN
Perbatasan menjadi tanggung jawab atau kewenangan dari Pemerintah Provinsi NTT
melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, tetapi siswa-siswi sekolah itu
adalah masyarakat Belu.
"Saya meminta
Pemerintah Kabupaten agar berupaya secepat mungkin melakukan kordinasi dengan
Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan, karena bagaimanapun SMAN tersebut
berada di wilayah Kabupaten Belu," ujarnya, Selasa (4/6).
Melki juga dari Dapil
III Belu meliputi Lamaknen Selatan ini juga meminta Dinas Pendidikan Kabupaten
Belu membantu sekolah itu.
"Karena anak-anak
itu merupakan anak belu yang harus dibantu lewat proses belajar mengajar yang
baik sehingga tidak terjadi kesenjangan dengan SMA lain yang ada di belu sini
apalagi Lamaknen sebagai daerah perbatasan," pungkasnya.
Libatkan OPD Urusan Perbatasan
KONDISI yang dialami
siswa/I Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Perbatasan, di Kabupaten Belu,
Provinsi NTT, membuat kita semua ikut prihatin. Naifnya, kondisi ini ada di
wilayah Kecamatan Lamaknen Selatan yang merupakan kecamatan terluar-terdepan
karena berbatasan langsung dengan Timor Leste. Saya kira ada sesuatu yang
tersumbat dalam rencana pembangunan pendidikan kita.
Menurut saya, alokasi
anggaran pendidikan seharusnya menjadi prioritas sesuai dengan amanat UUD 1945.
Namun kenyataannya, distribusinya tidak merata, terutama di daerah terpencil
seperti Lamaknen Selatan.
Proporsi 20 persen
anggaran bidang pendidikan yang merupakan mandatory spending belum terealisasi
secara adil di daerah. Ada dana besar untuk beasiswa dan bantuan sosial, tetapi
implementasinya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) seperti ini
sangat minim.
Kendala utama sering
kali adalah masalah teknis administratif dan mekanisme penganggaran yang rumit.
Alasan teknis administratif sering menjadi penghambat karena kriterium dan
persyaratan mendapatkan alokasi anggaran hingga ke tingkat bawah cukup ribet
dan menjenuhkan.
Bagaimana juga
dengan tanggung jawab bersama antara pemerintah provinsi dan kabupaten.
Walaupun kewenangan penanganan SMA/SMK berada di tangan pemerintah provinsi,
dampak dan manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat kabupaten. Maka,
masalah pendidikan harusnya menjadi tanggung jawab semua stakeholder di
berbagai tingkatan.
Hal yang perlu
dipertanyakan juga adalah data keberadaan sekolah ini apakah sudah terakomodir
dalam Dapodikdasmen atau terlewatkan saat dua tahun lalu ada stimulus program
SMA unggulan.
Padahal, rintisan awal
sekolah ini diinisiasi oleh masyarakat setempat dan direspon oleh pemerintah
provinsi dengan memberikan izin. Tetapi kenapa tidak dilanjutkan dengan
intervensi lanjutan.
Karena, jika sekolah
ini didirikan dua tahun lalu, seharusnya dalam anggaran 2024 sudah ada
aktivitas penyediaan sarana dan prasarana pendidikannya berupa gedung. Kemudian
diikuti dengan penyediaan fasilitas penunjang lainnya dan sumber daya tenaga
didik serta kependidikan.
Namun jika hingga kini
belum ada realisasi maka tentu ada yang salah. Karena itu, seharusnya
pemerintah provinsi mempercepat langkah-langkah yang diperlukan. Bahkan
mestinya pemprov NTT juga melibatkan OPD yang menangani urusan perbatasan.
Jika pemerintah
provinsi masih berkutat dalam argumentasi penganggaran, maka Pemerintah
Kabupaten Belu bisa mengajukannya dalam skala prioritas pembangunan kawasan 3T.
Masyarakat dan elemen
lainnya mestinya juga berpartisipasi aktif untuk menangani permasalahan di SMA
Perbatasan ini.
Caranya, Pemerintah
desa bisa memasukkan dalam penganggaran Dana Desa untuk menopang sebagian kecil
tanggung jawab sosialnya. Pemerintah kabupaten bisa membantu dari sisi
pendidikan luar sekolah, dan kampus bisa mengalokasikan KKN dan MBKM ke sana.
LSM/NGO dan komunitas sosial juga bisa bergerak dengan caranya.
Pemerintah provinsi NTT
bisa melakukan langkah cepat dan memudahkan mekanisme serta prasyarat BOSP
untuk sekolah-sekolah di perbatasan. Jangan ikuti syarat umum. Demikian juga
beasiswa PIP dan ADEM yang sempat viral menjadi komoditi politik tahun lalu,
harus menjadi skala prioritas meskipun populasinya terbatas. ***