Lebih memprihatinkan
lagi, bukan hanya publik awam saja yang termakan narasi rumpang terkait
generasi. Para akademisi hingga pesohor riset dan ilmuwan pun tidak sedikit
yang "kecolongan" oleh teori generasi yang belum komplet, masih ramai
diperdebatkan dan dirombak-kembangkan hingga sekarang. Tidak berlebihan jika
potret demikian saya sebut "kelatahan publik"—atau dalam istilah
lebih kekinian, sebut saja FOMO (fear of
missing out).
Tulisan ini mencoba
mengurut apa saja yang perlu dicermati dan dikritik dari pemahaman khalayak
menyangkut "generasi". Satu imbuhan lagi yang penting: sejauh mana
gagasan tentang "generasi" dapat menawarkan pembacaan dan perspektif
yang lebih segar untuk memahami anak muda, khususnya sesuai konteks di Tanah Air.
Membongkar logika horoskop
Narasi tentang generasi
muda (baik Milenial dan Gen Z) sejatinya masih banyak dicemari oleh logika
bernuansa horoskop. Masyarakat umum "terbeli secara psikologis" dan
menerima begitu saja tanpa sanggahan (without any reserve) terhadap narasi
banal tersebut. Mereka percaya kalau Milenial itu berwatak ABC, sedang Gen Z
berciri XYZ. Padahal, analisis semacam itu tidak lebih seperti zodiak.
Sebagai ilustrasinya,
mereka yang lahir pada rentang 1981 – 2000 dianggap sebagai generasi Milenial.
Ada juga yang memetakan rentang 1981-1996 (interval 15 tahun). Mereka yang
termasuk ke dalam kelompok angka kelahiran ini dinilai sebagai orang-orang yang
kreatif, inovatif, berorientasi sosial tinggi, menyukai kebebasan, dan gemar
dengan hal-hal instan. Namun, apakah benar demikian?
Jawabannya tidak
setegas karakteristik tersebut. Di mata peneliti anak muda, Muhammad Faisal
(2021) lewat bukunya Generasi Kembali ke Akar [edisi revisi], pemetaan semacam itu
sangat tidak berdasar. Potret demikian merupakan generalisasi yang sembrono,
deterministik, dan bisa dikatakan sebuah metafisika. Dan, itu jelas bukan
sains, melainkan pseudo-ilmiah, mirip peramal dan juru tenung.
Kesalahan yang menjalar
Ironisnya, pembacaan
seperti itu nyatanya menular. Sejumlah bagian dalam tulisan Ahmad Najib Burhani
di rubrik Analisis Budaya (Kompas, 29/3), misalnya, pun masih 'tercemari'
unsur-unsur yang sarat nuansa horoskop. Di luar data-data terkait kesenjangan
antargenerasi, politik dinasti di jajaran pejabat Milenial, dan tren-tren yang
dia paparkan yang tidak saya bantah, ada cuplikan narasi yang tergesa-gesa
dalam mengkaji generasi Milenial. Letaknya ada pada uraian yang menyebut
generasi Milenial suka yang happy-happy dan menyerap politainment sebagai
bagian dari jati dirinya.
Pertanyaannya, apakah
suka bersenang-senang dan mengonsumsi politainment itu hanya "unik"
pada generasi Milenial saja? Ataukah, justru semua orang hari ini menikmati
itu, dari latar kelas dan kelompok usia berapa pun? Bukankah manusia dewasa
bahkan lansia juga tidak menolak unsur-unsur menyenangkan bahkan ikut
mengendarai politainment tersebut? Basis data dari mana yang menyebutkan bahwa
di luar kelompok Milenial itu "tidak suka" happy-happy dan cenderung
jijik dengan politainment?
Di sinilah
problematisasi saya berpijak. Untuk menyusun sebuah argumen, perlu kecukupan
data dari berbagai lingkup—termasuk data-data yang mungkin menampik hipotesis
awal kita sendiri. Inilah mengapa penting untuk menghindari sikap
cherry-picking; kecenderungan memetik hal-hal atau bukti yang hanya mendukung
asumsi atau bahkan 'keyakinan' kita, sambil mengesampingkan data-data yang
sangat mungkin mementahkan asumsi awal seorang peneliti/penyelidik.
Namun, uraian Najib
Burhani itu bisa dipahami. Lagi pula, dalam disiplin ilmiah, manusia itu sulit
lepas total dari aneka bias kognitif—yang jumlahnya ratusan! Dan, perkembangan
ilmu pengetahuan itu bersifat dinamis, terbuka, dan mengakui adanya
"kemungkinan untuk keliru" dalam diri manusia (fallibility), serta
peluang untuk dapat dibantah, alias falsifiability (Karl Popper, 1959). Yang
bisa kita upayakan adalah menjajaki secara kritis, perlahan, dan terbuka dengan
aneka input beserta pertentangan yang potensial muncul di kemudian hari.
Pentingnya porsi
skeptis yang sehat
Dari sini, satu hal
yang perlu dibudayakan oleh masyarakat kita: cara berpikir kritis. Di dalamnya
terkandung anasir untuk menjeda, meragukan dulu, sebelum meyakini sesuatu.
Karenanya, sikap skeptis dalam dosis yang tepat menjadi penting.
Sejatinya keresahan
mengenai analisis generasi itu telah muncul sejak lama. Daniel Dhakidae,
misalnya, menulis esai panjang berjudul Generasi, Karakter, dan Perubahan
Sosial-Politik di Jurnal Prisma (1980). Ia tiba pada kesimpulan bahwa
perspektif generasi tidak sepi dari mitos, harapan dan kekhawatiran yang
berlebihan. Meski begitu, konsep generasi ini jika dipakai secara tepat, ia
menawarkan penjelasan yang menarik.
Itu karena lewat
analisis generasi, akan ada episode penting dalam sejarah—yang mungkin saja
luput dan terkubur—menjadi bisa terkuak dan terbaca. Isinya mencakup perubahan
zaman, dinamika antar-aktor, perjumpaan, gesekan, hingga negosiasi di tengah
medan laga bernama "kehidupan", lengkap dengan segala kompleksitas, bias
kelas, beserta aneka drama, sikap naif, dan ketidakterdugaannya.
Melalui analisis
generasi, kita bisa membaca seperti apa vital sensibility dan semangat zaman
(Zeitgeist) yang tengah menyala dan menjalar ke sekelompok individu dengan
rentang umur yang relatif dekat. Spesifik untuk konteks di Tanah Air, titik
temunya membentang pada peristiwa kesejarahan krusial yang dialami bersama.
Misalnya, generasi '45, kemudian angkatan '66, generasi Reformasi,
pasca-Reformasi, hingga Pandemi Covid-19.
Pijakan ilmiahnya harus
tetap bertumpu pada satu kesadaran bahwa pengelompokan usia itu tidak
mengatakan apa-apa. Ia penting sebagai deskripsi demografis, tetapi tidak bagi
analisis generasi. Itu sebabnya penelitian soal generasi mempersyaratkan adanya
penjajakan gejala-gejala sosial dalam kurun periode tertentu sekaligus
perumusan ketat mengenai peristiwa sosial-politik dan kesejarahan yang krusial
(Marvin Rintala, 1963). Pendekatan multi dan interdisiplin keilmuan, dengan
begitu, menjadi kebutuhan mendesak.
Lagi pula, bukan angka
lahir yang jadi acuan. Individu baru bisa mencerap, menghayati, mengadopsi
nilai-nilai sosial-politik-budaya secara sadar itu pada fase remaja. Karenanya,
analisis generasi semestinya berpijak pada rentang individu ketika remaja,
bukan dari tahun lahirnya.
Terakhir, analisis
generasi tetaplah merupakan suatu "pemetaan besar". Di dalamnya akan
tetap ada gambaran rinci yang luput. Beraneka jenis kepribadian anak muda
mustahil dikardus-karduskan ke dalam pola besar karakteristik tertentu hanya
karena tahun lahir. Di sini, jauh lebih aman memakai konsep Karl Mannheim,
mengenai "unit generasi". Bahwa kendati dalam satu generasi aktual
terdapat pola umum yang sama, di setiap lingkar kolektif tertentu pasti ada
pembeda (Karl Mannheim, 1952).
Sebagaimana ketika
melihat "hutan", di dalamnya pasti ada beraneka jenis
"pohon" yang berbeda satu sama lain. Kelengkapan sudut pandang amat
penting untuk memperoleh gambaran utuh dari realitas. Bahwa untuk memahami
pohon, kita musti mengerti hutan; dan untuk mengerti seluk-beluk hutan, kita
perlu mengenali setiap jenis pohon beserta jejaring kompleks di antara mereka.