Melihat Generasi Muda, Logika Horoskop, dan Kelatahan Publik

Melihat Generasi Muda, Logika Horoskop, dan Kelatahan Publik



Suara Numbei News - Beragam ulasan mengenai generasi muda telanjur bergulir seperti "bola salju". Ia menggelinding liar. Semakin hari semakin besar. Padahal, masih banyak mitos dan logika melenceng di dalam penjabarannya. Mirisnya, narasi semacam itu justru laris, tersebar cepat, dan melipatgandakan diri. Ini akan bertambah parah jika sudah terbagikan secara luas ke publik.

Lebih memprihatinkan lagi, bukan hanya publik awam saja yang termakan narasi rumpang terkait generasi. Para akademisi hingga pesohor riset dan ilmuwan pun tidak sedikit yang "kecolongan" oleh teori generasi yang belum komplet, masih ramai diperdebatkan dan dirombak-kembangkan hingga sekarang. Tidak berlebihan jika potret demikian saya sebut "kelatahan publik"—atau dalam istilah lebih kekinian, sebut saja FOMO (fear of missing out).

Tulisan ini mencoba mengurut apa saja yang perlu dicermati dan dikritik dari pemahaman khalayak menyangkut "generasi". Satu imbuhan lagi yang penting: sejauh mana gagasan tentang "generasi" dapat menawarkan pembacaan dan perspektif yang lebih segar untuk memahami anak muda, khususnya sesuai konteks di Tanah Air.


Membongkar logika horoskop

Narasi tentang generasi muda (baik Milenial dan Gen Z) sejatinya masih banyak dicemari oleh logika bernuansa horoskop. Masyarakat umum "terbeli secara psikologis" dan menerima begitu saja tanpa sanggahan (without any reserve) terhadap narasi banal tersebut. Mereka percaya kalau Milenial itu berwatak ABC, sedang Gen Z berciri XYZ. Padahal, analisis semacam itu tidak lebih seperti zodiak.

Sebagai ilustrasinya, mereka yang lahir pada rentang 1981 – 2000 dianggap sebagai generasi Milenial. Ada juga yang memetakan rentang 1981-1996 (interval 15 tahun). Mereka yang termasuk ke dalam kelompok angka kelahiran ini dinilai sebagai orang-orang yang kreatif, inovatif, berorientasi sosial tinggi, menyukai kebebasan, dan gemar dengan hal-hal instan. Namun, apakah benar demikian?

Jawabannya tidak setegas karakteristik tersebut. Di mata peneliti anak muda, Muhammad Faisal (2021) lewat bukunya Generasi Kembali ke Akar [edisi revisi], pemetaan semacam itu sangat tidak berdasar. Potret demikian merupakan generalisasi yang sembrono, deterministik, dan bisa dikatakan sebuah metafisika. Dan, itu jelas bukan sains, melainkan pseudo-ilmiah, mirip peramal dan juru tenung.


Kesalahan yang menjalar

Ironisnya, pembacaan seperti itu nyatanya menular. Sejumlah bagian dalam tulisan Ahmad Najib Burhani di rubrik Analisis Budaya (Kompas, 29/3), misalnya, pun masih 'tercemari' unsur-unsur yang sarat nuansa horoskop. Di luar data-data terkait kesenjangan antargenerasi, politik dinasti di jajaran pejabat Milenial, dan tren-tren yang dia paparkan yang tidak saya bantah, ada cuplikan narasi yang tergesa-gesa dalam mengkaji generasi Milenial. Letaknya ada pada uraian yang menyebut generasi Milenial suka yang happy-happy dan menyerap politainment sebagai bagian dari jati dirinya.

Pertanyaannya, apakah suka bersenang-senang dan mengonsumsi politainment itu hanya "unik" pada generasi Milenial saja? Ataukah, justru semua orang hari ini menikmati itu, dari latar kelas dan kelompok usia berapa pun? Bukankah manusia dewasa bahkan lansia juga tidak menolak unsur-unsur menyenangkan bahkan ikut mengendarai politainment tersebut? Basis data dari mana yang menyebutkan bahwa di luar kelompok Milenial itu "tidak suka" happy-happy dan cenderung jijik dengan politainment?

Di sinilah problematisasi saya berpijak. Untuk menyusun sebuah argumen, perlu kecukupan data dari berbagai lingkup—termasuk data-data yang mungkin menampik hipotesis awal kita sendiri. Inilah mengapa penting untuk menghindari sikap cherry-picking; kecenderungan memetik hal-hal atau bukti yang hanya mendukung asumsi atau bahkan 'keyakinan' kita, sambil mengesampingkan data-data yang sangat mungkin mementahkan asumsi awal seorang peneliti/penyelidik.

Namun, uraian Najib Burhani itu bisa dipahami. Lagi pula, dalam disiplin ilmiah, manusia itu sulit lepas total dari aneka bias kognitif—yang jumlahnya ratusan! Dan, perkembangan ilmu pengetahuan itu bersifat dinamis, terbuka, dan mengakui adanya "kemungkinan untuk keliru" dalam diri manusia (fallibility), serta peluang untuk dapat dibantah, alias falsifiability (Karl Popper, 1959). Yang bisa kita upayakan adalah menjajaki secara kritis, perlahan, dan terbuka dengan aneka input beserta pertentangan yang potensial muncul di kemudian hari.

Pentingnya porsi skeptis yang sehat

Dari sini, satu hal yang perlu dibudayakan oleh masyarakat kita: cara berpikir kritis. Di dalamnya terkandung anasir untuk menjeda, meragukan dulu, sebelum meyakini sesuatu. Karenanya, sikap skeptis dalam dosis yang tepat menjadi penting.

Sejatinya keresahan mengenai analisis generasi itu telah muncul sejak lama. Daniel Dhakidae, misalnya, menulis esai panjang berjudul Generasi, Karakter, dan Perubahan Sosial-Politik di Jurnal Prisma (1980). Ia tiba pada kesimpulan bahwa perspektif generasi tidak sepi dari mitos, harapan dan kekhawatiran yang berlebihan. Meski begitu, konsep generasi ini jika dipakai secara tepat, ia menawarkan penjelasan yang menarik.

Itu karena lewat analisis generasi, akan ada episode penting dalam sejarah—yang mungkin saja luput dan terkubur—menjadi bisa terkuak dan terbaca. Isinya mencakup perubahan zaman, dinamika antar-aktor, perjumpaan, gesekan, hingga negosiasi di tengah medan laga bernama "kehidupan", lengkap dengan segala kompleksitas, bias kelas, beserta aneka drama, sikap naif, dan ketidakterdugaannya.

Melalui analisis generasi, kita bisa membaca seperti apa vital sensibility dan semangat zaman (Zeitgeist) yang tengah menyala dan menjalar ke sekelompok individu dengan rentang umur yang relatif dekat. Spesifik untuk konteks di Tanah Air, titik temunya membentang pada peristiwa kesejarahan krusial yang dialami bersama. Misalnya, generasi '45, kemudian angkatan '66, generasi Reformasi, pasca-Reformasi, hingga Pandemi Covid-19.

Pijakan ilmiahnya harus tetap bertumpu pada satu kesadaran bahwa pengelompokan usia itu tidak mengatakan apa-apa. Ia penting sebagai deskripsi demografis, tetapi tidak bagi analisis generasi. Itu sebabnya penelitian soal generasi mempersyaratkan adanya penjajakan gejala-gejala sosial dalam kurun periode tertentu sekaligus perumusan ketat mengenai peristiwa sosial-politik dan kesejarahan yang krusial (Marvin Rintala, 1963). Pendekatan multi dan interdisiplin keilmuan, dengan begitu, menjadi kebutuhan mendesak.

Lagi pula, bukan angka lahir yang jadi acuan. Individu baru bisa mencerap, menghayati, mengadopsi nilai-nilai sosial-politik-budaya secara sadar itu pada fase remaja. Karenanya, analisis generasi semestinya berpijak pada rentang individu ketika remaja, bukan dari tahun lahirnya.

Terakhir, analisis generasi tetaplah merupakan suatu "pemetaan besar". Di dalamnya akan tetap ada gambaran rinci yang luput. Beraneka jenis kepribadian anak muda mustahil dikardus-karduskan ke dalam pola besar karakteristik tertentu hanya karena tahun lahir. Di sini, jauh lebih aman memakai konsep Karl Mannheim, mengenai "unit generasi". Bahwa kendati dalam satu generasi aktual terdapat pola umum yang sama, di setiap lingkar kolektif tertentu pasti ada pembeda (Karl Mannheim, 1952).

Sebagaimana ketika melihat "hutan", di dalamnya pasti ada beraneka jenis "pohon" yang berbeda satu sama lain. Kelengkapan sudut pandang amat penting untuk memperoleh gambaran utuh dari realitas. Bahwa untuk memahami pohon, kita musti mengerti hutan; dan untuk mengerti seluk-beluk hutan, kita perlu mengenali setiap jenis pohon beserta jejaring kompleks di antara mereka.




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama