Agama, dalam konteks
politik, seringkali bukan hanya soal iman dan ritual. Agama, untuk banyak
penguasa, merupakan sebuah instrumen yang ampuh untuk mengendalikan dan
mempengaruhi masyarakat. Mengapa? Karena agama memiliki kekuatan luar biasa
dalam mempengaruhi pikiran dan perilaku manusia.
Pertama, agama sering
digunakan untuk menciptakan kesepakatan dan konsensus. Ketika penguasa
berbicara dalam bahasa agama, mereka mencoba menciptakan hubungan emosional
dengan rakyat mereka. Ini bisa menciptakan semacam 'panggilan suci' yang
membenarkan kebijakan dan tindakan mereka.
Kedua, agama digunakan
sebagai alat legitimasi. Dalam banyak kasus, penguasa menggunakan penafsiran
agama untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka berargumen bahwa apa yang mereka
lakukan adalah 'divinitas', atau setidaknya, hal yang 'dibutuhkan' oleh agama.
Ketiga, agama digunakan
sebagai alat untuk menekan oposisi. Dengan menuduh lawan politik sebagai 'tidak
beragama' atau 'melawan agama', penguasa bisa memanipulasi opini publik dan
menciptakan citra negatif pada lawan mereka.
Namun, perlu diingat
bahwa politisasi agama juga berisiko. Ini bisa memicu konflik dan polarisasi,
membagi masyarakat, dan merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Juga, bisa menggeser fokus dari isu-isu nyata yang perlu ditangani.
Dalam konteks ini,
tugas kita adalah tetap kritis dan berpikir jernih, tidak terbawa arus saat
agama digunakan sebagai alat politik. Jangan biarkan emosi menguasai akal sehat
kita. Agama harus menjadi pencerah, bukan pandai besi konflik akar rumput (read
masyarakat).