Baru-baru ini, isu
mengenai obral gelar profesor mencuat ke permukaan, dan semakin marak
dibincangkan ketika Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid,
mengambil sikap tegas dengan meminta agar gelar profesornya tidak dicantumkan
sebagai bentuk protes terhadap fenomena ini. Langkah ini ia ambil sebagai
bentuk sikap kritisnya terhadap krisis integritas di kalangan pemilik gelar
akademik. Gelar profesor, yang seharusnya menjadi simbol pencapaian akademik
tertinggi, justru menjadi komoditas yang diperdagangkan, merusak nilai
integritas dan kredibilitas akademik.
Mengapa terjadi?
Untuk memahami lebih
dalam dilema ini, kita dapat merujuk pada teori habitus dari Pierre Bourdieu.
Habitus, menurut Bourdieu, adalah sistem disposisi yang dimiliki individu
sebagai hasil dari internalisasi struktur sosial dan pengalaman hidup. Habitus
membentuk cara berpikir, bertindak, dan merasa seseorang, serta menentukan cara
mereka memahami dunia dan berinteraksi di dalamnya.
Dalam konteks gelar
akademik dan krisis kepemimpinan, habitus akademik yang terbentuk di lingkungan
pendidikan tinggi sering kali menekankan pentingnya pencapaian formal dan
status sosial yang menyertainya. Ini menciptakan budaya di mana gelar akademik
dianggap sebagai simbol prestise dan otoritas, terlepas dari apakah pemiliknya
memiliki integritas moral dan kemampuan kepemimpinan yang memadai. Fenomena
obral gelar profesor adalah manifestasi dari habitus ini, di mana nilai
intrinsik pendidikan dan pengetahuan dikorbankan demi pencapaian simbolis.
Kualitas integritas
penyandang gelar akademik selayaknya mengacu pada profilnya yang mengedepankan
nilai-nilai luhur, keadilan, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran,
meskipun itu berarti harus menghadapi risiko besar. Penyandang gelar akademik
dengan integritasnya selayaknya bukan hanya mengandalkan pengetahuan dan keterampilan
teknis, tetapi juga memiliki integritas moral dan visi yang jelas tentang
kebaikan bersama. Sayangnya, banyak pemilik gelar akademik yang terjebak dalam
formalitas dan birokrasi, sehingga kehilangan esensi dari integritas yang
selayaknya dari penyandang gelar akademik itu sendiri.
Mengubah Atmosfer
Habitus akademik yang
terbentuk dalam atmosfer pendidikan tinggi memang perlu diubah untuk mendorong
munculnya para penyandang gelar akademik yang tidak hanya kompeten secara
akademis, tetapi juga memiliki integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai
luhur. Kurikulum pendidikan harus dirancang untuk tidak hanya menekankan
pengetahuan teknis, tetapi juga mengembangkan karakter dan moralitas mahasiswa.
Pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari proses pembelajaran,
sehingga lulusan tidak hanya memiliki gelar, tetapi juga siap menjadi
profesional yang berintegritas di bidangnya.
Kasus di sebagian
perguruan tinggi pada hari ini menunjukkan bahwa gelar akademik bisa
disalahgunakan dan menjadi alat pencitraan semata, tanpa diiringi dengan
tanggung jawab moral. Rektor UII, Fathul Wahid, dalam hal ini perlu
diapresiasi, sebab berusaha mengembalikan esensi dan kehormatan gelar akademik
dengan menolak mencantumkan gelar profesornya, menekankan bahwa integritas dan
kualitas lebih penting daripada gelar itu sendiri. Ini adalah contoh nyata dari
kepemimpinan profetik yang kita butuhkan, di mana keberanian untuk menentang
ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi prioritas. Model kepemimpinan
ini kian langka di tengah-tengah kita.
Selain itu, civitas
akademika juga harus lebih kritis dalam menilai kepemimpinan di perguruan
tingginya. Gelar akademik seharusnya bukan satu-satunya parameter dalam menilai
kemampuan seorang pemimpin atau calon pemimpin di perguruan tinggi. Pengalaman,
track record, dan terutama integritas moral harus menjadi pertimbangan utama.
Dengan demikian, kita dapat mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin yang tidak
hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki jiwa profetik yang mampu
memandu kita menuju masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya, gelar
akademik memang penting, tetapi ia bukanlah segalanya. Penyandang gelar
akademik membutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan; ia membutuhkan hati yang
tulus, keberanian untuk bertindak benar, dan komitmen untuk melayani masyarakat
dengan integritas. Mari kita bersama-sama mendorong perubahan atmosfer ini,
demi masa depan perguruan tinggi di Indonesia yang lebih cerah.***