Hidup di NTT Makin Susah, Dorongan Jadi PMI Nonprosedural Tak Terbendung

Hidup di NTT Makin Susah, Dorongan Jadi PMI Nonprosedural Tak Terbendung

Pemerintah daerah tidak berdaya mencegah warga yang ingin mengubah nasib hidup mereka di luar negeri.
Dari kejauhan dua anak memandang KM Bukit Siguntang dari luar Pelabuhan Tenau, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (6/7/2024). Banyak calon pekerja migran nonprosedural asal NTT menumpang kapal tersebut.


Suara Numbei News - Gagal panen, virus demam babi afrika atau ASF yang tak kunjung hilang, dan kondisi ekonomi negara yang kian berat mendorong banyak warga Nusa Tenggara Timur menjadi pekerja migran Indonesia nonprosedural. Kendati banyak risiko, termasuk kehilangan nyawa, keinginan itu tak bisa dibendung. Di sisi lain, pemerintah di daerah mengaku tak berdaya.

Hingga Kamis (1/8/2024) pagi, banyak warga NTT sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke Malaysia. ”Sudah siap semua, tinggal tunggu jadwal kapal dua hari lagi,” ujar Tinus Ola (36), warga dari Kabupaten Timor Tengah Utara. Tinus dijumpai di Kota Kupang.

Kapal dimaksud adalah KM Bukit Siguntang, yang sesuai jadwal akan tiba di Kupang pada Sabtu (3/8/2024). Kapal yang dioperasikan PT Pelni (Persero) itu melayari rute dari Kota Kupang hingga Nunukan di Provinsi Kalimantan Utara. Dari Nunukan, Tinus akan menyeberang ke Sabah, Malaysia, secara nonprosedural.

Tinus adalah pekerja serba bisa. Ia mengolah kebun, memelihara ternak, dan bisa menjadi tukang bangunan. Dalam dua tahun terakhir, hasil kerjanya tidak maksimal. ”Gagal panen, terus ternak babi mati semua karena ASF. Saat susah begini, pemerintah tidak datang menolong,” ujarnya.

Proses pengambilan darah untuk deteksi dini virus demam babi afrika di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, 30 Januari 2024.


Sementara proyek bangunan yang menjadi harapan terakhir juga nyaris tidak ada sebab kondisi ekonomi masyarakat kian tertekan. Harga barang kebutuhan terus melejit mengurus dompet masyarakat. Uang cukup untuk makan. Pembangunan fisik sepi.

Tinus diajak oleh kawannya yang baru pulang dari Malaysia. Di sana mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit dengan gaji sekitar Rp 5 juta per bulan. Gaji itu bisa untuk menopang hidup keluarga di NTT dan selebihnya ditabung untuk pendidikan anaknya.

Inilah pengalaman pertama kali Tinus menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) dan melalui jalur nonprosedural. Ia sadar banyak risiko di depan mata, seperti akan ditangkap aparat Malaysia, gajinya tidak sesuai standar, bahkan ancaman kehilangan nyawa. ”Demi hidup, saya harus ambil risiko ini,” ujarnya.

Hal yang sama juga akan dilakukan oleh Agnes (40), warga Pulau Lembata. Ia sudah pernah merantau ke Malaysia menjadi pekerja rumah tangga di sana selama sepuluh tahun. Ia sebetulnya tidak mau pergi lagi, tetapi kondisi ekonomi memaksanya.

Selama beberapa tahun di Lembata, ia mencoba usaha beternak babi tetapi gagal karena ASF melanda. Modalnya sudah habis. ”Kami mau minta bantuan tetapi kata pemerintah tidak ada anggaran. Jadi tidak bisa diam di sini. Siapa yang jamin hidup kami?” ujarnya.

Agnes juga akan masuk ke Malaysia secara nonprosedural. Seperti Tinus, Agnes juga akan menumpang KM Bukit Siguntang. Ia berencana akan bekerja lagi di tempat majikan yang lama. Mereka sudah berkomunikasi. Majikan di Malaysia tidak mempermasalahkan proses yang dilewati Agnes.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lembata Rafael Betekeneng mengaku, di tengah kondisi seperti ini, pemerintah tidak bisa mencegah warganya yang ingin bekerja di luar negeri. Pemerintah tidak bisa menjamin kebutuhan masyarakat.

Terlebih kondisi keuangan daerah yang sangat terbatas membuat pemerintah sulit bergerak melakukan inovasi yang bisa menyerap tenaga kerja atau melalui berbagi program pemberdayaan. ”Kondisi sekarang sangat sulit,” ujar Rafael.

Aplonia Dhey (38) dipeluk kerabat saat menangis histeris begitu jenazah suaminya, Lenesius Soba (44), yang meninggal di Malaysia, Selasa (26/12/2023), tiba di kargo Bandara El Tari, Kupang.


Ia menyarankan, jika hendak berangkat ke luar negeri, sebaiknya melalui prosedur yang benar, yakni mengikuti pelatihan dan menggunakan jasa penyalur tenaga kerja yang resmi. Saat ini di Lembata sudah ada balai latihan kerja dan pos imigrasi. Itu sangat membantu calon PMI.

Ia mengingatkan, calon PMI yang nonprosedural sarat dengan risiko, mulai dari gaji tak sesuai standar, mengalami penyiksaan, menjadi korban perdagangan orang, hingga meninggal. Hal itu sudah sering terjadi.

Pemerintah punya sumber daya yang besar. Harus kreatif mencipta lapangan kerja dan memberdayakan masyarakat.

Seperti diberitakan sebelumnya, sepanjang 2024 hingga 20 Juli lalu, Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mencatat, sebanyak 66 jenazah pekerja migran dikirim pulang ke NTT. Dari jumlah yang meninggal itu, 65 orang atau 98 persen pergi ke luar negeri secara nonprosedural (Kompas.id, 25/7/2024).

Aktivis anti-perdagangan orang, Gabriel Goa, mengatakan, pemerintah tidak boleh menyerah dengan keadaan. ”Pemerintah punya sumber daya yang besar. Harus kreatif mencipta lapangan kerja dan memberdayakan masyarakat,” katanya. *** kompas.id



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama