Ucapan belasungkawa
spontan mengalir di media sosial Facebook dan aplikasi percakapan WhatsApp,
mengenang jasa awam Katolik yang dikenal sebagai komposer lagu-lagu
gereja itu.
Levi meninggal dalam
usia 76 tahun di kampung halamannya, Ende, Flores.
Nama Levi begitu akrab
di kalangan umat Katolik, berkat lagu-lagu ciptaannya yang sangat populer dan
terdapat pada sejumlah buku lagu Gereja Katolik.
Beberapa di antaranya
adalah Yubilate, Madah Bakti dan Syukur Kepada Bapa.
Salah satu buku lagu
gereja Exsultate yang terbit pada 1997 dan dicetak berulang kali khusus
berisi lagu-lagu gubahannya.
Levi menulis lagu-lagu
sesuai Masa Liturgi, yang kini banyak dinyanyikan kelompok koor, seperti pada
Natal dan selama Pekan Suci.
Ia juga dikenal pengagum
Bunda Maria, seperti tampak dalam lagu-lagunya Hymne Maria, Di Lourdes di Gua
dan Ave Maria yang dibukukan dalam panduan Doa Rosario.
Tak hanya lagu gereja,
Levi juga menjadi komposer untuk mars lembaga-lembaga, termasuk sekolah, kampus
dan lembaga pemerintah.
Guru yang Tegas
Levi adalah guru Bahasa
Inggris di SMA Syuradikara Ende yang dikelola para misionaris Serikat Sabda
Allah atau SVD, hingga ia pensiun pada 2008.
Di sekolah itu, ia
menciptakan lagu-lagunya, juga mengajari murid berlatih musik dan vokal.
Dalam sebuah pernyataan
pada 30 Juli di akun Facebook resmi, SMA Syuradikara menyatakan, dalam setiap
kesempatan latihan nyanyi atau hendak tampil bersama koor, Levi selalu
mengulang kalimat ini: Qui Bene Cantat, Bis Orat.
Ungkapan Bahasa Latin yang
berasal dari Pujangga Gereja St Agustinus itu berarti ‘Ia yang bernyanyi dengan
baik sama dengan berdoa dua kali.’”
Levi terkenal disiplin
dan kadang keras kepada murid-muridnya, agar mereka bisa berkembang.
Cerita Makarius
Paskalis Baut, seorang penyanyi lagu daerah Manggarai yang menjadi murid Levi
pada 1984-1986 jadi contoh menarik tentang ini.
Ia berkata kepada Floresa,
Levi yang mengenal bakat musiknya mewajibkan dia menguasai alat musik saxophon
dansuling serta wajib ikut paduan suara.
Ia menentang Levi kala
itu, terutama untuk bisa menguasai saxophone “yang sangat sulit” dan latihannya
menggunakan setiap jam istirahat sekolah.
“Saya harus ke
ruangannya untuk latihan, sementara teman-teman saya asyik bermain, Empat bulan
saya harus melakukan hal tersebut,” katanya.
Suatu ketika, kata
Paskalis, ada kegiatan pekan olahraga dan seni di Kabupaten Ende dan ia memilih
tim sepak bola.
“Pada saat saya ikut
latihan tim inti sepak bola, dari luar lapangan ia teriak memanggilsaya dan
meminta segera bergabung dengan tim grup vokal,” kenangnya.
“Masih dengan sepatu
bola dan pakaian olahraga, saya terpaksa bergabung dengan tim grup vokal.”
Paskalis memang tidak
suka dengan cara Levi itu, hingga ia memilih pindah ke sekolah di Ruteng pada
tahun terakhir SMA.
Namun, ketika pada
1994, bersama grup musik Lalong Liba berhasil menerbitkan album pertama lagu
daerah Manggarai, ia merasa hal itu jadi mungkin karena Levi.
“Ilmu Ferdy Levi yang
saya gunakan sehingga saya bisa melahirkan karya sederhana itu,” kata Paskalis,
yang kini juga berprofesi sebagai pengacara.
Lagu-lagunya Mudah Dinyanyikan
Banyak di antara
lagu-lagu Levi begitu popular di kalangan orang Katolik, salah satunya karena
mudah dinyanyikan, sebagaimana pengakuan Elfridus Ngabur, yang sering menjadi
dirigen kelompok paduan suara.
Elfridus sering
menggunakan lagu-lagu Levi, baik saat masih bekerja di Jakarta dan memimpin
kelompok koor di sekolah dan paroki, maupun saat kini kembali ke kampung
halamannya di Manggarai dan mengajar di SMP Negeri 6 Satar Mese Langke Majok,
Kecamatan Satar Mese.
“Saya mulai mengenal
lagu-lagu karangan Ferdy Levi sejak sekolah dasar, terutama dari buku Exultate
milik orang tua saya,” katanya kepada Floresa.
“Sekarang pun saya
sering memakai karya-karya beliau pada momen Natal, Paskah, ataupun Misa Komuni
Pertama,” tambahnya.
Ia berkata, gubahan
lagu Levi sederhana dan memiliki irama khas Flores “sehingga masih sangat
favorit untuk dibawakan orang-orang tua.”
Ia menambahkan, “hal
yang paling unik dari karya Levi adalah lagu-lagu gereja yang memiliki ritmik
khusus kedaerahan, misalnya Gaya Ende Lio, Gaya Timor dan Gaya Manggarai.”
Bagi Elfridus, kendati
Levi sudah meninggal, “lagu-lagu ini tidak akan usang karena dalam misa-misa
tematik pasti akan selalu dinyanyikan.”
Gregorius Djakos,
alumnus SMA Syuradikara yang kini berdomisili di Bogor, Jawa Barat berkata,
“sebagai salah satu siswa beliau saya kadang bangga kalau dalam beberapa Misa
di paroki kami, lagu ciptaan Pak Levi dinyanyikan.”
“Spontan saya bilang ke
umat yang lain kalau itu lagu ciptaan guru SMA saya,” katanya.
Ia sepakat dengan
sebutan maestro untuk Levi karena kepiawaiannya menulis lagu.
“Pak Levi kalau mengajar
bahasa Inggris paling banyak kasih soal ujian. Selama kami mengerjakan soal, ia
menulis lagu-lagu sambil berdengung, kemudian tulis syair dan isi nadanya.
Selesai kami kerjakan soal bahasa Inggris, jadi juga lagu ciptaan Pak Levi,”
kenang Gregorius yang sekolah di Syuradikara pada 1991-1994.
“Itulah kenapa Pak Levi
dikenal sebagai maestro musik gereja, dalam sehari saat jam sekolah ia bisa
menciptakan lima lagu,” katanya.
Menyentuh Hati Banyak Orang
Bruder Kristianus
Riberu, SVD, Kepala SMA Syuradikara menggambarkan warisan karya Levi “selalu
memiliki sentuhan spiritual yang mampu menyentuh hati banyak orang.”
Dalam sebuah
artikel mengenang Levi, ia menyebut maestro itu “menunjukkan bahwa musik
dapat menjadi sarana yang kuat untuk menghubungkan manusia dengan yang Ilahi.”
“Warisannya akan terus
hidup dalam setiap nada yang dimainkan, dalam setiap lagu yang dinyanyikan, dan
dalam setiap hati yang telah beliau sentuh dengan karya dan ajarannya,”
katanya.
Ia menyebut Levi
“teladan sejati tentang bagaimana seni dan dedikasi dapat berperan dalam
memperkaya kehidupan rohani dan membangun komunitas yang lebih baik.”
“Banyak murid yang
telah dibimbingnya menjadi musisi andal dan pengajar yang kompeten, meneruskan
warisan musik liturgi yang telah beliau bangun dengan susah payah,” kata
Kristianus. *** floresa.co