Melalui pendidikan,
nilai-nilai empati dapat ditanamkan sejak dini melalui kurikulum yang
mengintegrasikan pelajaran tentang keberagaman, toleransi, dan kerjasama.
Dengan membangun budaya empati, siswa tidak hanya belajar menghargai perbedaan,
tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan
baik. Ini, pada giliran, menghasilkan iklim sekolah yang mendukung pertumbuhan
akademis dan emosional setiap individu.
Dalam kenyataan,
kebencian terhadap sesama potensial dapat merusak tatanan harmoni persatuan
suatu bangsa. Dalam banyak segi, orang lebih mudah membenci, menceritakan
kejelekan orang lain, menggosip, dan bahkan aktif menciptakan hoaks serta
ujaran kebencian. Media sosial dan platform digital lainnya sering kali menjadi
tempat di mana perilaku semacam itu berkembang pesat.
Adat sopan santun
sering kali dilawan dan dianggap kurang liberal serta terkesan feodalis.
Kenyataan demikian juga diperparah karena hadir di layar HP atau laptop
masing-masing individu secara virtual, dan potensial menciptakan lingkungan
kebencian digital dan prasangka negatif.
Dalam konteks
pendidikan, fenomena tersebut menimbulkan tantangan besar. Pendidikan tidak
hanya bertugas memberikan pengetahuan akademis, tetapi juga membentuk karakter
dan nilai-nilai moral peserta didik.
Ketika kebencian dan
hoaks menyebar luas, pendidikan harus berperan aktif dalam menangkal dampak
negatifnya. Sekolah diharapkan menjadi tempat di mana budaya empati dan
toleransi diajarkan dan diterapkan. Melalui kurikulum yang mengajarkan
nilai-nilai kemanusiaan, siswa dapat belajar menghargai perbedaan dan
mengembangkan rasa hormat terhadap orang lain.
Banyak hal yang dapat
dilakukan untuk mewujudkan budaya empati mulai dari lingkungan sekolah hingga
meluas ke masyarakat secara lokal maupun nasional. Misalnya, program-program
pendidikan karakter yang berfokus pada pengembangan empati dan keterampilan
sosial perlu diperkuat.
Selain itu,
keterlibatan orang tua dan komunitas dalam proses pendidikan juga sangat
penting. Melalui kerja sama yang erat antara sekolah, orang tua, dan
masyarakat, nilai-nilai positif dapat ditanamkan lebih efektif dan
berkelanjutan.
Pada akhirnya,
pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga persatuan dan mencegah
penyebaran kebencian. Dengan membangun generasi yang memiliki empati tinggi dan
sikap toleran, para pendidik melalui profil alumni dapat menghasilkan
masyarakat lebih harmonis dan bersatu.
Peran pendidik,
kurikulum, serta dukungan dari seluruh komponen masyarakat sangat diperlukan
dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya menjadi
alat guna mencapai kesuksesan akademis, tetapi juga menjadi fondasi dalam
membangun persatuan dan kesatuan bangsa.
Di sekolah, melalui
pendidikan karakter, para murid dilatih menjadi peduli. Dan Zadra (dalam
Maxwell, 2014) pernah mengatakan “If you
want help, help others. If you want trust, trust others. If you want a great
team, be a great teammate.” Jika diterjemahkan bebas menjadi “Jika Anda
menginginkan bantuan, bantulah orang lain. Jika Anda menginginkan kepercayaan,
percayalah kepada orang lain. Jika Anda menginginkan tim hebat, jadilah rekan
setim yang juga hebat.” Dengan demikian, kepedulian dapat dimulai dari melihat
sekeliling dan mengenali apa yang perlu dibantu.
Misalnya, mungkin ada
teman dalam satu kelas yang belum sarapan, tampak sakit, atau kesulitan dalam
belajar. Dalam situasi seperti ini, siswa diajak untuk peduli dan membantu
sesama. Latihan kepedulian ini tidak hanya terbatas pada lingkungan kelas
tetapi juga meluas ke luar kelas dan lingkungan sekolah serta masyarakat
sekitar. Di sinilah para murid memiliki kesempatan menghidupkan daya empati,
peduli terhadap sesama secara lebih luas, dan menjadi agen perubahan positif di
masyarakat.
Jika daya empati ini
menguat, berbagai masalah sosial dapat diminimalisir. Tawuran antar sekolah
tidak perlu terjadi, kekerasan fisik maupun verbal akan berkurang, bahkan
menghilang. Ujaran kebencian di media sosial juga akan menjadi tidak populer
dan akan lenyap dengan sendirinya.
Dengan demikian,
pendidikan karakter yang menekankan kepedulian dan empati tidak hanya
bermanfaat bagi lingkungan sekolah tetapi juga berdampak positif bagi
masyarakat luas. Ketika siswa tumbuh dengan nilai-nilai ini, mereka akan
menjadi individu yang mampu menciptakan lingkungan harmonis dan mendukung
persatuan serta kesatuan dalam masyarakat.
Peran pendidik sangat
penting dalam menularkan budaya empati. Pendidik adalah figur keteladanan di
lingkungan sekolah. Mereka tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu
pengetahuan, tetapi juga sebagai pembentuk karakter dan kepribadian siswa.
Dengan menunjukkan sikap empati dalam interaksi sehari-hari, pendidik
memberikan contoh nyata tentang pentingnya memahami dan menghargai perasaan orang
lain.
Melalui berbagai
aktivitas dan program yang mengedepankan nilai-nilai empati, pendidik dapat
menciptakan lingkungan belajar harmonis dan mendukung perkembangan emosional
siswa. Seiring waktu, siswa diharapkan dapat meniru dan menerapkan sikap empati
ini dalam kehidupan mereka di luar sekolah, sehingga budaya empati semakin
meluas dan mengakar kuat dalam masyarakat.
Sebagai catatan akhir,
semoga guru bersama para murid dapat menghidupi budaya empati dan menghalau
kebencian dengan kasih persaudaraan. Apalagi sebagai warga negara, mendiami
bumi yang sama, orang per orang perlu menyadari bahwa meskipun berbeda dalam
banyak hal, tetap sama sebagai manusia.
Keberagaman adalah
kekayaan yang memperkaya kehidupan. Dengan saling berbagi empati, manusia dapat
menjaga harmoni dan memperkuat persatuan dalam perbedaan. Dengan adanya empati
dalam pendidikan, para pendidik telah turut serta membangun generasi muda peduli.
Empati adalah jembatan yang menghubungkan hati dan pikiran, menjadikan orang
lebih peka dan peduli terhadap sesama, serta menciptakan dunia lebih damai dan
penuh kasih.