Komnas Perempuan mengkategorikan kasus ini sebagai femisida
Suara Numbei News - Kecaman terhadap sistem peradilan Indonesia mencuat setelah hakim membebaskan putra anggota DPR RI asal NTT dalam kasus kematian pacarnya yang dikategorikan sebagai femisida oleh lembaga pemerhati perempuan korban kekerasan.
Komisi III DPR, yang
mengawasi masalah hukum dan hak asasi manusia, pada 29 Juli mendesak Komisi
Yudisial memeriksa tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani
kasus tersebut – Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
Para hakim membebaskan
Gregorius Ronald Tannur, 31 tahun pada 24 Juli dalam kasus yang menyebabkan
kematian pacarnya, Dini Sera Afrianti, 29 tahun.
Dini, ibu tunggal
dengan satu anak, meninggal pada 4 Oktober setelah terlibat cekcok bersama
Ronald di sebuah klub malam di Surabaya.
Dalam pertemuan pada 29
Juli yang dihadiri oleh keluarga Dini, DPR RI meminta Kejaksaan Agung
mengajukan kasasi dan mencekal Ronald agar tidak melarikan diri ke luar negeri.
Anggota dewan juga
meminta Badan Perlindungan Saksi dan Korban memberi perlindungan bagi keluarga
korban dan para saksi.
Bagaimana Polemik Vonis Kasus Ini?
Jaksa menggugat lebih
dari satu tindak pidana [dakwaaan alternatif] terhadap Ronald, dengan tuntutan
12 tahun penjara.
Dakwaan tersebut antara
lain dengan sengaja merampas nyawa orang lain, menganiaya yang menyebabkan
kematian dan kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal.
Namun, dalam putusan
yang dibacakan pada 24 Juli, majelis hakim menyatakan semua unsur dalam dakwaan
alternatif tersebut tidak terpenuhi, yang membuat “terdakwa dinyatakan bebas.”
Sekuen penting dari
peristiwa kematian Dini adalah percecokan dengan Ronald dalam lift dan area
parkir basemen Lenmarc Mall, Surabaya pada 4 Oktober dini hari.
Sebagaimana dalam
dokumen salinan putusan yang diakses Floresa, adu mulut terjadi
setelah Ronald dan Dini serta beberapa teman mereka berkaraoke sembari
menenggak minuman beralkohol di Blackhole KTV yang berada di dalam mal.
Di tengah-tengah adu
mulut, Dini sempat menampar Ronald. Sementara Ronald, mengacu pada
dakwaan jaksa, “mencekik leher korban sebagai balasan atas tamparan
sebelumnya.”
Ronald juga disebut
“menendang kaki kiri korban sehingga terjatuh dalam lift.”
Dini kemudian menarik
baju Ronald yang “membuat terdakwa memukul korban di bagian kepala menggunakan
botol berisi minuman berjenis tequila.”
Hakim dalam putusannya
menyatakan hal yang berbeda.
Merujuk pada keterangan
Ronald saat sidang, hakim menyebut “terdakwa mendorong dada korban untuk
menahannya tak menyerang kembali.”
Cekcok berlanjut ke
lantai dasar, tempat Ronald memarkir mobilnya. Keduanya mempersoalkan siapa
mulai memukul dalam lift, yang memicu pasangan itu kembali ke tempat karaoke.
Blackhole KTV memiliki
sistem CCTV. Ronald dan Dini sempat meminta rekamannya, namun pengelola menegaskan
rekaman itu merupakan kewenangan manajemen mal.
Ruangan manajemen
berada di area parkiran mal, yang dini hari itu sudah gelap, tanda tak ada
orang.
Ronald memutuskan
kembali ke tempat karaoke, selagi Dini menunggu di sisi mobilnya,
mengaplikasikan ponsel.
Di tempat karaoke,
Ronald kembali mendapat jawaban yang sama: rekaman CCTV bukan wewenang
pengelola Blackhole KTV. Ia lalu turun kembali ke parkiran.
Korban sedang duduk
selonjor di sisi kiri pintu depan mobil, menurut jaksa, ketika Ronald menempati
bangku pengemudi.
Ronald sempat bertanya
ke korban, “mau pulang atau tidak?” yang tak kunjung direspons.
“Terdakwa makin kesal,
lalu dengan sengaja langsung melajukan mobil ke arah kanan,” kata jaksa.
Padahal, “ia mengetahui posisi korban sedang bersandar di sebelah kiri mobil.”
Namun, dalam
putusannya, hakim menilai lain.
Merujuk pada CCTV dan
keterangan ahli keselamatan berkendara yang dihadirkan dalam sidang, hakim
menyimpulkan Dini berada “di luar dari alur mobil yang dikendarai terdakwa.”
Proses persidangan
turut menghadirkan barang bukti berupa visum et repertum – keterangan
tertulis yang dibuat dokter menyusul pemeriksaan medis terhadap seseorang untuk
kepentingan peradilan.
Hasil visum yang
dikeluarkan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo, Surabaya pada 13 Oktober 2023
itu menunjukkan korban mengalami lecet dan memar karena benda tumpul pada
kepala, telinga, dada, perut dan tungkai; memar pada paru-paru dan robek pada
hati.
Tim forensik rumah
sakit itu yang melakukan autopsi pada 4 Oktober 2023 juga menunjukkan robeknya
organ hati yang menyebabkan perdarahan mematikan.
Dari pemeriksaan
forensik, “kami menyimpulkan kematian disebabkan luka robek majemuk pada organ
hati akibat kekerasan benda tumpul,” kata dr. Renny Sumino, spesialis forensik
yang dihadirkan sebagai ahli.
Kecaman Luas
Kasus ini telah memicu
kecaman luas. Sejumlah pihak mencapnya sebagai bagian dari praktik hukum yang
tumpul terhadap mereka yang berkuasa.
Ronald adalah anak dari
Edward Tannur, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur 2 yang
meliputi Pulau Timor, Sumba, Alor, Rote dan Sabu. Edward, politisi Partai
Kebangkitan Bangsa, telah dipecat dari partainya dan dari status keanggotaan
DPR RI karena kasus ini.
Aktivis HAM dari
Lembaga Bantuan Hukum Surabaya menggelar aksi unjuk rasa pada 29 Juli di depan
Pengadilan Negeri Surabaya pada hari keluarga korban menemui DPR RI, lalau
melaporkan tiga hakim ke Komisi Yudisial.
Ujang Suherman, ayah
korban, mengatakan putusan itu “tidak masuk akal.”
“Semoga hukum
ditegakkan seadil-adilnya,” katanya.
Dimas Yemahura,
pengacara keluarga korban dari Lembaga Bantuan Hukum Damar Indonesia
mempertanyakan putusan hakim karena bukti-bukti menunjukkan korban meninggal
dunia setelah dianiaya.
“Ada bekas ban mobil
tersangka di lengan korban,” katanya.
Andi Irfan, dosen hukum
di Universitas Muhammadiyah Kupang yang berbicara kepada Floresa pada
30 Juli mengatakan, hakim memiliki kebebasan “untuk menentukan gradasi sanksi
pidana.”
Gradasi itu “bisa saja
sesuai tuntutan maksimal jaksa atau malah lebih rendah.”
Namun, bila terbit
putusan bebas atau vrijspraak, “tentu kita mempertanyakan dasar
pertimbangannya.”
“Apakah pasal yang
didakwakan jaksa tidak terbukti atau majelis hakim tidak yakin atas unsur
pasal-pasal yang didakwakan?” katanya.
Praktisi hukum
Siprianus Edi Hardum mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau
KUHAP mengatur bahwa hakim mestinya memvonis minimal dua pertiga dari tuntutan
jaksa karena Indonesia menganut sistem hukum civil law.
Hanya, kata dia,
“banyak putusan hakim yang justru di luar ketentuan KUHAP.”
“Belakangan ini
Indonesia sudah menganut sistem hukum prismatik,” yang mengandung tiga tujuan
utama, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Melihat tiga fungsi
itu, “hakim dituntut untuk menemukan hukum.”
“Bisa saja hakim
memutus di luar ketentuan undang-undang, kalau menurut dia itu tidak adil,”
kata Edy.
Sistem prismatis ini,
katanya, “dapat menjadi tameng bagi hakim untuk mengeluarkan amar yang
melanggar hukum.”
Andi menyatakan,
pascavonis bebas terhadap Ronald, “jaksa dapat mengajukan kasasi.”
Ia juga sepakat
“majelis hakim yang mengadili perkara itu dapat diadukan ke Komisi Yudisial”
bila terbukti ada kejanggalan dalam putusan.
Di sisi lain Edi
pesimistis soal pengaduan ke Komisi Yudisial.
“Sialnya sekarang,
keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa menjamah substansi putusan hakim” karena
“mereka hanya mengurus tataran etik.”
Karena itulah, kata
Edi, komisi itu “sebaiknya dirubuhkan saja gedungnya.”
“Percuma ada, kalau
masih banyak hakim yang curang dalam amarnya,” katanya.
Komnas Perempuan: Ini Femisida
Bagi Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] putusan bebas Ronald
“telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban dan keluarganya.”
Kasus ini juga “menjadi
catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan serta
meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas, namun tajam ke bawah,” kata
lembaga itu.
Komisioner Tiasri
Wiandani berkata, upaya Ronald menolong korban, – yang menjadi salah alasan
hakim membebaskan Ronald – “bukan berarti menghilangkan fakta terdakwa
melakukan penganiayaan.”
“Bahkan seharusnya
dapat dilihat upaya pertolongan yang dilakukan terdakwa terlambat atau lalai
yang menyebabkan korban tewas,” katanya.
Merujuk sejumlah
tindakan penganiayaan oleh Ronald sebagaimana dalam dakwaan, Komnas Perempuan
mengkategorikan kasus ini sebagai femisida.
Istilah itu merujuk
pada pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena ia perempuan,
dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku.
Komnas Perempuan
mencatat 159 kasus dengan indikator femisida pada tahun lalu. Jumlah tertinggi
adalah pembunuhan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan
kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.
Komisioner lainnya,
Siti Aminah Tardi memberi catatan bahwa sistem hukum di Indonesia belum
mengatur femisida sebagai tindak pidana sendiri.
Namun, kata dia, hal
itu dapat “dijangkau dengan pasal-pasal pembunuhan berencana, pembunuhan,
penganiayaan yang menyebabkan kematian dan kelalaian yang menyebabkan
kematian.” *** floresa.co