Eks Menko Polhukam Mahfud MD ditemui di Fakultas Hukum UGM, Rabu (31/7/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan |
Hal tersebut disampaikan Mahfud merespons adanya
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Pilkada.
Sebagai catatan, DPR langsung membahas revisi UU
Pilkada. Namun, pembahasan tersebut tidak mengindahkan putusan MK tersebut.
Bahkan hari ini, dengan pembahasan kilat, RUU Pilkada tersebut akan disahkan
langsung di sidang paripurna.
"Yth. Pimpinan Parpol dan para anggota DPR.
Putusan MK adalah tafsir resmi konstitusi yang setingkat UU. Berpolitik dan
bersiasat untuk mendapat bagian dalam kekuasaan itu boleh dan itu memang bagian
dari tujuan kita membangun negara merdeka," kata Mahfud di X, Kamis
(22/8).
"Tetapi ada prinsip demokrasi dan konstitusi
yang mengatur permainan politik," sambung mantan Ketua MK itu.
Menurut Mahfud, akan bahaya jika bagi-bagi kue
kekuasaan itu dilakukan dengan melanggar konstitusi.
"Adalah sangat berbahaya bagi masa depan
Indonesia jika melalui demokrasi prosedural (konspirasi dengan menang-menangan
jumlah kekuatan hanya dengan koalisi taktis) siapa pun merebut kue-kue
kekuasaan dengan melanggar konstitusi," ucapnya.
"Silakan ambil dan bagi-bagi kue kekuasaan.
Sesuai konstitusi Anda berhak melakukan dan mendapat itu. Tetapi tetaplah dalam
koridor konstitusi agar Indonesia selamat. Berbuatlah tapi 'Jangan pernah lelah
mencintai Indonesia'," pungkasnya.
Seputar RUU
Pilkada
Sebelumnya, Baleg menyepakati bahwa RUU Pilkada
tetap mengacu pada putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok MA pada 29 Mei
2024. Putusan menyatakan bahwa syarat minimum kepala daerah dihitung ketika
pelantikan.
Aturan ini dikaitkan dengan pencalonan putra bungsu
Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju pilgub. Sebab umurnya akan cukup
sebagai syarat maju pemilihan gubernur apabila 30 tahun ketika dilantik.
Padahal, ada pertimbangan MK yang menyatakan bahwa
syarat tersebut berlaku pada saat pencalonan. MK bahkan menegaskan bahwa pertimbangan
itu mengikat. Namun Baleg DPR lebih memilih untuk merujuk pada putusan MA.
Sementara terkait ambang batas parpol mencalonkan
kepala daerah, DPR kemudian kembali 'menghidupkan' pasal yang sudah diubah MK.
RUU Pilkada yang disepakati DPR diatur bahwa
ketentuan parpol yang mempunyai kursi DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah
adalah paling sedikit 20% dari kursi DPRD atau 25% dari suara sah pileg di
daerah yang bersangkutan. Sementara bagi parpol yang tidak memiliki kursi DPRD
mengacu berdasarkan suara sah di daerah tersebut.
Padahal, MK sudah menganulir soal ketentuan yang
mengacu pada kursi DPRD. Sehingga yang diberlakukan oleh MK adalah berdasarkan
suara sah di daerah terkait.