Namun, meski sudah
berjalan lebih dari dua dekade, ancaman terhadap demokrasi tidak pernah
benar-benar hilang. Salah satu ancaman terbesar yang kini muncul adalah
fenomena politik dinasti yang merambah hingga ke puncak kekuasaan.
Politik dinasti dan
dinasti politik, bukanlah hal baru di Indonesia. Banyak keluarga politik di
daerah dan pusat yang memiliki pengaruh besar, meneruskan kekuasaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Namun, ketika politik dinasti ini merambah
hingga ke lingkaran presiden, dampaknya menjadi jauh lebih luas dan berbahaya.
Presiden Joko Widodo,
yang sebelumnya dipandang sebagai pemimpin dengan latar belakang rakyat biasa
dan bukan dari elite politik, kini menghadapi tudingan serius terkait politik
dinasti. Anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, berhasil memenangkan pemilihan
wali kota Solo pada 2020 dan menjadi Wapres terpilih di Pemilu 2024.
Menantunya, Bobby Nasution, memenangkan pemilihan wali kota Medan di tahun yang
sama dan kini maju menjadi calon Gubernur Sumatera Utara.
Keduanya mendulang
"Jokowi effect", yang secara otomatis memberikan keuntungan besar
dalam proses elektoral. Kini, putra bungsunya, Kaesang Pangarep, juga
digadang-gadang akan maju ke dalam Pilkada dan dituding banyak pihak menggunakan
tangan-tangan kekuasaan untuk mengintervensi aturan hukum agar bisa lolos dalam
pencalonan.
Kemenangan Gibran dan
Bobby, serta majunya Kaesang, menandai awal dari kekhawatiran yang lebih luas
tentang politik dinasti di Indonesia. Meskipun tidak ada yang melarang secara
hukum anak atau menantu seorang presiden untuk maju dalam pemilihan, fenomena
ini menimbulkan pertanyaan etis tentang demokrasi dan kesetaraan kesempatan
dalam politik kita.
"Raja Jawa" dan Suramnya Demokrasi Kita
Sebutan "Raja
Jawa" yang sering disematkan kepada Jokowi dan keluarganya juga memperkuat
kekhawatiran ini. Sebutan ini, terakhir disampaikan oleh Ketua Umum (Ketum)
Golkar terpilih, Bahlil Lahadalia, dalam Munas Ke-11 Partai Golkar yang memilihnya
sebagai ketua umum secara aklamasi (21/08/24). Munculnya “gelar” atau sebutan
semacam ini, menunjukkan bahwa mentalitas feodal masih kental di dalam politik
Indonesia.
Sejarah Jawa penuh
dengan cerita tentang raja-raja yang memerintah dengan tangan besi dan
mewariskan kekuasaan kepada keturunannya. Pulau Jawa, terutama wilayah Mataram
yang meliputi Yogyakarta dan Surakarta, memang memiliki sejarah panjang
mengenai kerajaan-kerajaan yang berkuasa dan dinasti yang kuat.
Meskipun Indonesia
telah menjadi negara demokrasi, narasi ini tampaknya masih hidup dalam
imajinasi banyak orang. Ketika seorang presiden yang berasal dari Jawa terlibat
dalam politik dinasti, perbandingan dengan raja-raja Jawa masa lalu menjadi
tidak terelakkan.
Sebutan "Raja
Jawa" ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kekuasaan dilihat
dan dipraktikkan di Indonesia.
Fenomena politik
dinasti di keluarga ini Jokowi bukan hanya masalah etika politik, tetapi juga
menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran. Demokrasi
seharusnya menjadi sistem yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang
untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun, ketika kekuasaan terkonsentrasi
di tangan sekelompok kecil keluarga, nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan,
keadilan, dan representasi menjadi terganggu.
Lebih dari itu, politik
dinasti juga mencerminkan bahwa elitisme masih menjadi bagian integral dari
politik Indonesia. Keluarga-keluarga yang kuat secara politik memiliki akses
yang lebih besar terhadap sumber daya, jaringan, dan media, yang semuanya bisa
dimanfaatkan untuk memenangkan pemilihan. Sementara itu, calon-calon independen
atau dari keluarga biasa harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan
dan dukungan.
Politik dinasti juga
berpotensi melemahkan kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam
sistem demokrasi. Ketika keluarga-keluarga tertentu mendominasi politik, mereka
dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mengontrol lembaga-lembaga penting,
termasuk parlemen, pengadilan, dan media. Hal ini dapat mengarah pada
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kebijakan-kebijakan yang tidak
menguntungkan rakyat banyak.
#KawalKeputusanMK
Di tengah kekhawatiran
tentang politik dinasti dan suramnya demokrasi kita, media sosial memainkan
peran penting-bahkan menjadi harapan terakhir-dalam mengawasi dan mengawal
keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi masa depan demokrasi Indonesia.
Fenomena terbaru adalah
trendingnya tagar #kawalkeputusanMK di media sosial X (sebelumnya dikenal
sebagai Twitter) Indonesia. Tagar ini muncul sebagai respons publik terhadap
kekhawatiran bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali kota menjadi UU terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
akan diabaikan bahkan tidak dipatuhi oleh DPR RI.
Gerakan
#kawalkeputusanMK mencerminkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam
proses politik, serta keinginan untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan
dengan adil dan transparan. Tagar ini menjadi sarana bagi warga negara untuk
menyuarakan pendapat dan mendesak transparansi dalam proses hukum dan politik
yang dituding telah dikangkangi oleh kekuasaan.
Fenomena ini
menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan yang signifikan, masih ada harapan
bagi demokrasi Indonesia. Peran aktif masyarakat melalui media sosial dapat
menjadi kekuatan penyeimbang terhadap dominasi elite politik dan dinasti yang
berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi.
Dengan mengawal
keputusan-keputusan penting dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin,
masyarakat Indonesia memiliki kekuatan untuk mempertahankan dan memperkuat
demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak era Reformasi.
Demokrasi adalah milik
kita semua, dan kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal dan
memperjuangkannya, termasuk dengan memanfaatkan platform digital yang tersedia.
Dukungan publik melalui tagar seperti #kawalkeputusanMK menjadi bukti nyata
bahwa masyarakat tidak tinggal diam, tetapi aktif terlibat dalam menjaga masa
depan demokrasi Indonesia.
Lebih jauh, kita harus
lebih kritis dalam memilih pemimpin, tidak hanya berdasarkan nama besar atau
hubungan keluarga, tetapi juga berdasarkan kapasitas, rekam jejak, dan komitmen
mereka terhadap kepentingan rakyat. Pemilu dan Pilkada bukanlah soal memilih
sosok "raja" baru, tetapi soal memilih pelayan publik yang terbaik!
Untuk menjaga dan
memperkuat demokrasi, kita perlu memperkuat institusi demokrasi, mereformasi
partai politik, meningkatkan pendidikan politik, dan menjadi pemilih yang lebih
kritis. Indonesia tidak boleh kembali ke masa lalu, di mana kekuasaan hanya
menjadi milik segelintir keluarga. Demokrasi kita harus terus diperjuangkan
agar tetap menjadi sistem yang inklusif, adil, dan mewakili seluruh rakyat, bukan
hanya segelintir kroni dan keluarga.
Jika kita gagal
menghadapi tantangan politik dinasti ini, masa depan demokrasi Indonesia akan
makin suram, dan kita akan kehilangan apa yang telah diperjuangkan dengan
begitu keras sejak Reformasi 1998.