“Raja Jawa”, Politik Dinasti, dan Suramnya Demokrasi Kita (Rintihan Hati Akar Rumput)

“Raja Jawa”, Politik Dinasti, dan Suramnya Demokrasi Kita (Rintihan Hati Akar Rumput)



Suara Numbei News - Sebagai negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia seringkali dibanggakan sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Sejak Reformasi 1998, negara ini telah berusaha keras untuk meninggalkan era otoritarianisme Orde Baru dan membangun fondasi demokrasi yang kuat.

Namun, meski sudah berjalan lebih dari dua dekade, ancaman terhadap demokrasi tidak pernah benar-benar hilang. Salah satu ancaman terbesar yang kini muncul adalah fenomena politik dinasti yang merambah hingga ke puncak kekuasaan.

Politik dinasti dan dinasti politik, bukanlah hal baru di Indonesia. Banyak keluarga politik di daerah dan pusat yang memiliki pengaruh besar, meneruskan kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, ketika politik dinasti ini merambah hingga ke lingkaran presiden, dampaknya menjadi jauh lebih luas dan berbahaya.

Presiden Joko Widodo, yang sebelumnya dipandang sebagai pemimpin dengan latar belakang rakyat biasa dan bukan dari elite politik, kini menghadapi tudingan serius terkait politik dinasti. Anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, berhasil memenangkan pemilihan wali kota Solo pada 2020 dan menjadi Wapres terpilih di Pemilu 2024. Menantunya, Bobby Nasution, memenangkan pemilihan wali kota Medan di tahun yang sama dan kini maju menjadi calon Gubernur Sumatera Utara.

Keduanya mendulang "Jokowi effect", yang secara otomatis memberikan keuntungan besar dalam proses elektoral. Kini, putra bungsunya, Kaesang Pangarep, juga digadang-gadang akan maju ke dalam Pilkada dan dituding banyak pihak menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk mengintervensi aturan hukum agar bisa lolos dalam pencalonan.

Kemenangan Gibran dan Bobby, serta majunya Kaesang, menandai awal dari kekhawatiran yang lebih luas tentang politik dinasti di Indonesia. Meskipun tidak ada yang melarang secara hukum anak atau menantu seorang presiden untuk maju dalam pemilihan, fenomena ini menimbulkan pertanyaan etis tentang demokrasi dan kesetaraan kesempatan dalam politik kita.

"Raja Jawa" dan Suramnya Demokrasi Kita

Sebutan "Raja Jawa" yang sering disematkan kepada Jokowi dan keluarganya juga memperkuat kekhawatiran ini. Sebutan ini, terakhir disampaikan oleh Ketua Umum (Ketum) Golkar terpilih, Bahlil Lahadalia, dalam Munas Ke-11 Partai Golkar yang memilihnya sebagai ketua umum secara aklamasi (21/08/24). Munculnya “gelar” atau sebutan semacam ini, menunjukkan bahwa mentalitas feodal masih kental di dalam politik Indonesia.

Sejarah Jawa penuh dengan cerita tentang raja-raja yang memerintah dengan tangan besi dan mewariskan kekuasaan kepada keturunannya. Pulau Jawa, terutama wilayah Mataram yang meliputi Yogyakarta dan Surakarta, memang memiliki sejarah panjang mengenai kerajaan-kerajaan yang berkuasa dan dinasti yang kuat.

Meskipun Indonesia telah menjadi negara demokrasi, narasi ini tampaknya masih hidup dalam imajinasi banyak orang. Ketika seorang presiden yang berasal dari Jawa terlibat dalam politik dinasti, perbandingan dengan raja-raja Jawa masa lalu menjadi tidak terelakkan.

Sebutan "Raja Jawa" ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kekuasaan dilihat dan dipraktikkan di Indonesia.

Fenomena politik dinasti di keluarga ini Jokowi bukan hanya masalah etika politik, tetapi juga menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran. Demokrasi seharusnya menjadi sistem yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun, ketika kekuasaan terkonsentrasi di tangan sekelompok kecil keluarga, nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, keadilan, dan representasi menjadi terganggu.

Lebih dari itu, politik dinasti juga mencerminkan bahwa elitisme masih menjadi bagian integral dari politik Indonesia. Keluarga-keluarga yang kuat secara politik memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya, jaringan, dan media, yang semuanya bisa dimanfaatkan untuk memenangkan pemilihan. Sementara itu, calon-calon independen atau dari keluarga biasa harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan.

Politik dinasti juga berpotensi melemahkan kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam sistem demokrasi. Ketika keluarga-keluarga tertentu mendominasi politik, mereka dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mengontrol lembaga-lembaga penting, termasuk parlemen, pengadilan, dan media. Hal ini dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat banyak.

#KawalKeputusanMK

Di tengah kekhawatiran tentang politik dinasti dan suramnya demokrasi kita, media sosial memainkan peran penting-bahkan menjadi harapan terakhir-dalam mengawasi dan mengawal keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi masa depan demokrasi Indonesia.

Fenomena terbaru adalah trendingnya tagar #kawalkeputusanMK di media sosial X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) Indonesia. Tagar ini muncul sebagai respons publik terhadap kekhawatiran bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota menjadi UU terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, akan diabaikan bahkan tidak dipatuhi oleh DPR RI.

Gerakan #kawalkeputusanMK mencerminkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, serta keinginan untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan dengan adil dan transparan. Tagar ini menjadi sarana bagi warga negara untuk menyuarakan pendapat dan mendesak transparansi dalam proses hukum dan politik yang dituding telah dikangkangi oleh kekuasaan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan yang signifikan, masih ada harapan bagi demokrasi Indonesia. Peran aktif masyarakat melalui media sosial dapat menjadi kekuatan penyeimbang terhadap dominasi elite politik dan dinasti yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi.

Dengan mengawal keputusan-keputusan penting dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin, masyarakat Indonesia memiliki kekuatan untuk mempertahankan dan memperkuat demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak era Reformasi.

Demokrasi adalah milik kita semua, dan kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal dan memperjuangkannya, termasuk dengan memanfaatkan platform digital yang tersedia. Dukungan publik melalui tagar seperti #kawalkeputusanMK menjadi bukti nyata bahwa masyarakat tidak tinggal diam, tetapi aktif terlibat dalam menjaga masa depan demokrasi Indonesia.

Lebih jauh, kita harus lebih kritis dalam memilih pemimpin, tidak hanya berdasarkan nama besar atau hubungan keluarga, tetapi juga berdasarkan kapasitas, rekam jejak, dan komitmen mereka terhadap kepentingan rakyat. Pemilu dan Pilkada bukanlah soal memilih sosok "raja" baru, tetapi soal memilih pelayan publik yang terbaik!

Untuk menjaga dan memperkuat demokrasi, kita perlu memperkuat institusi demokrasi, mereformasi partai politik, meningkatkan pendidikan politik, dan menjadi pemilih yang lebih kritis. Indonesia tidak boleh kembali ke masa lalu, di mana kekuasaan hanya menjadi milik segelintir keluarga. Demokrasi kita harus terus diperjuangkan agar tetap menjadi sistem yang inklusif, adil, dan mewakili seluruh rakyat, bukan hanya segelintir kroni dan keluarga.

Jika kita gagal menghadapi tantangan politik dinasti ini, masa depan demokrasi Indonesia akan makin suram, dan kita akan kehilangan apa yang telah diperjuangkan dengan begitu keras sejak Reformasi 1998.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama