Sebagian pihak
mempertanyakan dampak naturalisasi terhadap pemain lokal. Sebagian yang lain
mengangkat isu tentang pembinaan talenta lokal, serta soal kaitan antara
naturalisasi terhadap martabat dan harga diri bangsa. Dan secara umum, diskusi
bermuara pada status keindonesiaan mereka.
Para pihak yang kontra
masih melihat sisi-sisi “asing” dalam diri pemain naturalisasi, sementara pihak
yang pro cenderung sudah mengabaikan itu. Mereka melihat para pemain
naturalisasi sudah “sah” dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia, meskipun
sebelumnya mereka adalah bagian dari bangsa asing.
Diskusi mengenai
kewarganegaraan ini ke depan akan semakin sering terjadi. Bahkan diskusinya
akan berlangsung semakin intens serta serius. Hal demikian terjadi proses
globalisasi yang semakin nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari
masyarakat.
Bila dua hingga tiga
dekade lalu globalisasi masih merupakan “dunia” yang abstrak, seperti dalam
cerita fantasi, hari ini globalisasi adalah dunia yang nyata dan dapat kita
rasakan secara langsung. Globalisasi memfasilitasi masyarakat untuk melakukan
mobilitas secara global, juga untuk berpindah kewarganegaraan. Ini yang
menyebabkan polemik seputar isu kebangsaan dan kewarganegaraan akan kerap
terjadi.
Isu tentang warga
negara naturalisasi hanya salah satu isu yang mengemuka. Isu lain seperti
lingkungan dan perubahan iklim, keadilan sosial dan ketimpangan ekonomi, serta
perdamaian global juga akan semakin banyak mendapat perhatian. Termasuk juga
isu identitas budaya dan nasional, dampak perkembangan teknologi, dan keamanan
global.
Terkait dengan
naturalisasi pemain bola di Indonesia, terlihat bahwa saat ini mayoritas
masyarakat Indonesia sangat mendukung naturalisasi mereka. Arus dukungan publik
tersebut dapat menggambarkan kondisi psikososial kolektif masyarakat Indonesia
yang telah bergeser. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Dukungan masyarakat
terhadap pemain naturalisasi itu menunjukan bahwa saat ini masyarakat cenderung
tidak lagi mempertimbangan aspek keaslian atau kepribumian dalam identitas
nasional keindonesiaan. Mereka relatif terbuka atau menerima kehadiran orang asing,
terutama ketika orang asing tersebut mereka anggap dapat berkontribusi terhadap
bangsa Indonesia.
Kondisi ini sangat
berbeda dengan yang terjadi satu hingga dua dekade lalu. Yang mana publik
sangat sensitif terhadap aspek keaslian atau kepribumian dalam identitas
keindonesiaan. Mereka menganggap Indonesia adalah orang pribumi yang merupakan
keturunan orang Indonesia, serta lahir dan besar di Indonesia. Sekilas, saat
itu, terlihat ada ketakutan pada masyarakat terhadap entitas asing dalam
identitas nasional keindonesiaan.
Bahkan, sebagai respons
terhadap hal itu, beberapa tokoh publik sampai berusaha mengkonter klaim
keindonesiaan model demikian dengan mengurai susunan DNA masyarakat Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya merupakan keturunan atau
berasal dari campuran berbagai bangsa di Asia, Eropa, hingga Afrika, yang
membentuk keragaman etnis dan budaya di nusantara.
Sementara hari ini,
publik terlihat justru sangat mendukung identitas keindonesian yang lebih terbuka
dan inklusif. Mereka terlihat tidak lagi merasa takut terhadap kehadiran
entitas yang berbau asing dalam identitas keindonesiaan, dan justru merasa
senang dan mendukung.
Pergeseran sikap
masyarakat tersebut salah satunya terjadi karena desensitiasi afektif.
Desentisiasi adalah proses dimana seseorang secara perlahan berkurang kepekaan
emosionalnya terhadap suatu stimulus atau isu tertentu karena paparan berulang.
Masyarakat menjadi kurang peka terhadap berbagai hal yang berbau asing.
Konsep desensitiasasi
ini umumnya digunakan untuk menjelaskan atau melakukan intervensi terhadap
masalah psikologis tertentu, seperti fobia, ketakutan, atau gangguan kesehatan
mental lainnya. Misalnya, desentisasi dilakukan dengan cara menghadirkan objek
atau sumber fobia terhadap seorang secara bertahap dan berulang dalam kondisi
tidak mengancam. Seiring berjalannya waktu, tingkat fobia orang tersebut akan
berkurang secara perlahan, sebelum akhirnya hilang sama sekali.
Konsep desensitiasi ini
memang jarang digunakan untuk menjelaskan perilaku psikososial kolektif.
Meskipun sebenarnya ia banyak fenomena sosial di masyarakat yang dapat
dijelaskan dengan konsep ini. Apalagi, saat ini orang cenderung terpapar oleh
sebuah informasi secara intens dan berulang melalui internet atau media sosial.
Terkait perubahan
afeksi dan sikap masyarakat terhadap bangsa asing terjadi karena orang terpapar
secara bertahap dan berulang oleh berbagai hal yang sebelumnya mereka anggap
sebagai representasi bangsa asing.
Sebelum ada internet
dan media sosial, dulu, masyarakat di berbagai belahan dunia hidup dalam sekat
geografis dan informasi. Kita jarang berinteraksi dengan bangsa asing termasuk
berbagai simbol atau informasi yang merepresentasikannya. Pengenalan kita
terhadap bangsa lain umumnya didasarkan pada pengetahuan yang dikonstruksi oleh
media massa, atau melalui pemerintah melalui buku teks pelajaran di sekolah
atau melalui berbagai narasi yang diproduksi aparatus birokrasi.
Sekat geografis,
komunikasi yang terbatas, dan indoktrinasi tersebut cenderung menggiring
masyarakat untuk membangun citra tertentu tentang bangsanya sendiri dalam
kaitannya dengan bangsa luar atau bangsa asing. Kita kerap membayangkan bangsa
asing adalah entitas berbahaya dan mengancam. Selain itu, mereka juga kita
bayangkan memiliki sejumlah karakter buruk, yang potensial mengancam eksistensi
kita sebagai bangsa.
Dengan narasi demikian
kita memiliki emosi tertentu, yang umumnya negatif, ketika terpapar berbagai
stimulus berbau asing. Bagi bangsa Indonesia, sentimen anti asing tersebut
dapat mengerucut pada bangsa-bangsa yang dulu pernah menjajah Indonesia,
khususnya bangsa Belanda, dan bangsa lain yang dianggap merugikan Indonesia.
Kemudian, dalam satu
dekade terakhir, publik secara intens terpapar oleh berbagai informasi atau
artefak lain yang berbau asing. Bahkan kita dapat berinteraksi dengan orang
asing secara intens. Dan pandemi Covid-19 semakin mengintensifkan paparan
terhadap berbagai hal yang bernuansa asing tersebut.
Persinggungan yang
intens dengan beragam hal yang berbau asing ini secara perlahan menggeser
sentimen afektif masyarakat. Mereka tidak lagi merasakan “yang asing” tersebut
sebagai “yang asing”, tetapi sebagai hal yang biasa dan sudah terasa menjadi
bagian dari dirinya. Pergeseran afeksi ini juga dibarengi dengan pergeseran
kognisi masyarakat, yang mana mereka mengalami “yang asing” ini tidak sekedar
berdasarkan stereotip dengan informasi terbatas, namun berdasarkan pemahaman
yang mendalam.
Pergeseran dalam
perasaan dan pemahaman mengenai “bangsa asing” ini yang saya duga menjadikan
masyarakat kini lebih mendukung pemain sepak bola naturalisasi dibanding pada
masa sebelumnya. Dan dukungan pada entitas “asing” ini tidak hanya terjadi di
dunia sepak bola, namun juga terjadi pada objek atau bidang lainnya. Secara
umum, kini, publik lebih terbuka terhadap berbagai hal yang berbau asing.
Tentu keterbukaan pada
berbagai hal yang berbau asing tersebut ada plus dan minusnya. Keterbukaan
tersebut memungkinkan masyarakat untuk lebih cepat menyerap dan beradaptasi
dengan berbagai perubahan. Kita juga lebih toleran terhadap berbagai macam
perbedaan yang terjadi di masyarakat.
Namun, di sisi lain,
keterbukaan yang tanpa kontrol yang memadai, potensial menyebabkan kita melupakan
budaya lokal dan lebih fokus pada budaya global. Selain itu, kita juga dapat
tergantung pada bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Lebih jauh, kondisi ini
dapat menimbulkan krisis identitas yang menyebabkan bangsa Indonesia
terombang-ambing dalam kebingungan sehingga mudah dipermainkan serta dijajah
secara psikososial.