Naturalisasi Pemain Bola Kaki dan Kewarganegaraan yang Terbelah

Naturalisasi Pemain Bola Kaki dan Kewarganegaraan yang Terbelah



Suara Numbei News - Naturalisasi atlet sepak bola Indonesia masih terus berlanjut. Terakhir, Mees Hilgers dan Eliano Reijnders menambah daftar panjang pemain naturalisasi di skuad tim nasional sepak bola Indonesia. Sebelumnya, beberapa pemain lain juga telah bergabung dengan timnas, seperti Martin Paes, Natjan Toê On, Jordi Amat dan Carles Verdonk.

Mayoritas pemain yang dinaturalisasi oleh PSSI tersebut adalah pemain keturunan. Mereka memiliki leluhur berdarah Indonesia. Beberapa di antaranya memiliki ayah atau ibu yang merupakan orang Indonesia, sementara yang lain memiliki kakek, nenek, atau buyut yang berasal dari Indonesia.

Pada awalnya, publik cenderung menolak kehadiran pemain naturalisasi. Ada beragam alasan yang mereka kemukakan. Salah satunya adalah karena kehadiran pemain naturalisasi mereka anggap akan mempersempit kesempatan pemain lokal untuk bermain di tim nasional. Selain itu, naturalisasi pemain juga dapat menghambat pembinaan pemain sepak bola di dalam negeri.

Gaung penolakan terhadap pemain naturalisasi muncul dari berbagai pihak, termasuk tokoh sepak bola, mantan pemain, pengamat, suporter, dan netizen. Beberapa tokoh dan mantan pemain sepak bola mengkritik kebijakan naturalisasi tersebut, sementara para suporter dan netizen ramai-ramai menyuarakan ketidaksetujuan mereka melalui kolom komentar di media sosial.

Namun, gelombang dukungan terhadap pemain naturalisasi juga sangat kuat. Dukungan ini tampaknya semakin menguat seiring waktu, terlihat dari semakin berkurangnya pihak-pihak yang mempermasalahkan isu tersebut. Berbagai komentar netizen juga menunjukkan dukungan mereka terhadap pemain naturalisasi.

Penting untuk dilihat bahwa penerimaan dan penolakan terhadap pemain naturalisasi lebih dari sekadar urusan sepak bola. Fenomena ini dapat kita pahami sebagai cerminan dari adanya negosiasi gagasan dan wacana nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia saat ini. Secara khusus, hal ini menggambarkan apa yang oleh Sindic (2011) sebut sebagai "kewarganegaraan psikologis."

Kewarganegaraan psikologis merujuk pada perasaan pribadi seseorang mengenai status kewarganegaraannya. Konsep ini menekankan bahwa status kewarganegaraan tidak hanya melibatkan aspek objektif dan eksternal, seperti pengakuan legal formal sebagai warga negara, tetapi juga mencakup gagasan dan makna pribadi mengenai menjadi warga negara.

Dalam kaitannya sikap masyarakat terhadap pemain naturalisasi dan kewargenagaraan, globalisasi telah mengubah cara masyarakat membayangkan kewarganegaraaan dan kebangsaan mereka.

Di satu sisi, bagi sebagian masyarakat, globalisasi telah memperkuat batas-batas kewarganegaraaan, sehingga ikatan mereka pada identitas nasional dan identitas yang bersifat lokal atau tradisional semakin menguat. Kelompok ini memahami bahwa berbagai hal yang berbau internasional sebagai ancaman terhadap identitas asal. Sehingga batas antara yang lokal, tradisional, dan nasional semakin menebal. Mereka melihat pemain naturalisasi sebagai representasi kekuatan asing yang dapat menggerus identitas asal tersebut.

Persepsi mereka bahwa pemain naturalisasi mengancam talenta nasional sebenarnya hanya cerminan dari sebagian kecil ancaman yang mereka rasakan. Lebih dari itu, sebenarnya mereka merasakan naturalisasi pemain tersebut merupakan ancaman terhadap identitas dan harga diri mereka sebagai bagian dari bangsa. Ini merupakan akar dari berbagai penolakan tersebut.

Di sisi berbeda, mereka yang menerima pemain naturalisasi cenderung mengembangkan gagasan atau imajinasi mengenai kewarganegraan kosmopolitan. Mereka menganggap pembatasan dan pembedaan kelompok berdasarkan kebangsaan atau kenegaraan yang kaku tidak lagi signifikan dalam kehidupan sekarang. Bagi mereka, antara yang nasional dan internasional atau global dapat saling menembus dan bercampur.

Bagi kelompok terakhir ini, globalisasi justru bekerja mencairkan serta mengbubungkan batas-batas identitas antara yang tradisional, lokal, nasional, dan global. Mereka masih mengidentifikasi diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia meskipun mereka lahir dan besar di negeri Belanda.

Secara psikologis, mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas 'kosmopolitan' atau 'global' alih-alih komunitas nasional. Namun, secara objektif, mereka masih terkurung dalam identitas objektif sebagai warga negaara.

Situasi demikian seolah melahirkan sebuah identitas kewarganegaraan yang terbelah. Di satu sisi, kewarganegaraan yang sah tetap berbasis kewarganegaraan, sementara rasa psikologis orang tentang kewarganegaraan mereka sudah melampaui batas kewarganegaraan. Mereka mendukung, mengidentifikasi, dan berkomitmen terhadap komunitas global, di sisi lain juga masih merasa terikat pada komunitas nasional.

Bahkan bagi mereka yang menolak pemain naturalisasi, ada juga pengalaman identitas kewarganegaraan yang terbelah. Hanya saja, hal ini tidak terjadi dalam konteks sepak bola, melainkan di bidang lain. Di satu sisi, mereka berpegang teguh pada status mereka sebagai warga negara Indonesia dan mendukung gagasan nasionalisme yang mendasarinya. Namun, di sisi lain, pandangan dan perasaan kebangsaan mereka juga telah dipengaruhi dan terikat oleh globalisme.

Keterbelahan dalam kewarganegaraan dan nasionalisme juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti di dunia pendidikan dan penelitian. Berbagai kegiatan seperti konferensi, seminar, workshop, pelatihan, sertifikasi, dan sekolah yang bertema internasional menunjukkan orientasi pada nasionalisme dan globalisme.

Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari juga mencerminkan keterbelahan kewarganegaraan. Bahasa Indonesia dan bahasa asing sering digunakan secara campur aduk, menunjukkan pencampuaradukan antara identitas nasional dan global.

Beragam praktik konsumsi, seperti fashion, hiburan, dan makanan, juga menunjukkan bagaimana identitas lokal, nasional, dan global mencerminkan identitas kita yang terpecah belah itu. Di satu sisi, kita terhubung dan menerima berbagai produk kosmopolitan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, kita tetap bangga dan mendukung produk lokal dan nasional.

Paparan ini menunjukan bahwa sikap masyarakat terhadap naturalisasi mencerminkan adanya proses negosiasi dan rekonstruksi identitas nasional dan kewarganegaraan yang terus menerus. Di satu sisi, para pendukung nasionalisme kosmopolitan memperkuat gagasan yang mengarah pada kewarganegaran 'global' Di sisi lain, sebagian kelompok terus memperkuat berbagai praktik yang berkarakter nasionalis.

Identitas nasional di masa depan tampaknya akan terbentuk dari sintesis antara identitas nasional atau lokal dan identitas global kosmopolitan. Para pemain naturalisasi mungkin menjadi contoh terdepan dari warga negara masa depan, sementara masyarakat umum akan mengikuti model kewarganegaraan ini.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama