Mayoritas pemain yang
dinaturalisasi oleh PSSI tersebut adalah pemain keturunan. Mereka memiliki
leluhur berdarah Indonesia. Beberapa di antaranya memiliki ayah atau ibu yang
merupakan orang Indonesia, sementara yang lain memiliki kakek, nenek, atau
buyut yang berasal dari Indonesia.
Pada awalnya, publik
cenderung menolak kehadiran pemain naturalisasi. Ada beragam alasan yang mereka
kemukakan. Salah satunya adalah karena kehadiran pemain naturalisasi mereka
anggap akan mempersempit kesempatan pemain lokal untuk bermain di tim nasional.
Selain itu, naturalisasi pemain juga dapat menghambat pembinaan pemain sepak
bola di dalam negeri.
Gaung penolakan
terhadap pemain naturalisasi muncul dari berbagai pihak, termasuk tokoh sepak
bola, mantan pemain, pengamat, suporter, dan netizen. Beberapa tokoh dan mantan
pemain sepak bola mengkritik kebijakan naturalisasi tersebut, sementara para
suporter dan netizen ramai-ramai menyuarakan ketidaksetujuan mereka melalui
kolom komentar di media sosial.
Namun, gelombang
dukungan terhadap pemain naturalisasi juga sangat kuat. Dukungan ini tampaknya
semakin menguat seiring waktu, terlihat dari semakin berkurangnya pihak-pihak
yang mempermasalahkan isu tersebut. Berbagai komentar netizen juga menunjukkan
dukungan mereka terhadap pemain naturalisasi.
Penting untuk dilihat
bahwa penerimaan dan penolakan terhadap pemain naturalisasi lebih dari sekadar
urusan sepak bola. Fenomena ini dapat kita pahami sebagai cerminan dari adanya
negosiasi gagasan dan wacana nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia saat
ini. Secara khusus, hal ini menggambarkan apa yang oleh Sindic (2011) sebut
sebagai "kewarganegaraan psikologis."
Kewarganegaraan psikologis
merujuk pada perasaan pribadi seseorang mengenai status kewarganegaraannya.
Konsep ini menekankan bahwa status kewarganegaraan tidak hanya melibatkan aspek
objektif dan eksternal, seperti pengakuan legal formal sebagai warga negara,
tetapi juga mencakup gagasan dan makna pribadi mengenai menjadi warga negara.
Dalam kaitannya sikap
masyarakat terhadap pemain naturalisasi dan kewargenagaraan, globalisasi telah
mengubah cara masyarakat membayangkan kewarganegaraaan dan kebangsaan mereka.
Di satu sisi, bagi
sebagian masyarakat, globalisasi telah memperkuat batas-batas kewarganegaraaan,
sehingga ikatan mereka pada identitas nasional dan identitas yang bersifat
lokal atau tradisional semakin menguat. Kelompok ini memahami bahwa berbagai hal
yang berbau internasional sebagai ancaman terhadap identitas asal. Sehingga
batas antara yang lokal, tradisional, dan nasional semakin menebal. Mereka
melihat pemain naturalisasi sebagai representasi kekuatan asing yang dapat
menggerus identitas asal tersebut.
Persepsi mereka bahwa
pemain naturalisasi mengancam talenta nasional sebenarnya hanya cerminan dari
sebagian kecil ancaman yang mereka rasakan. Lebih dari itu, sebenarnya mereka
merasakan naturalisasi pemain tersebut merupakan ancaman terhadap identitas dan
harga diri mereka sebagai bagian dari bangsa. Ini merupakan akar dari berbagai
penolakan tersebut.
Di sisi berbeda, mereka
yang menerima pemain naturalisasi cenderung mengembangkan gagasan atau
imajinasi mengenai kewarganegraan kosmopolitan. Mereka menganggap pembatasan
dan pembedaan kelompok berdasarkan kebangsaan atau kenegaraan yang kaku tidak
lagi signifikan dalam kehidupan sekarang. Bagi mereka, antara yang nasional dan
internasional atau global dapat saling menembus dan bercampur.
Bagi kelompok terakhir
ini, globalisasi justru bekerja mencairkan serta mengbubungkan batas-batas
identitas antara yang tradisional, lokal, nasional, dan global. Mereka masih
mengidentifikasi diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia meskipun mereka lahir
dan besar di negeri Belanda.
Secara psikologis,
mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas 'kosmopolitan' atau
'global' alih-alih komunitas nasional. Namun, secara objektif, mereka masih
terkurung dalam identitas objektif sebagai warga negaara.
Situasi demikian seolah
melahirkan sebuah identitas kewarganegaraan yang terbelah. Di satu sisi,
kewarganegaraan yang sah tetap berbasis kewarganegaraan, sementara rasa
psikologis orang tentang kewarganegaraan mereka sudah melampaui batas
kewarganegaraan. Mereka mendukung, mengidentifikasi, dan berkomitmen terhadap
komunitas global, di sisi lain juga masih merasa terikat pada komunitas
nasional.
Bahkan bagi mereka yang
menolak pemain naturalisasi, ada juga pengalaman identitas kewarganegaraan yang
terbelah. Hanya saja, hal ini tidak terjadi dalam konteks sepak bola, melainkan
di bidang lain. Di satu sisi, mereka berpegang teguh pada status mereka sebagai
warga negara Indonesia dan mendukung gagasan nasionalisme yang mendasarinya.
Namun, di sisi lain, pandangan dan perasaan kebangsaan mereka juga telah
dipengaruhi dan terikat oleh globalisme.
Keterbelahan dalam
kewarganegaraan dan nasionalisme juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari,
seperti di dunia pendidikan dan penelitian. Berbagai kegiatan seperti
konferensi, seminar, workshop, pelatihan, sertifikasi, dan sekolah yang bertema
internasional menunjukkan orientasi pada nasionalisme dan globalisme.
Penggunaan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari juga mencerminkan keterbelahan kewarganegaraan. Bahasa
Indonesia dan bahasa asing sering digunakan secara campur aduk, menunjukkan
pencampuaradukan antara identitas nasional dan global.
Beragam praktik
konsumsi, seperti fashion, hiburan, dan makanan, juga menunjukkan bagaimana
identitas lokal, nasional, dan global mencerminkan identitas kita yang terpecah
belah itu. Di satu sisi, kita terhubung dan menerima berbagai produk
kosmopolitan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, kita tetap bangga dan
mendukung produk lokal dan nasional.
Paparan ini menunjukan
bahwa sikap masyarakat terhadap naturalisasi mencerminkan adanya proses
negosiasi dan rekonstruksi identitas nasional dan kewarganegaraan yang terus
menerus. Di satu sisi, para pendukung nasionalisme kosmopolitan memperkuat
gagasan yang mengarah pada kewarganegaran 'global' Di sisi lain, sebagian
kelompok terus memperkuat berbagai praktik yang berkarakter nasionalis.
Identitas nasional di
masa depan tampaknya akan terbentuk dari sintesis antara identitas nasional
atau lokal dan identitas global kosmopolitan. Para pemain naturalisasi mungkin
menjadi contoh terdepan dari warga negara masa depan, sementara masyarakat umum
akan mengikuti model kewarganegaraan ini.