Dalam situasi pemilu
hari ini banyak sekali dugaan serta anggapan bahwa untuk mendapatkan
kredibilitas dari masyarakat seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai
pejabat publik atau politisi haruslah mempunyai modal, dan modal tersebut
nantinya akan dipergunakan untuk keperluan kampanye dan juga dugaan untuk
melanggengkan praktik “money politic” dan yang pastinya terbilang cukup tinggi
angka ataupun nominal yang dipertaruhkan para kandidat tersebut.
Sebenarnya hal semacam
ini sudah menjadi budaya dan sangat lumbrah terjadi ketika ada momentum
pemilihan umum, karena masyarakat meyakini bahwa tolak ukur seseorang calon
kalau tidak dari latarbelakang orang yang berada (kaya) atau masih mempunyai
garis keturunan dari pejabat juga. Sebenarnya siapapun bisa mencalonkan diri,
akan tetapi problemnya adalah mampukah dia membangun trust dalam masyarakat
bahwa yang sebenarnya kalian butuh adalah kemampuan problem solving bukan
kemampuan melanggengkan masalah.
Urgensi Kapital Dalam Pilkada
Pilkada kapital
sebenarnya merupakan sebutan paling soft untuk menggambarkan keterkaitan
pemilik modal (oligarki) dalam manifestasi praktik politik uang di setiap
kontestasi pemilihan umum di negeri ini, memang sangat jarang terjadi dalam
setiap momentum seperti ini bahwa sangat tidak lengkap kalau tidak diselipi
dengan politik uang sebagai jurus andalan guna mendapatkan suara masyarakat
sebagai pemilih.
Tentu saja politik uang
akan berdampak buruk bagi pemilu dan penguatan demokrasi di Indonesia. Selain
pembodohan terhadap pemilih, persaingan antar kandidat atau peserta (parpol)
akan menjadi lebih timpang. Partai politik yang memiliki banyak uang berpotensi
lebih besar memenangkan pemilu. Belum lagi kekuatan modal yang datang dari
pihak kerabat dan keluarga. Jaminan untuk tidak melanggengkan hal semacam ini
sangat tidak mudah bagi kandidat yang mempunyai ambisi untuk menduduki kursi
pejabat.
Dalam beberapa studi
menyatakan bahwa banyak cara yang kemudian digunakan oleh politisi untuk
memenangkan pemilu, mereka menggunakan jaringan, mesin, dan organisasi yang
digunakan untuk memobilisasi dukungan elektoral. Sebenarnya dalam situasi
seperti apakah para kandidat menggunakan uang, barang, atau materi lain? Sejauh
mana strategi penggunaan uang dan barang ini ditopang atau digantikan oleh
strategi lainnya, baik strategi yang berbasis pada program, karisma, atau
identitas? Menjawab pertanyaan ini tentunya berangkat dari sudut pandang
masing-masing, karena kendati bahwasannya sadar tidak sadar selama ini kita
sudah disuap. Tetapi tentunya cara yang digunakan oleh para kandidat tidak
berbeda dengan cara-cara politisi lainnya. Selain disuap dengan janji politik
kita juga sebagai pemilih akan disuap dalam bentuk materi atau barang.
Menang Karena Kapabilitas Atau Dimenangkan Oleh
Kapitalistis
Beda cara beda rasa.
Itulah hal yang paling kita sering temukan ketika ada kandidat mencalonkan diri
semata karena mempunyai ambisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata,
dan kandidat yang mempunyai tanggungjawab untuk menjawab tantangan masyarakat.
Untuk membedakannya sangat sederhana ketika politisi mengeluarkan kebijakan
yang tidak sejalan dengan denyut kehidupan masyarakat, maka disitulah kita
menilai bahwa ternyata tidak selamanya integritas seorang bernilai mahal,
karena akan ada masa kepercayaan publik akan menurun terhadap seorang pejabat
ketika ia melakukan tindakan-tindakan yang tidak mengatasnamakan rakyat.
Kontradiksi serta paradoks kebijakan akan terus kita jumpai selama ambisi masih
bersarang terhadap kepentingan pribadi. Seleksi alam akan mewarnai di setiap
situasi politik yang tengah di geluti oleh para aktor pejabat atau politisi,
hingga nuansa ketidakstabilan yang bertentangan dengan prinsip kesejahtraan
akan masyarakat hadapi.
Kapasitas dan
kapabilitas seorang kandidat sangat penting bagi masyarakat, karena dengan
kemampuan untuk menganalisis masalah adalah hal yang paling utama yang harus
dipegang oleh politisi. Sebab, dengan adanya kemampuan tersebut, maka segala
urusan Pemerintahan baik urusan ekonomi, sosial, politik dan lainnya akan bisa
diselesaikan dengan optimalisasi kinerja-kinerja Pemerintahan.
Warna atau nuansa
politik bagi seseorang yang menjabat atas dasar kepentingan pribadi dan
dimenangkan dengan melanggengkan politik uang dengan seiring berjalannya waktu
akan masyarakat hadapi serta merasakan ketidakpuasan terhadap kinerja pejabat
tersebut. “Karena kapal yang berada ditengah laut tersebut dengan nahkoda
barunya setelah digantinya nahkoda sebelumnya akan mengalami kegoncangan akibat
kurang lihainya nahkoda baru itu untuk menganalisa situasi yang sedang
terjadi”. Istilah itu menggambarkan betapa pentinganya meritokritas daripada
loyalitas.
Sebenarnya tidak jarang
kita temukan ketika ada juga kandidat yang mempunyai kapasitas yang mumpuni
untuk memimpin. Hanya saja dalam beberapa situasi ia harus menggunakan modal
sebagai mekanisme pendukung untuk melancarkan dinamisasi politik demi sebuah
kredibilitas atau mendapatkan suara demi memperbesar peluang untuk menang dalam
kontestasi politik tersebut. Akan tetapi bagaimanapun juga, politik uang tidak
pernah dibenarkan. Karena ada beberapa indikasi yang itu dapat menciderai
prinsip atau nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi.
Ada beberapa faktor
lain seperti keterlibatan oligarki atau kapitalis dalam kontestasi politik yang
mempunyai pengaruh besar terhadap situasi menjelang kontestasi politik. Karena
aktor ini diyakini berperan sebagai backingan para kandidat untuk menyuplai
anggaran untuk kepentingan politiknya. Tentunya keberadaan oligarki dan
keterlibatannya dalam politik itu membawa pengaruh buruk bagi masyarakat, sebab
pasti akan ada kebijakan yang dikeluarkan dan mempunyai orientasi untuk
kepentingan serta keuntungan pribadi mereka sendiri. Sedangkan kita mengetahui
bahwasannya salah satu watak kapitalis ini yaitu eksploitasi, dan hal ini
berdampak bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dan juga hari ini diyakini bahwa
demokrasi Indonesia masih dalam genggaman oligarki.