Menyelidiki dan Memahami Konsep Kehendak Bebas dari Filsafat Hingga Sains Modern

Menyelidiki dan Memahami Konsep Kehendak Bebas dari Filsafat Hingga Sains Modern



Suara Numbei News - Sepanjang sejarah, para filsuf, teolog, dan ilmuwan telah lama memperdebatkan masalah kehendak bebas tetapi tanpa kesimpulan. Keyakinan dasar bagi banyak orang adalah bahwa kita adalah makhluk independen yang membentuk kehidupan yang kita jalani karena keputusan yang dibuat atas kemauan kita sendiri.

Gagasan tentang “kehendak bebas” mengacu pada kemampuan untuk membuat pilihan tanpa dipaksa atau dikendalikan oleh sesuatu di luar diri kita seperti takdir. Artinya, kita dapat berperilaku dengan cara yang mencerminkan keyakinan atau nilai-nilai kita. Hal ini menjadi relevan ketika mempertimbangkan siapa yang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang kita buat.

Untuk membantu memahami konsep ini dengan lebih baik, kita perlu pertimbangkan sesuatu yang dapat kita lakukan kapan saja sepanjang hari: memilih apa yang akan kita makan untuk sarapan.

Saat kita bangun di pagi hari, ada beberapa kemungkinan: sereal? Roti panggang? Telur? Kehendak bebas Anda memungkinkan Anda memilih salah satu dari makanan ini yang paling sesuai (dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti rasa atau kesehatan).

Atau misalnya dalam menentukan karier masa depan. Kita semua pernah menghadapi keputusan seperti ini dalam hidup kita yang mungkin memiliki pengaruh besar pada jenis pekerjaan yang menjadi pilihan kita.

Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa bahkan dalam situasi di mana kita merasa bebas membuat pilihan, faktor eksternal membentuk apa yang kita lakukan. Faktor eksternal ini mencakup hal-hal seperti lingkungan kita, bagaimana masyarakat mengharapkan kita berperilaku, latar belakang pribadi kita, jenis pendidikan yang kita miliki, dan apakah kita dapat mengakses sumber daya atau tidak.

Berbagai teori ilmiah dan argumen filosofis menantang gagasan kehendak bebas. Mereka berpendapat bahwa genetika atau keadaan luar memiliki dampak besar pada cara orang bertindak dan bahwa segala sesuatu telah diputuskan sebelum terjadi.

Filsafat Klasik dan Abad Pertengahan

Gagasan filosofis tentang kehendak bebas merupakan objek yang sangat menarik dan menjadi bahan refleksi dalam seluruh filsafat klasik dan abad pertengahan. Oleh karena itu, para tokoh filsafat Yunani klasik seperti Plato dan Aristoteles, merujuk pada berbagai aspek dan memberikan interpretasi mereka sendiri mengenai tindakan manusia dan kemungkinan untuk memilih.

Plato mengatakan bahwa keharmonisan batin, jika tercapai, akan membuat pikiran melampaui dorongan emosional. Dari sudut pandang Plato, seseorang akan bertindak hanya sesuai dengan apa yang dianggap benar secara moral oleh hati nuraninya.

Namun, Aristoteles mengamati bahwa ada tindakan tertentu yang dapat dipilih oleh manusia. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa sebagian besar tindakan kita memenuhi syarat untuk bersifat sukarela.

Seiring berjalannya waktu, kita melihat para teolog mengaitkan kehendak bebas dengan kepercayaan agama. Santo Agustinus menelusuri penerapan kehendak bebas pada adanya kejahatan. Ia mengaitkan masalah-masalah seperti mengapa hal-hal buruk terjadi dan bagaimana manusia menyalahgunakan kehendak bebas melalui kisah-kisah dari Alkitab. Misalnya, ia mengutip kejatuhan Adam dan Hawa saat memakan buah dari pohon.

Demikian pula, Thomas Aquinas, teolog terkemuka abad ke-13 berpendapat bahwa kebebasan terwujud ketika orang memilih cara untuk mencapai kebaikan hakiki. Filsuf ini mengatakan kebebasan berkehendak harus dilaksanakan melalui pilihan-pilihan yang sesuai dengan kebajikan dan rencana ilahi Tuhan.

Perspektif filosofis dan teologis ini mengungkapkan kebenaran penting: orang telah lama memiliki pendapat berbeda tentang apa artinya memiliki kehendak bebas.

Beberapa orang, seperti Plato, berpendapat bahwa kita bebas memilih tindakan kita tanpa pengaruh dari kekuatan eksternal. Yang lain, seperti Augustine atau Aquinas, berpendapat bahwa mungkin ada batasan tertentu pada kebebasan ini, atau mungkin kebebasan ini diberikan oleh kepercayaan agama.

Penyelidikan Filsafat Lebih Lanjut Mengenai Kehendak Bebas

Inti dari pemahaman kehendak bebas terletak pada argumen antara determinisme dan kompatibilisme. Para penganut determinisme seperti para pemikir modern awal Descartes, Spinoza , dan Leibniz percaya bahwa dunia berjalan berdasarkan determinisme kausal. Artinya, segala sesuatu yang terjadi disebabkan oleh sesuatu yang terjadi sebelumnya jadi semua hasilnya dapat diprediksi.

Misalnya, dalam fisika Newton kuno, setiap gerakan sistem fisika akan mengikuti hukum yang ketat tidak akan ada ruang untuk kebebasan atau pilihan.

Dari sudut pandang deterministik ini, keberadaan kita dapat ditelusuri kembali ke Big Bang, pembentukan planet, dan evolusi kehidupan itu sendiri. Siapa kita saat ini dan pilihan kita telah dibentuk oleh hal-hal di luar kendali kita, gen, pola asuh, lingkungan sosial.

Penganut determinis berpendapat bahwa kehendak bebas tidak ada artinya karena apa pun yang Anda lakukan akan selalu terjadi, mengingat bagaimana materi telah berevolusi sejak waktu dimulai.

Perspektif lain adalah kompatibilisme. Kaum kompatibilis percaya bahwa kehendak bebas dan determinisme dapat berlaku secara bersamaan. Filsuf yang menganut pandangan ini termasuk Thomas Hobbes, John Locke dan Immanuel Kant.

Mereka semua mengatakan bahwa bahkan jika semua yang kita lakukan diputuskan oleh kekuatan atau keadaan luar (determinisme), kita masih bisa bebas jika apa yang terjadi di dalam diri kita sejalan dengan itu (bertindak berdasarkan ide dan alasan kita sendiri).

Misalnya, Arthur Schopenhauer mengusulkan voluntarisme, mengakui bahwa alasan eksternal berperan dalam apa yang kita lakukan dan mengakui adanya keinginan batin yang muncul dari pertimbangan tugas atau moralitas. Friedrich Nietzsche mengemukakan gagasan tentang “keinginan untuk berkuasa,” dengan menyatakan bahwa kita bertindak karena kita ingin mendominasi atau menegaskan diri kita sendiri.

Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, berpendapat bahwa kehendak bebas memberikan beban berat pada individu yang harus membuat pilihan sepanjang hidup mereka, suatu kondisi yang ia sebut sebagai penderitaan. Dari sudut pandang ini, salah satu efek yang jelas dari memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai keinginan kita adalah bahwa kita menjadi sepenuhnya bertanggung jawab atas apa yang terjadi selanjutnya.

Pandangan yang berlawanan ini tentang apakah orang menentukan hasil mereka sendiri atau tidak dapat membawa kita pada pertimbangan mendalam mengenai isu-isu seperti kewajiban moral, otonomi manusia, dan bagaimana faktor luar dapat membentuk keputusan kita.

Kontroversi Mengenai Kehendak Bebas dalam Kekristenan

Agama Kristen mengeksplorasi kehendak bebas dari sudut pandang yang berfokus pada kisah Adam dan Hawa. Apakah mereka dengan bebas memilih untuk memakan buah terlarang? Dan jika tidak, bukankah mereka dihukum secara tidak adil? Namun jika tindakan mereka dilakukan secara sukarela, mengapa semua keturunan mereka harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan?

Kekristenan tradisional mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab secara pribadi atas pilihan moral – sebuah konsep yang disebut “dosa asal.” Ini menyiratkan bahwa manusia harus mampu membuat keputusan yang pantas disalahkan atau dipuji. Namun, gagasan ini bertentangan dengan gagasan takdir ilahi: bahwa Tuhan telah memutuskan individu mana yang akan berakhir di surga atau neraka.

Perdebatan antara kebebasan manusia dan takdir ilahi telah menjadi topik teologis utama selama berabad-abad. Orang-orang yang percaya bahwa manusia memiliki kehendak bebas menganggap hal ini penting karena membantu menjelaskan mengapa manusia harus bertanggung jawab atas tindakan mereka dan mencoba untuk menjadi lebih baik. Namun, jika Tuhan sudah menentukan segalanya, maka mungkin manusia tidak dapat benar-benar membuat pilihan yang penting.

Berbagai kelompok Kristen memiliki pendapat yang berbeda tentang masalah ini. Beberapa teolog berpikir bahwa Tuhan mengendalikan segalanya, dan apa pun yang kita pikir telah kita putuskan untuk dilakukan sebenarnya telah direncanakan sebelum kita dilahirkan. Yang lain berpikir: bagaimana mungkin cinta bisa menjadi nyata jika orang tidak memiliki kesempatan untuk memilih orang lain sebagai gantinya?

Untuk memahami kehendak bebas dalam agama Kristen, seseorang harus mengajukan banyak pertanyaan sulit: Tuhan macam apa yang menciptakan makhluk yang pilihannya hanya tampak bermakna? Jika ada rencana di balik semua ini, bagaimana manusia dapat dimintai pertanggungjawaban? Dan apa artinya semua ini ketika seseorang melihat begitu banyak ketidaksetaraan atau penderitaan?

Pertanyaan-pertanyaan ini terus ditanyakan karena belum ada seorang pun yang mengetahui semua jawabannya, jadi perdebatan seperti ini masih membentuk teologi Kristen saat ini.

Sains Modern

Kehendak bebas telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun, tetapi perkembangan baru dalam sains mengubah pembicaraan. Eksperimen neurologis terkini menunjukkan bahwa kita mungkin tidak memiliki kehendak bebas sama sekali.

Satu studi terkenal oleh Benjamin Libet menunjukkan bahwa ada jeda antara saat kita melakukan sesuatu dan saat kita menyadari keputusan kita untuk bertindak. Ia meminta orang untuk menekan tombol sambil merekam apa yang terjadi di dalam kepala mereka. Aktivitas yang terkait dengan gerakan mulai terjadi sebelum peserta mengatakan mereka memutuskan untuk menekannya.

Kita juga mempelajari lebih lanjut tentang dopamin dan serotonin, zat kimia yang terlibat dalam perasaan senang yang telah lama dikaitkan dengan keinginan untuk memperoleh penghargaan. Keduanya tampaknya juga berperan penting dalam membuat pilihan.

Menurut penelitian terkini, orang yang menderita penyakit Parkinson dan tremor esensial masih memiliki respons dopamin dan serotonin bahkan ketika mereka membuat pilihan yang hasilnya belum mereka ketahui.

Apakah Kehendak Bebas Itu Ada?

Konsep kehendak bebas masih dibahas dan memengaruhi kita dalam berbagai hal penting. Jika kita tidak memiliki kehendak bebas, itu berarti semua yang kita lakukan atau pilih ditentukan oleh faktor-faktor yang sudah ada. Jadi, bagaimana seseorang dapat bertanggung jawab atas tindakannya jika mereka tidak pernah benar-benar memiliki kendali atas tindakan tersebut?

Jika tidak ada yang dapat diprakarsai atau diubah setelah berlangsung misalnya, jika orang melakukan kejahatan karena mereka selalu akan melakukannya (dan bukan karena mereka ingin melakukannya), apa tujuannya memenjarakan seseorang?

Atau adakah alasan mengapa masyarakat memiliki sistem pemberian hukuman yang berlaku bahkan ketika individu tidak dianggap telah membuat pilihan secara sadar?

Jadi, pertanyaan tentang apakah kehendak bebas itu ada atau tidak belum terjawab. Para ilmuwan dan pemikir masih memperdebatkannya. Namun, mempertimbangkan masalah filosofis ini dapat memberi kita wawasan tentang diri kita sendiri dan dunia kita, yang layak untuk ditelusuri dengan cara apa pun.*

 


 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama