Sebetulnya, kata
'goblok' dapat ditafsirkan secara ambivalensi jika menanggalkan kontekstual. Di
satu sisi, 'goblok' seringkali menjadi instrumen keakraban yang ditunjukkan
oleh pemakai bahasa dan interlokutornya. Namun, di sisi lain, goblok juga
merupakan bentuk makian yang mampu melukai dan menyinggung perasaan lawan tutur
yang menjadi objek referensi ucapan. Untuk itu, menjadi penting memandang kata
'goblok' melalui pandangan linguistik sekaligus melihat secara kontekstual
mengapa kata tersebut menjadi begitu sensitif seperti sekarang.
Variasi Bahasa
Secara referensial,
makian dapat dikategorisasikan menjadi tujuh macam, yaitu referensi keadaan,
binatang, makhluk halus, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, dan referensi
profesi. Adapun makian 'goblok' yang sedang santer beredar termasuk dalam
bentuk makian berdasarkan keadaan, yang menyatakan suatu kondisi lawan tutur
tidak memahami dan tidak mampu melakukan sesuatu, cacat logika, tidak
berpendidikan, dan semacamnya. Dari situasi tersebut, lantas terjadilah makian
untuk mengungkapkan perasaan, "Goblok!"
Pertanyaannya, apakah
makian 'goblok' memiliki preferensi negatif hingga mampu membuat gaduh jagad
media maya?
Dalam kajian
sosiolingistik, makian merupakan bagian variasi bahasa yang muncul ditinjau
dari segi penuturnya. Abdul Chaer dan Agustina dalam Sosiolinguistik (2004)
menjabarkan bahwa variasi bahasa dari segi penutur berkaitan erat dengan
tingkat golongan, status, dan kelas sosial penuturnya. Dengan demikian, idiolek
individu dan dialek komunal sangat ditentukan si penutur dengan berbagai latar
belakang dan tujuan yang beragam.
Sejalan dengan
argumentasi itu, dalam buku Sosiolinguistik (2022) misalnya, I Dewa Putu Wijana
menyebutkan bahwa kata makian dapat muncul dalam berbagai kesempatan. Namun
secara spesifik, makian sering muncul dalam situasi penutur yang sedang
berselisih paham, berbeda pendapat, bahkan sindiran terhadap penutur lainnya.
Dalam situasi demikian itu, makian merupakan respons atas bentuk ekspresi
seseorang apabila mengalami ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau bahkan
kebencian.
Namun demikian, makian
juga acap hadir dalam situasi humor di antara berbagai peserta tutur yang
memiliki hubungan kedekatan dan keakraban. Dengan kata lain, makian dapat
mengakomodasi ekspresi yang timbul dari segala bentuk dan situasi lain semacam
keheranan, pujian, serta keakraban. Tengok misalnya, dalam situasi ketika Si A
mampu berprestasi, seorang interlokutor bisa saja menggunakan ungkapan makian
tanpa merugikan dan menyakiti perasaan siapapun. Ia bisa saja mengatakan,
"Anjing, ternyata kau pintar juga ya," atau bisa jadi, "Gila
bener, bisa-bisanya kau mengalahkan ranking Si Fulan."
Hal ini menunjukkan dalam
situasi yang tepat, informal, dan akrab, ungkapan makian tidak akan mengalami
rasa 'disakiti', justru mampu mendekatkan dan merekatkan komunikasi peserta
tutur. Nah, dalam situasi demikianlah, pemakaian makian 'goblok' menduduki
kondisi yang debatable. Makian goblok bisa jadi suatu serangan dan penghinaan,
namun sebaliknya, 'goblok' juga mampu menjadi bagian dari ungkapan humor dan
kedekatan penurutnya.
Dengan demikian, posisi
'goblok' yang dilontarkan Gus Miftah ada di mana?
Fungsi yang Beragam
Meskipun dikenal
negatif dan kasar, makian ternyata memiliki fungsi yang beragam. Sebagaimana
Andersson dan Hirsch dalam Perspectives on Swearing (1985), kata makian dapat
diklasifikasikan dalam lima fungsi yang berbeda; pertama, expletive yang
berarti untuk mengekspresikan emosi dan sikap dalam bentuk seruan atau
lontaran. Kedua, abusive yang digunakan secara sengaja untuk menyakiti,
menghina, atau memfitnah orang lain.
Ketiga, humoristic,
yang bertujuan untuk melawak atau sebagai candaan. Keempat, euphemistic, ketika
makian diubah bentuknya menjadi kata yang dapat dibilang lebih halus dari
bentuk yang sebenarnya. Kelima, habitual, berarti penggunaan makian yang sudah
menjadi kebiasaan.
Dari berbagai bentuk
makian tersebut, kasus yang melibatkan pemuka agama Gus Miftah sejatinya
dimaksudkan sebagai bentuk candaan atau humoristik. Hal itu linear dengan
klarifikasi yang disampaikan dan tayangan video yang memperlihatkan gelak tawa
oleh peserta tutur. Namun, ketika melibatkan peserta tutur yang lebih luas, yaitu
netizen di dunia maya, ternyata makian 'goblok' tersebut telah melampaui maksud
si penutur, bahkan telah diinterpretasi sebagai bentuk abusive.
Dengan demikian, siapa
yang salah?
Memahami persoalan
makian 'goblok', kita tak bisa menghilangkan unsur peristiwa tutur yang
mengikat berbagai subjek di dalamnya. Peristiwa tutur (speech event) terjadinya
atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak yaitu penutur dan lawan tutur, satu pokok tuturan, waktu, tempat,
dan situasi tertentu.
Menurut Dell Hymes (1972), peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen SPEAKING (setting, participant, ends, act
sequence, key, instrumentalitis, norms, genre), yang menunjukkan bahwa
suatu mekanisme tutur selalu melibatkan konteks situasi saat tuturan terjadi.
Dengan demikian, sebagai gejala sosial, peristiwa tutur menghendaki kesadaran
individu untuk memahami dan menempatkan semuanya dalam sekala yang layak dan
'tahu diri'.
Dalam kondisi
demikianlah, aktivitas kesadaran tersebut dapat dinamakan dengan verbal
repertoire.
Verbal repertoire dikenal sebagai kemampuan seseorang menguasai bahasa beserta
ragam-ragamnya. Verbal repertoire individu adalah alat-alat verbal yang
dikuasai oleh seorang penutur termasuk memilih norma sosial yang sesuai dengan
situasi dan fungsinya. Jika dikaitkan dengan delapan komponen Dell Hymes, maka
situasi Gus Miftah telah melanggar ketentuan peristiwa tutur yang ada.
Perspektif ini ditandai
dengan posisi dia dalam participant sebagai pemuka agama yang secara normalitas
sosial tidak linear dengan makian. Sekaligus, setting yang terjadi merupakan
acara pengajian yang bagi sebagian netizen merupakan tempat untuk menimba ilmu
keagamaan dan memupuk hasrat religiositas. Apalagi ungkapan 'goblok' dilontarkan
dengan lantang, lantas diikuti gelak tawa beberapa subjek tutur lainnya.
Padahal, saat itu pula, suatu ironi terjadi. Wajah pedagang yang menjadi tujuan
makian justru menunjukkan ekspresi yang melas dan padam, tanpa sungging
senyuman. Saat itulah, humoristik tidak secara menyeluruh terjadi.
Dalam kondisi inilah,
kita dapat mengatakan bahwa verbal repertoire Gus Miftah telah gagal
menyesuaikan terhadap kondisi peristiwa tutur yang ada. Akibatnya, bentuk
makian yang bertujuan candaan atau humoristik, telah dianggap netizen sebagai
penghinaan atau abusive.