Bunuh diri seringkali
merupakan manifestasi dari kesedihan mendalam, putus asa, atau rasa putus
harapan yang mendalam pada diri seseorang.
Ini adalah masalah
serius, yang memengaruhi individu dari berbagai latar belakang dan dapat
memiliki dampak yang menghancurkan bagi keluarga dan masyarakat.
Kasus bunuh diri
semakin hari semakin meningkat. Bahkan saat ini kasus bunuh diri sudah menjadi
trend alternatif dalam penyelesaian masalah. Berdasarkan data Pusat Informasi
Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di
Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka itu sudah
melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus, dan
Jawa Tengah sebagai provinsi dengan kasus bunuh diri terbanyak yakni 365 kasus
diikuti oleh Jawa Timur dengan 184 kasus.
Kenyataan Pahit di Nusa Tenggara Timur (NTT)
Bunuh diri adalah
tindakan mengakhiri hidup yakni mengambil nyawa sendiri dengan cara-cara yang
fatal dan tidak bermoral. Berdasarkan hasil bacaan penulis dalam media-media
online, seperti detik.com, kompas id, CNN Indonesia dan beberapa media lokal
NTT, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri sudah terdapat bebera kasus bunuh
diri selama periode awal Januari 2025. Kasus pertama, adalah pada Jumat, 10
Januari 2025 di wilayah RT.009, RW. 003, Kelurahan Naimata, Kecamatan Maulafa,
Kota Kupang. Korban adalah Umbu tagela (20), seorang mahasiswa salah satu
perguruan tinggi di Kupang.
Kasus kedua dengan
korban Pratu Andi Tambara (24), seorang anggota TNI Angkatan Darat yang
bertugas sebagai Babinsa di Kodim 1627 Rote Ndao.
Kasus ketiga dengan
Korban Emanuel Ano (25), seorang pemuda Warga RT. 010, RW. 005 Dusun III, Desa
Kuimasi Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang. Emanuel ditemukan tewas gantung
diri di kebun milik tetangganya pada Jumat, 17 Januari 2025 petang dengan
lokasi penemuan hanya berjarak sekitar 70 meter dari rumah korban
Kasus keempat, Penemuan
mayat korba Irfantus Koana pada Senin, 20 Januari 2025 di Gudang Indomaret Alak
Kota Kupang.
Diantara sekian banyak
kasus tersebut, kasus bunuh diri terbanyak terdapat diantara kaum mudah, mahasiswa
dan pelajar dimana yang menjadi penyebabnya adalah kesehatan mental, ganguan
psikis; putus asa dengan tugas, putus cinta, bullyng, dan tekanan sosial dan
ekonomi. Dari data tersebut saya berpikir bahwa semakin tinggi presentasi kasus
bunuh diri di Indonesia, membuat kasus bunuh diri tidak lagi asing di kalangan
masyarakat Indonesia itu sendiri.
Alasan Filosofis Bunuh diri
Ada banyak penelitian
yang menyimpulkan bahwa fenomena bunuh diri dilakukan dengan latar belakang
yang berbeda-beda yang disebabkan oleh ketidaksiapan seseorang atas kondisi dan
kenyataan hidup yang dialaminya. Akibat semakin kompleksnya persoalan-persoalan
hidup yang dihadapi seseorang, membuatnya mengambil keputusan untuk mengakhiri
hidup dengan cara bunuh diri. Ada banyak cara untuk orang bunuh diri dan cara
yang lazim terjadi itu seperti gantung diri, melompat ke jurang, menyayat nadi
dan meminum racun.
Sampai saat ini
beberapa alasan dibalik kasus bunuh diri masih mennjadi misteri. Orang hanya
mengambil kesimpulan berdasarkan isu-isu yang beredar dalam masyarakat dan
hanya berdasarkan perspektifnya sendiri yang mungkin saja dapat menjadi alasan
yang tepat mengapa seseorang melakukan bunuh diri. Dalam opini ini saya akan
memberikan beberapa alsan filosofis dari beberapa filsuf terkait kisah-kisah
tragis bunuh diri yang dianalisis berdasarkan sudut pandang mereka
masing-masing.
Artur Schopenhauer; keinginan sebagai penyebab
penderitaan
Artur Schopenhauer,
seorang filsuf berkebangsaan Jerman lahir pada tahun 1780, ia mengatakakan
bahwa kehendak merupakan penyebab dari penderitaan manusia. Penderitaan itulah
yang kemudian memicu orang untuk bunuh diri. Disaat keinginan itu tidak lagi
bisa dipenuhi, manusia akan mengalami penderitaan, ia akan mengutuk dirinya
karena tidak mampu mewujudkan angan-angannya kedalam kenyataan dan yang tersisa
kemudian hanyalah rasa kecewa dan frustrasi. Dari pendapat Schopenhauer ini
mungkin kita bisa bertanya, jika memang kematian adalah gerbang untuk
melenyapkan kehendak, dan itu akan menghilangkan penderitaan, mengapa tidak
bunuh diri saja supaya bebas dari keinginan-keinginan? Tidak, bukan itu solusi
yang tepat. Schopenhauer menawarkan cara yang lain, cara yang lebih dewasa
untuk menghindari penderitaan akibat ketidaksesuaian antara keinginan dan
kenyataan tersebut. Baginya penderitaan itu dihindari dengan cara menolak
kehadirannya. Sederhananya, ekspektasi yang tinggi haruslah dimaklumi bila
tidak terrealisasi. Singkatnya, kita harus belajar menerima kenyataan. Dunia
juga tidak akan kiamat bila apa yang selama ini dikehendaki tidak sesuai
kenyaatan.
Sigmun Freud; “bunuh diri merupakan suatu bentuk
ungkapan kekecewaan”
Sigmun freud
menagnalisis kasus bunuh diri dari perspektif psikologi. Dalam teori
psikoanalisisnya ia menjelaskan bahwa bunuh diri itu disebabkan oleh
konflik internal yang tak terpeccahkan dan juga masalah psikologi yang cukup
dalam. Ia mengatakan bahwa bunuh diri merupakan bentuk kemarahan terhadap diri
sendiri (depresi) sebagai akibat dari pandangan negatif terhadap dirinya,
situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berguna, memandang
dunia menuntut terlalu banyak darinya dan memandang masa depan itu suram.
Situasi ini disebabkan oleh ketidakstabilan suasana hati (mood disorder).
Sehingga bunuh diri merupakn suatu bentuk ungkapan keputusasaan.
Emile Durkheim;
Ia sempat melakukan
penelitian keliling dunia untuk menemukan alasan dibalik orang bunuh diri,
karena tidak juga ia temukan alasan yang memuaskan, lalu ia menyimpulkan bahwa
bunuh diri diakibatkan oleh gagalnya relasi seseorang terhadap lingkungan
sosialnya. Dalam teorinya suicide, ia menemukan empat alasan penyebab orang
bunuh diri;
1. Bunuh diri egoistic (egoistic suicide), biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki sedikit keterikatan dengan keluarga, masyarakat dan komunitas tempat
ia berada sehingga orang merasa terasingkan dari orang lain dan kurang mendapat
dukungan sosial yang penting untuk perkembangan mental dan emosinya.
2.
Bunuh diri
altruistic (altruistic suicide),
merupakan bunuh diri yang disebabkan oleh terlalu mengutamakan kepentingan sosail,
sehingga ia merasa sangat menjadi bagian dari suatu kelompok dan berani
mengorbankan diri untuk melakukan hal yang diaangapnya menjadi kebaikan
masyarakat atau kelompoknya. Misalnya, kasus bom bunuh diri yang sering terjadi
di Indonesia. Bunuh diri autruistik ini lebih diakibatkan oleh kesesatan
berpikir, dimana orang merasa bahwa tindakan yang dilakukannya itu dapat
berguna bagi banyak orang dan itu akan menjamin keselamatanya di akhirat.
3.
Bunuh diri
anomik (anomic suicide) yang dilakukan ketika tatanan, hukum, serta aturan
moralitas sosial mengalami kekosongan.
4. Fatalistik. Bunuh diri fatalistik terjadi ketika
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat. Sehingga membuat individu
atau kelompok tertekan oleh nilai atau norma itu.
Era Modern dan Praktik Sekularisme
Selain alsan-alsan filosofis
diatas salah satu alasan mendasar di era modern ini adalah berkembangnya
paham-paham secular, dimana orang tidak lagi percaya pada nilai-nilai agama
sebagai pedoman dalam bertindak, melainkan orang mengangap agama sebagai
pengekang kebebasan, akibatnya orang bertindak suka-suka sehingga orang mudah
terjebak dalam kenyataan akibat ekspektasi yang berlebihan maka bunuh diri bisa
jadi jalan alternative untuk menghindari penderitaan.
Bunuh Diri; ‘Menyelesaikan Masalah dengan Masalah’
Semua orang pasti
mengalami banyak persoalan-persoalan dalam hidup, dengan tingkat kesulitannya
masing-masing. Namun yang pasti orang selalu berusaha keluar dari
persoalan-persolan tersebut dengan caranya masing-masing, tapi bukan dengan
cara bunuh diri. Manuisa pada kodratnya adalah makluk sosial yang hidup
berdampingan dengan manusia-manuisa lain, berelasi dan berkomunikasi, karena
bagaimanapun pada kodratnya manusia adalah zoom politikon yang hidup
membutuhkan manusia lain. Menjadi suatu hal yang sangat disayangkan ketika
mendengar masih ada orang yang mencoba menyelesaikan persoalan hidupnya dengan
cara bunuh diri bukan dengan cara berkomunikasi, dalam hal ini menyeringkan
masalahnya dengan orang lain atau berkonsultasi dangan para psikolog terkait
masalah yang dialami. Memang tidak semua orang dapat merasakan dan mengalami
persoalan-persoalan hidup yang serupa dengan kita, namun pasti mereka punya
solusi yang setidaknya dapat membantu meringankan persolan-persoalan tersebut.
Berdasarkann alasan-alasan
filosofis diatas, makan bunuh diri sebetulnya disebabkan oleh, keinginan yang
berlebihan dan ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi kenyataan hidup yang
pahit sehingga membuatnya gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,
akibatnya sebagai ungkapan kekecewaan terhadap kenyataan, bunuh diri adalah
jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah dan dapat hidup tenang. Namun
salah itu tidak menyelesaikan apapun, yang ada hanya menyelesaikan masalah
dengan masalah.
Pencegahan Bunuh Diri
Faktanya, bunuh dari
masih bisa dicegah. Ada beberapa tindakan pencegahan yang bisa kamu lakukan,
antara lain:
1.
Mengenal lebih dalam tentang masalah kesehatan mental
Penting untuk mengenali
tanda-tanda masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan
dengan segera dan memberikan intervensi yang tepat.
Konseling dan terapi
psikologi dapat membantu individu untuk mengatasi masalah mereka dan mengurangi
risiko bunuh diri.
2.
Hilangkan stigma negatif seputar gangguan jiwa
Stigma seputar gangguan
jiwa seringkali menghalangi individu untuk mencari bantuan dan dukungan yang
mereka butuhkan.
Hal ini yang kemudian
membuat banyak orang merasa malu atau enggan untuk meminta bantuan dari orang
terdekat atau profesional medis.
Meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang masalah kesehatan mental dan menghilangkan stigma, dapat
membuat individu lebih nyaman untuk mencari perawatan.
3.
Mendorong masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang tindakan bunuh diri
Masyarakat juga harus
lebih menyadari tentang tanda-tanda dan gejala bunuh diri, agar mereka dapat
mengenalinya dan memberikan dukungan kepada orang-orang yang berpotensi
melakukan bunuh diri.
4.
Belajar mengelola stres dan masalah emosional
Mengajarkan
keterampilan untuk mengelola stres dan masalah emosional, dapat membantu
individu untuk mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan yang sering kali
menjadi pemicu bunuh diri.