Sebagai bentuk
manifestasi dari perintah atau amanah konstitusi tersebut, Pemerintah
Prabowo-Gibran mengeluarkan satu ‘jurus jitu’ yaitu Program makan siang gratis,
yang kini dikenal sebagai program Makan Bergizi Gratis. Program ini merupakan
inisiatif pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat, khususnya anak-anak
sekolah dan ibu hamil dan keluarga kurang mampu, serta berfungsi sebagai alat
politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa
program ini juga dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian dari kebijakan
fiskal yang lebih berat, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Di sisi lain, kebijakan
fiskal yang diambil oleh pemerintah, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), dapat meningkatkan beban ekonomi masyarakat. Kedua kebijakan ini,
meskipun terlihat tidak terkait, memiliki keterkaitan yang penting dalam
konteks konstelasi politik nasional dan anggaran negara. Kalau ditarik dari
sudut pandang politik, program makan siang gratis dapat dilihat sebagai alat
untuk menjaga kestabilan sosial dan mendapatkan dukungan rakyat, sementara pada
saat yang sama, kebijakan kenaikan PPN berfungsi untuk meningkatkan pendapatan
negara, namun dapat menambah beban ekonomi masyarakat.
Kenaikan pajak ini
berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat
membebani masyarakat kelas menengah dan bawah. Oleh karena itu, penting untuk
memahami dinamika antara kebijakan sosial dan kebijakan fiskal, serta bagaimana
program makan siang gratis dan kenaikan PPN saling berkaitan dalam konstelasi
politik nasional. Dalam hal ini, program makan siang gratis dapat dianggap
sebagai kompensasi atau penyeimbang dari kebijakan fiskal yang lebih berat.
Masyarakat yang merasa mendapat manfaat dari makan siang gratis cenderung lebih
menerima kebijakan pemerintah secara keseluruhan, termasuk kebijakan pajak yang
lebih tinggi. Dalam hal ini, program sosial tersebut bisa jadi bertujuan untuk
menjaga stabilitas sosial dan mengurangi potensi protes terhadap kebijakan
ekonomi yang lebih kontroversial.
Distraksi dan Opium Sosial
Kali ini Prabowo
mengeluarkan ‘jurus jitu’. Dikatakan jurus jitu karena, ia memainkan politik
populisme. Program makan siang gratis dapat dilihat sebagai bagian dari politik
populisme yang sering kali digunakan oleh politisi untuk mendapatkan dukungan
rakyat. Program ini bisa dianggap sebagai cara untuk meraih simpati rakyat,
terutama masyarakat kelas bawah dan menengah yang sering kali merasa
terpinggirkan secara ekonomi. Dengan menyediakan makanan gratis untuk
masyarakat, pemerintah berusaha menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan
rakyat.
Mengapa Program Makan
Siang Gratis Bisa Dikatakan "Opium"? Program Makan Siang Gratis
dimulai pada 6 Januari 2025 dan menyasar 3 juta penerima awal yang terdiri dari
siswa, balita, serta ibu hamil dan menyusui. Program ini diharapkan akan
melibatkan sekitar 82,9 juta penerima dalam jangka waktu lima tahun ke depan dengan
alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun untuk tahun pertama. Tujuan utamanya
adalah untuk meningkatkan kualitas gizi dan kesehatan masyarakat, serta
mengurangi ketidaksetaraan sosial.
Masyarakat yang
menerima manfaat langsung dari program makan siang gratis merasa terbantu,
namun mereka mungkin tidak memperhatikan atau menuntut perubahan terhadap
kebijakan lain yang bisa merugikan mereka, seperti kenaikan PPN. Kebijakan ini
bisa menenangkan keresahan rakyat dalam jangka pendek, tetapi tidak
menyelesaikan masalah struktural atau masalah ekonomi yang lebih besar.
Analogi ini menunjukkan
bahwa kebijakan yang tampaknya "baik" atau menguntungkan dalam jangka
pendek bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat
dari isu-isu penting lainnya yang mungkin lebih merugikan mereka. Dengan
demikian, meskipun makan siang gratis memberikan manfaat langsung kepada
masyarakat, hal itu bisa berfungsi sebagai "opium" yang membuat mereka
lebih pasif dan kurang kritis terhadap kebijakan lain yang seharusnya lebih
diawasi, seperti kenaikan pajak.
Pada prinsipnya,
program makan siang gratis bisa dipandang sebagai alat untuk menciptakan
ketergantungan sementara yang membuat masyarakat merasa puas dengan kebijakan
pemerintah, sementara pada saat yang sama mengalihkan perhatian mereka dari
kebijakan ekonomi lain yang lebih merugikan, seperti kenaikan PPN. Dalam teori
politik, ini merupakan contoh bagaimana kebijakan sosial dapat digunakan untuk
menjaga kontrol sosial dan mengurangi potensi oposisi terhadap kebijakan yang
lebih kontroversial.
Dalam konteks ini,
pernyataan bahwa program makan siang gratis dapat dianggap sebagai
"opium" bagi masyarakat, mengacu pada konsep kontrol sosial dan
pengalihan perhatian dari masalah yang lebih besar melalui kenyamanan atau
kebijakan yang tampaknya menguntungkan. Analogi "opium" di sini
berakar dari teori Karl Marx, yang dalam karya-karyanya menyebut agama sebagai
"opium rakyat," yaitu alat untuk menenangkan rakyat agar tidak
memperhatikan penderitaan dan ketidakadilan yang ada dalam sistem sosial dan
ekonomi.
Menurut Marx,
"opium" dalam konteks ini mengacu pada cara sistem atau kekuatan yang
dominan (baik itu negara atau elite politik) menciptakan kenyamanan atau
penghiburan semu untuk rakyat, agar mereka tidak melawan atau mempertanyakan
ketidakadilan atau kebijakan yang merugikan mereka. Dalam hal ini, program
makan siang gratis bertindak sebagai "opium" yang menenangkan rakyat
dari ketidakpuasan yang mungkin timbul akibat kebijakan ekonomi lainnya,
seperti kenaikan PPN. Masyarakat yang merasa dimanjakan oleh kebijakan ini
mungkin akan lebih pasrah dan tidak terlalu kritis terhadap kebijakan pajak
yang dapat membebani mereka secara finansial.
Antonio Gramsci sejalan
dengan pendapat Marx. Seorang brilian seperti Gramsci dalam teorinya tentang
“hegemoni” dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana pemerintah atau kekuatan
dominan membentuk konsensus sosial melalui kebijakan yang tampaknya
menguntungkan atau memanjakan masyarakat. Program makan siang gratis dapat
dianggap sebagai salah satu bentuk kebijakan yang "memenangkan" hati
masyarakat, sehingga mereka tidak terlalu memikirkan atau bahkan menentang
kebijakan yang lebih kontroversial, seperti kenaikan PPN. Ini adalah strategi
untuk menjaga stabilitas sosial dan menghindari protes besar dari rakyat.
Dari kedua filsuf yang
sangat termasyur diatas, salah satu teori yang dapat memberikan klimaks tentang
“Program Makan Siang Gratis adalah ‘Opium’ Bagi Masyarakat yaitu Teori
Distraksi (Bread and Circuses). Istilah "Bread and Circuses" (Roti
dan Hiburan) berasal dari Roma Kuno, yang menggambarkan cara pemerintah Romawi
memberikan makanan dan hiburan kepada rakyatnya untuk mengalihkan perhatian
mereka dari masalah politik yang lebih penting. Program makan siang gratis bisa
dilihat sebagai bentuk "roti" yang membuat rakyat merasa puas
sementara mereka dihadapkan pada kebijakan ekonomi yang lebih memberatkan
seperti kenaikan PPN. Dengan demikian, kebijakan ini berfungsi sebagai
distraksi untuk menghindari kritik terhadap kebijakan ekonomi yang lebih
membebani.
Program makan siang
gratis Prabowo dapat berfungsi sebagai bentuk bantuan sosial untuk mengurangi
beban hidup masyarakat, namun di sisi lain, kenaikan PPN yang lebih drastis
dapat membebani mereka dalam hal pengeluaran sehari-hari. Kedua kebijakan ini
dapat saling melengkapi. Program makan siang gratis sebagai kompensasi untuk
beban ekonomi yang lebih tinggi akibat kenaikan PPN. Namun, dari sudut pandang
teori politik, kebijakan sosial seperti ini juga bisa dilihat sebagai cara
untuk menenangkan masyarakat dan mengalihkan perhatian mereka dari
masalah-masalah struktural atau kebijakan ekonomi yang lebih merugikan.