Banyak guru, orang tua
siswa, serta organisasi independen seperti Pusat Studi Kebijakan Pendidikan
(PSPK), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) memiliki posisi yang beragam. PSPK dan FSGI, misalnya, menolak
pengembalian UN. Direktur Eksekutif PSPK, Nisa Felicia, menyatakan bahwa
pengembalian UN akan menjadi langkah mundur (Tempo.co, 30/10/2024). Data dari
FSGI menunjukkan bahwa 87,6% guru yang mengikuti survei menyetujui penghapusan
UN, yang berarti mayoritas guru memilih untuk tidak mengembalikan UN (Detikcom,
24/11/2024). Sebaliknya, Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi, menyatakan bahwa UN
perlu dipertimbangkan kembali dengan perbaikan pelaksanaan dan tata kelolanya
(CNNIndonesia.com, 6/11/2024).
Kemendikdasmen akhirnya
memutuskan untuk kembali mengimplementasikan UN pada 2026. Namun, keputusan ini
harus dilihat sebagai peluang untuk mereformasi asesmen nasional agar selaras
dengan tujuan pendidikan yang lebih luas. Untuk itu, pemerintah perlu
memprioritaskan peningkatan literasi asesmen guru agar asesmen yang diterapkan
mampu mencerminkan kompetensi siswa secara holistik.
Kilas Balik Perjalanan Asesmen Nasional
Pada 2021, di bawah
Menteri Nadiem Makarim, UN yang berbobot tinggi diganti dengan Asesmen
Kompetensi Minimum (AKM). Rasionalisasi penggantian ini adalah untuk mengurangi
efek negatif UN yang penuh tekanan, seperti stres tinggi pada siswa, budaya
“mengajar untuk ujian,” dan ketidakadilan bagi siswa dari latar belakang kurang
mampu. Lebih buruk lagi, tekanan UN sering mendorong praktik ketidakjujuran,
membuat hasilnya tidak andal dan merusak karakter generasi muda.
Sebaliknya, AKM
dirancang sebagai asesmen berbobot rendah yang menekankan literasi, numerasi,
dan pembentukan karakter sesuai tujuan “Profil Pelajar Pancasila.” AKM
memberikan gambaran tentang proses belajar-mengajar di sekolah melalui sampel
siswa di kelas 5, 8, dan 11. Namun, AKM juga menghadapi kritik. Sifatnya yang
berbobot rendah dianggap mengurangi motivasi siswa untuk belajar, dan
pelaksanaannya dinilai belum cukup menjamin mutu pendidikan karena lebih
bersifat formatif dibandingkan sumatif seperti UN (Defianty, 2020).
Tantangan dan Peluang
Baik UN maupun AKM
memiliki tujuan serupa sebagai asesmen terstandar untuk mengevaluasi hasil
pendidikan. Namun, isu inti bukanlah memilih salah satu, melainkan merancang
dan mengimplementasikan asesmen secara berkesinambungan yang mencerminkan
kompetensi siswa secara holistik. Asesmen seharusnya mencakup ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik, bukan hanya persiapan tes keterampilan kognitif.
Literasi asesmen guru
menjadi elemen kunci yang sering terabaikan dalam diskursus ini. Literasi
asesmen, yaitu kompetensi untuk merancang, melaksanakan, dan menginterpretasi
hasil asesmen (Fulcher, 2012), memberdayakan guru untuk mengevaluasi siswa
secara komprehensif. Dengan literasi ini, guru dapat merancang asesmen yang
tidak hanya mengevaluasi pengetahuan, tetapi juga berpikir kritis, kreativitas,
serta pertumbuhan emosional dan karakter siswa.
Rekomendasi dan Jalan Tengah
Saat mempertimbangkan
pengembalian UN, penting untuk menghindari perdebatan biner antara UN dan AKM.
Fokus harus pada menciptakan asesmen yang mendorong pengalaman belajar yang
adil, holistik, dan bermakna. Rekomendasi moderat adalah mengembalikan UN
sebagai asesmen sumatif berbobot rendah (low stakes), yang berfungsi sebagai
alat pemantauan tanpa menjadi penentu “hidup/mati siswa.” Sementara itu,
asesmen berkelanjutan seperti AKM perlu diperkuat dengan memastikan bahwa guru
memiliki kompetensi untuk merancang dan melaksanakannya secara valid dan andal.
Mengintegrasikan UN dan
AKM sebagai bagian dari sistem asesmen yang saling melengkapi dapat memberikan
gambaran lebih utuh tentang kualitas pendidikan. Upaya ini harus disertai
dengan peningkatan literasi asesmen guru melalui program pengembangan
profesional. Dengan demikian, asesmen dapat menjadi alat untuk meningkatkan
pembelajaran, bukan sekadar pengujian.
Kesimpulan
Pendidikan bukan hanya
soal nilai ujian, melainkan tentang membentuk individu yang kritis, kreatif,
dan adaptif. Baik UN maupun AKM harus melayani tujuan ini. Peran guru dalam
mendukung asesmen yang bermakna tidak boleh diabaikan. Dengan pendekatan yang
inklusif dan reformasi yang berorientasi pada tujuan pendidikan holistik,
Indonesia dapat menciptakan sistem asesmen yang adil dan relevan untuk
menghadapi tantangan masa depan.