Namun, realitas tidak
seindah yang dibayangkan. Alih-alih mendapatkan pekerjaan sesuai pendidikannya,
Nesar justru menjadi ojek online. Harapan yang semula ada perlahan memudar,
bahkan ia sering menjadi bahan ejekan di kampung halamannya. Kisah ini disampaikan
langsung di depan Wamen Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer dalam sebuah talk
show.
Cerita sulitnya
mendapatkan pekerjaan bagi sarjana ini nyatanya bukan hanya dialami oleh Nesar.
Kerasahan yang kerap kali terdengar misalnya, persyaratan kerja yang tidak
masuk akal, seperti batas usia maksimal calon pekerja, batas minimal pengalaman
kerja yang jelas sulit dipenuhi oleh fresh graduate, syarat postur tubuh, tampang wajah, bahkan
warna kulit turut menjadi ajang seleksi yang semakin memperparah situasi.
Buntutnya, persaingan
semakin ketat lantaran jumlah lulusan baru terus berdatangan, tapi tidak
sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Tak jarang jadinya
perusahaan semakin selektif dan menambahkan syarat tambahan seperti sertifikat
dan keterampilan khusus yang memerlukan biaya tambahan bagi pelamar kerja.
Fenomena pengangguran
sarjana ini pun menimbulkan ironi. Pendidikan tinggi yang selama ini dianggap
sebagai jalan keluar dari kemiskinan justru sering menjadi jebakan. Banyak
lulusan yang telah menginvestasikan waktu dan biaya besar untuk kuliah, tetapi akhirnya
tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya.
Dalam teorinya tentang credentialism
oleh Randall Collins, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, gelar akademik lebih
berfungsi sebagai alat penyaringan sosial daripada sebagai indikator
keterampilan atau kompetensi yang sebenarnya. Dalam sistem ini, pendidikan
tinggi menjadi syarat formal untuk mendapatkan pekerjaan tertentu, meskipun
keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut bisa diperoleh tanpa
melalui pendidikan formal yang panjang. Akibatnya, terjadi inflasi gelar, di
mana semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperlukan untuk pekerjaan yang
dulu sebenarnya bisa dikerjakan oleh lulusan SMA atau SMK.
Fenomena ini
menyebabkan lulusan perguruan tinggi kesulitan mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan tingkat pendidikannya, sementara di saat yang sama perusahaan
terus menaikkan standar kualifikasi tanpa mempertimbangkan relevansi
keterampilan yang dibutuhkan.
Dalam jangka panjang, credentialism
dapat memperkuat ketimpangan sosial, menciptakan pengangguran terdidik, dan
memicu pertanyaan tentang efektivitas pendidikan formal dalam meningkatkan
kesejahteraan ekonomi individu.
Jika kondisi ini
dibiarkan, kritik Pierre Bourdieu terhadap pendidikan sebagai alat reproduksi
kesenjangan sosial akan semakin terbukti. Menurut Bourdieu, sistem pendidikan
lebih menguntungkan mereka yang memiliki modal ekonomi, kultural, dan sosial,
seperti akses ke sekolah berkualitas, penguasaan bahasa akademik, dan jaringan
relasi yang luas. Sekolah yang seharusnya menjadi sarana mobilitas sosial
justru memperkuat stratifikasi sosial yang sudah ada. Ilusi meritokrasi membuat
ketimpangan ini tampak wajar, padahal kenyataannya, pendidikan hanya semakin
memperkokoh dominasi kelompok tertentu.
Padahal sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, seharusnya mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi individu yang
beriman, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan kompeten.
Namun, apakah sistem pendidikan kita sudah mendekati tujuan tersebut? Ataukah
pendidikan tinggi hanya menjadi ladang komersialisasi yang lebih mengutamakan
aspek bisnis daripada kualitas lulusannya?
Masalah dalam dunia
pendidikan tinggi pun kemudian semakin kompleks. Dalam tulisannya yang berjudul
"Ancaman Distopia Pendidikan Tinggi Indonesia," Imron
Rosyidi menyoroti kesejahteraan tenaga pendidik yang juga ikut menambah
kompleksitasnya. Sebab, penundaan implementasi tunjangan kinerja bagi dosen
berpotensi menciptakan distopia dalam pendidikan tinggi Indonesia. Begitupun,
jika kebijakan ini dibatalkan, dosen akan terus menghadapi beban kerja berat
tanpa apresiasi finansial, yang dapat menurunkan motivasi, meningkatkan eksodus
tenaga pendidik, dan memperburuk ketimpangan antarperguruan tinggi.
Hal ini juga berdampak
pada kualitas pendidikan serta daya saing lulusan Indonesia di tingkat global.
Untuk menghindari krisis kepercayaan dalam sistem akademik, pemerintah seharusnya
memberikan kepastian dalam pelaksanaan kebijakan ini demi menciptakan sistem
pendidikan yang adil dan berkelanjutan.
Namun, permasalahan
dalam pendidikan tinggi tidak berhenti di situ. Ketimpangan fasilitas
antarperguruan tinggi, birokrasi yang berbelit, serta minimnya dukungan
terhadap riset dan inovasi semakin memperburuk kondisi akademik. Jika masalah
ini tidak segera ditangani secara menyeluruh, bukan hanya tenaga pendidik yang
kehilangan motivasi, tetapi juga kualitas lulusan yang semakin tertinggal di
tingkat global.
Reformasi pendidikan
tinggi tidak cukup hanya dengan membangun gedung-gedung megah, tetapi juga
harus mencakup pembenahan sistem secara keseluruhan. Deden Prayitno dari
Perbasnas Institute mengutip pernyataan mantan Menteri Pendidikan Tinggi,
Sains, dan Teknologi, Satryo Brodjonegoro, yang mengidentifikasi tiga
permasalahan utama dalam pendidikan tinggi di Indonesia: Ketimpangan akses,
rendahnya kualitas pendidikan, dan kurangnya keterkaitan dengan dunia industri.
Kurangnya kolaborasi
antara perguruan tinggi dan dunia usaha pun menyebabkan lulusan kurang siap
menghadapi tuntutan kerja yang dinamis sehingga tingkat pengangguran sarjana
semakin meningkat. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus menjalin kemitraan
erat dengan dunia industri, menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan pasar,
serta memperkuat program magang dan pelatihan keterampilan praktis. Pemerintah
juga harus memberikan insentif bagi perusahaan yang mendukung program
pendidikan melalui magang dan pendanaan riset.
Jika masalah ini tidak
segera diatasi, krisis kepercayaan terhadap pendidikan tinggi akan semakin
meluas. Jika lulusan perguruan tinggi tetap mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan yang layak.
Maka, bukan tidak
mungkin anggapan seperti "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau
ujung-ujungnya tetap menganggur?" akan semakin menguat. Begitupun jangan
kaget apabila generasi muda mungkin akan lebih memilih jalur lain yang dianggap
lebih menjanjikan secara ekonomi, meskipun dampaknya seperti tidak mendukung
pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi di negara ini.
Jika persepsi negatif
terhadap pendidikan tinggi terus berkembang, dikhawatirkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia akan menurun dan menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan.