Presiden Prabowo
Subianto baru saja merombak kabinetnya. Baru empat bulan berjalan, satu kursi
sudah berganti pemilik. Satryo Soemantri Brodjonegoro dicopot dari jabatannya
sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, digantikan oleh Brian
Yuliarto. Pelantikan dan pemecatan, dua peristiwa yang tampak berlawanan, tapi
berasal dari mesin yang sama.
Kita selalu melihat
pelantikan dengan optimisme dan pemecatan dengan pesimisme. Tapi, apakah
keduanya benar-benar berlawanan? Ataukah keduanya hanyalah bagian dari satu
siklus yang terus berulang?
Harapan yang Dibangun
Ketika seorang pejabat
dilantik, kita menyaksikan seremoni yang sama: Janji, tepuk tangan, dan pidato
tentang masa depan. Seolah-olah jabatan ini akan mengubah segalanya.
Brian Yuliarto, seorang
akademisi dari Institut Teknologi Bandung, kini masuk ke dalam dunia yang
berbeda. Dari laboratorium, ia beralih ke birokrasi; dari sains, ia masuk ke
politik. Pelantikannya membawa harapan—untuk pendidikan tinggi, untuk sains dan
teknologi, untuk riset yang lebih serius. Tapi apakah pelantikan ini
benar-benar tentang visi, atau hanya soal politik yang sedang mencari
keseimbangannya?
Di dalam politik,
pelantikan adalah cara kekuasaan menyesuaikan dirinya. Presiden ingin
menunjukkan bahwa pemerintahannya bergerak, merespons kritik, memastikan semua
tetap berjalan sesuai arah yang diinginkan. Tapi, lebih dari itu, pelantikan
adalah pesan: Bahwa jabatan bukan sesuatu yang tetap, bahwa setiap menteri
harus ingat bahwa mereka bisa dicopot kapan saja.
Setiap pejabat yang
dilantik masuk dengan dua pilihan: Apakah ia akan mengubah sistem, atau ia akan
menjadi bagian darinya?
Kekuasaan yang Menjaga Diri
Jika pelantikan adalah
produksi harapan, maka pemecatan adalah cara kekuasaan mengatur ulang dirinya
sendiri.
Satryo Soemantri
Brodjonegoro diberhentikan. Mungkin ia gagal menjalankan tugasnya, mungkin ia
tidak cukup cepat beradaptasi dengan kehendak istana. Tapi, dalam politik,
pemecatan jarang hanya tentang kinerja. Ia lebih sering tentang
keseimbangan—tentang bagaimana seorang pejabat masih bisa cocok dengan irama
kekuasaan.
Seorang menteri bisa
saja bekerja dengan baik, tetapi jika ia tidak sesuai dengan politik yang
sedang berjalan, ia akan disingkirkan. Ini bukan soal benar atau salah, tetapi
soal relevansi politik. Kita sering berpikir bahwa pemecatan adalah tanda
kegagalan. Tapi sering kali, ia hanya tanda bahwa kekuasaan sedang menata ulang
barisannya.
Menteri bukanlah
pengambil keputusan tertinggi, mereka hanya perwakilan dari sesuatu yang lebih
besar. Dan dalam kekuasaan, yang lebih besar selalu lebih penting dari yang
kecil.
Antara Loyalitas dan Kemampuan
Setiap menteri
menghadapi dilema: Apakah ia bekerja untuk kepentingan publik atau untuk
kepentingan politik yang menunjangnya?
Brian Yuliarto mungkin
memiliki ide-ide besar untuk pendidikan tinggi dan riset, tetapi ia juga harus
memahami batas-batasnya. Seorang menteri tidak bekerja sendirian. Ada sistem,
ada kepentingan, ada tekanan.
Dan ini adalah
pertanyaan klasik dalam politik: Apakah pejabat dipilih karena kompetensinya,
atau karena loyalitasnya?
Di banyak negara, kita
melihat bahwa jabatan menteri sering kali lebih tentang keseimbangan politik
daripada tentang keahlian. Seorang akademisi bisa menjadi menteri, tetapi itu
tidak berarti bahwa sains akan lebih diutamakan. Seorang teknokrat bisa
memimpin birokrasi, tetapi itu tidak berarti bahwa birokrasi akan berjalan
lebih profesional.
Yang menentukan bukan
siapa yang duduk di kursi itu, tetapi bagaimana kekuasaan bekerja di
belakangnya.
Dua Wajah, Satu Mekanisme
Kita sering melihat
pelantikan sebagai kemenangan dan pemecatan sebagai kekalahan. Tapi, keduanya
adalah bagian dari mesin yang sama.
Seorang menteri
dilantik bukan hanya karena ia diharapkan membawa perubahan, tetapi juga karena
ia dianggap bisa menjalankan arah politik yang telah ditentukan. Seorang
menteri dicopot bukan hanya karena ia gagal, tetapi karena ia tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan politik saat itu.
Dalam politik, jabatan
bukanlah tujuan, melainkan alat. Menteri bukanlah pemegang kekuasaan sejati,
mereka hanya bagian dari sistem yang lebih besar. Mereka bisa diangkat, mereka
bisa dicopot.
Dan sistem ini akan terus
berjalan, dengan atau tanpa mereka. Apa yang Sebenarnya Berubah?
Setelah semua seremoni
selesai, setelah satu pejabat pergi dan yang lain masuk, pertanyaannya tetap
sama: Apakah ini benar-benar mengubah sesuatu?
Di banyak negara,
perubahan menteri tidak selalu berarti perubahan kebijakan. Yang berganti
adalah wajah, tapi sistem tetap sama. Brian Yuliarto mungkin akan membawa
gagasan baru, tetapi apakah ia bisa menjalankannya? Ataukah ia hanya akan
menjadi bagian dari birokrasi yang sama, dengan ritme yang sama?
Sejarah politik kita
penuh dengan pergantian pejabat, tetapi yang benar-benar penting bukanlah siapa
yang duduk di sana, melainkan apakah sistem ini benar-benar bekerja untuk
rakyat. Karena di luar istana, di luar pidato dan seremoni, yang paling
menentukan bukan siapa yang menjadi menteri hari ini, tetapi apakah kebijakan
yang dihasilkan benar-benar membawa perubahan.
Pelantikan dan
pemecatan hanyalah dua wajah dari mekanisme yang sama. Dan dalam politik,
wajah-wajah akan terus berganti, tetapi kekuasaan tetap berada di tempatnya.