Dua perempuan, dua
realitas berbeda, namun satu benang merah yang sama: suara-suara dari pinggiran
yang terlalu sering kita abaikan. Dari "Nenengisme" hingga kritik
sang guru honorer, ada pelajaran mendalam tentang bagaimana seharusnya kita
merancang masa depan pendidikan Indonesia.
Neneng tidak mengerti
Marxisme—ia bahkan mengira itu nama sebuah band. Tapi tanpa disengaja, ia
justru menjalankan esensi dari teori kritis sosial dengan memberdayakan petani
perempuan di akar rumput. Sementara itu, sang guru honorer yang telah mengabdi 18
tahun di pelosok Jambi dengan berani mempertanyakan janji-janji politik:
"Bukan basa-basi pak, bukan sekadar omong-omong. Kami datang ke pelosok
untuk apa kesini? Untuk mendapatkan kesejahteraan."
Inilah ironi pendidikan
kita hari ini: kita sibuk membangun Sekolah Rakyat yang mengilap,
mengimplementasikan kurikulum internasional, dan merancang proyek prestisius,
sementara suara-suara paling otentik dari lapangan—seperti Neneng dan sang guru
honorer—tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari diskusi kebijakan
pendidikan nasional.
Padahal, bukankah
mereka yang setiap hari berhadapan langsung dengan realitas di lapangan yang
seharusnya menjadi pusat dari setiap perumusan kebijakan? Guru yang berjalan
kaki tiga jam untuk mencapai sekolah terpencil dengan gaji Rp300.000 per bulan
tahu persis apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di
pelosok. Petani perempuan seperti Neneng yang setiap hari berjuang melawan
tengkulak dan lintah darat memahami dengan jernih bagaimana ketimpangan ekonomi
mempengaruhi akses anak-anak terhadap pendidikan berkualitas.
Jika kita serius ingin
merancang masa depan pendidikan yang lebih adil dan bermakna, kita perlu mulai
mendengarkan—benar-benar mendengarkan—suara-suara dari pinggiran ini.
Pertama, mari kita
bicarakan soal guru honorer. Dengan pendekatan top-down yang selama ini kita
terapkan, nasib mereka seolah hanya menjadi catatan kaki dalam grand narrative
pembangunan pendidikan nasional. Padahal, merekalah ujung tombak pendidikan di
daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau guru PNS. 18 tahun mengabdi tanpa
kepastian status dan kesejahteraan yang layak—jika ini terjadi dalam konteks
industri, kita akan menyebutnya sebagai systemic exploitation.
Program Makan Bergizi
Gratis yang menjadi andalan pemerintah saat ini pun, seperti dikatakan sang
guru, "belum banyak sampai ke daerah, termasuk ke daerah kami." Ini
menunjukkan bahwa ada jurang lebar antara kebijakan yang dirumuskan di Jakarta
dan implementasinya di lapangan. Kita membutuhkan lebih dari sekadar
program-program yang fotogenik; kita butuh komitmen jangka panjang untuk
mengubah kondisi struktural yang menyebabkan ketimpangan pendidikan.
Kedua, pelajaran dari
Nenengisme. Tanpa pelatihan formal dalam teori sosial atau aktivisme, Neneng
berhasil memberdayakan kelompok perempuan petani di sekitarnya dan menciptakan
dampak nyata. Celotehannya yang kritis di media sosial—"Petani nanam,
lintah darat senyum. Petani panen, tengkulak tepuk tangan. Pas petani ngeluh?
Pemerintah bilang 'sabar ini ujian hidup'"—mengungkapkan kebenaran tajam
tentang bagaimana sistem ekonomi kita beroperasi.
Pendidikan yang
transformatif seharusnya seperti ini: membuka mata kita tentang ketidakadilan
struktural dan menginspirasi tindakan kolektif untuk mengubahnya. Tapi berapa
banyak kurikulum sekolah kita yang benar-benar mengajarkan hal ini? Berapa
banyak guru yang diberi kebebasan untuk mendorong siswa berpikir kritis tentang
sistem yang tidak adil dan membayangkan alternatif yang lebih baik?
Mungkin inilah yang
kita butuhkan untuk masa depan pendidikan Indonesia: sebuah pendekatan yang
menggabungkan kebijaksanaan akar rumput dengan dukungan struktural yang memadai.
Kita perlu menciptakan ruang di mana suara-suara dari lapangan—guru honorer di
pelosok, petani perempuan seperti Neneng, siswa dari keluarga miskin—dapat ikut
membentuk arah kebijakan pendidikan.
Bayangkan jika kita
mendirikan DPR (Dewan Pendidikan Rakyat) di setiap kabupaten, di mana
perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat—termasuk guru honorer, petani,
buruh, dan tentu saja siswa sendiri—dapat berpartisipasi dalam merumuskan
kebijakan pendidikan lokal. Bayangkan jika kementerian pendidikan memiliki
program "mendengarkan langsung dari lapangan" yang terstruktur, di
mana pembuat kebijakan secara berkala menghabiskan waktu di sekolah-sekolah
terpencil untuk benar-benar memahami tantangan di lapangan.
Bayangkan jika anggaran
pendidikan kita dialokasikan berdasarkan prinsip keadilan, bukan sekadar
pemerataan—memberikan lebih banyak sumber daya untuk daerah-daerah yang selama
ini tertinggal dan memastikan guru-guru di pelosok mendapat insentif yang
layak. Ini bukan soal belas kasihan; ini soal investasi strategis untuk masa
depan bangsa.
Kritik tajam sang guru
honorer kepada Presiden Prabowo perlu kita jadikan cermin: "Honorer di
Provinsi Jambi ini adalah bagian dari rakyat Indonesia, rakyat Jambi yang harus
diperbaiki kehidupan." Bukankah ini esensi dari demokrasi? Bahwa pemimpin
dipilih untuk melayani seluruh rakyat, termasuk mereka yang jauh dari pusat
kekuasaan?
Dan dari Nenengisme,
kita belajar bahwa perubahan sejati seringkali bermula dari inisiatif lokal
yang sederhana—sekelompok perempuan yang bersama-sama membabat lahan, menanam
sayur, dan saling mendukung. Pendidikan transformatif harus berakar pada
realitas semacam ini, dan berfungsi sebagai katalysator untuk memberdayakan
komunitas, bukan mengalienasi mereka.
Jika kita benar-benar
ingin menciptakan sistem pendidikan yang adil dan bermakna, kita harus berhenti
memperlakukan masyarakat di daerah terpencil sebagai "penerima pasif"
kebijakan yang dirumuskan dari atas. Mereka adalah pemegang pengetahuan lokal
yang berharga, agen perubahan yang potensial, dan pemimpin di komunitas mereka
sendiri.
Neneng tidak perlu
memahami teori Marxisme untuk menjalankan prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat. Guru honorer dari Jangkat tidak perlu gelar dalam kebijakan publik
untuk mengidentifikasi ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan kita.
Mereka hidup dalam realitas itu setiap hari. Dan kita akan menjadi lebih bijak
jika mulai mendengarkan apa yang mereka katakan.
Pada akhirnya, masa
depan pendidikan Indonesia tidak akan ditentukan oleh seberapa megah Sekolah
Rakyat yang kita bangun atau seberapa canggih teknologi yang kita gunakan. Ia
akan ditentukan oleh seberapa serius kita mendengarkan suara-suara dari
pinggiran, dan seberapa berani kita merombak struktur yang melanggengkan
ketidakadilan.
Seperti kata Neneng
dalam salah satu status Facebook-nya: "Karl Marx ingin menghapus
kapitalisme, KWT Mentari ingin menghapus hama dan gulma." Dalam konteks
pendidikan, mungkin tugasnya akan sama: menghapus hama ketidakadilan dan gulma
birokrasi yang menghalangi tumbuhnya sistem pendidikan yang benar-benar
melayani seluruh anak bangsa.
Salam
Cerdas dan Humanis.