Kekuasaan, dalam banyak
kasus, memang tak lagi dipahami sebagai sarana. Ia menjadi tujuan itu sendiri.
Ketika seseorang berkuasa, ia tak hanya mengatur; ia merasa memiliki. Ia tak
sekadar membuat kebijakan, tapi juga memelihara ilusi bahwa tak ada yang lebih
pantas dari dirinya. Di situlah candu bekerja. Pelan. Dalam. Mematikan.
Lord Acton seorang
filusuf hukum dan kenegaraan inggris pernah berkata: “Kekuasaan cenderung
korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Kalimat itu sering dikutip,
tapi jarang direnungi dengan jujur. Mungkin karena kita sudah terlanjur percaya
bahwa kekuasaan bisa ditaklukkan dengan moral. Padahal justru moral-lah yang
pertama kali tumbang ketika kekuasaan menggoda. Bahkan orang-orang yang tadinya
bersih, bisa mendadak lupa arah ketika duduk di kursi. Sebab candu tak mengenal
siapa yang dulu baik, siapa yang dulu jahat. Ia hanya menunggu waktu.
Candu kekuasaan membuat
pemimpin lupa bahwa ia hanya penyewa kamar, bukan pemilik rumah. Bahwa
kekuasaan itu sementara, bukan warisan. Tapi siapa yang sedang menikmati candu
tak lagi melihat waktu. Ia hanya ingin terus. Terus. Dan terus. Karena bagi
yang sedang mabuk, berhenti adalah penderitaan.
Lihatlah sejarah kita.
Kekuasaan yang terlalu lama bersemayam selalu menghasilkan bencana. Orde Lama
jatuh bukan hanya karena ideologi, tapi juga karena lupa batas. Orde Baru
runtuh bukan semata karena krisis ekonomi, tapi karena kekuasaan telah
kehilangan rasa malu. Dari Sukarno ke Soeharto, dari reformasi ke demokrasi
elektoral, kita melihat satu pola yang sama: kekuasaan yang tidak diawasi akan
tumbuh liar. Ia menjadi kepercayaan diri yang melampaui akal sehat, dan
akhirnya melahirkan tirani dalam bungkus stabilitas.
Hari ini, candu itu
tampaknya masih bekerja. Di balik senyum para pejabat, di balik narasi-narasi
pembangunan, ada rasa takut kehilangan kuasa yang dibungkus dalam retorika
pengabdian. Kekuasaan tidak lagi dipertanggungjawabkan, tetapi dipertahankan.
Bahkan dengan siasat paling busuk sekalipun. Perubahan konstitusi, rekayasa
hukum, manipulasi lembaga — semua dijalankan demi satu hal: tetap berkuasa.
Tapi mengapa kekuasaan
begitu menggoda?
Mungkin karena dalam
kekuasaan, seseorang merasa lengkap. Ia dipanggil dengan gelar. Ia dikawal ke
mana-mana. Ia dilayani, dihormati, dan dipatuhi. Bahkan kesalahannya pun bisa
dianggap kebijakan. Dalam kekuasaan, ego menemukan rumah. Itulah candunya.
Kekuasaan memberikan rasa cukup bagi jiwa yang kosong. Dan ketika rasa cukup
itu perlahan-lahan memudar, ia mencari lebih. Seperti candu, satu dosis tak
pernah cukup. Selalu ingin lagi, dan lagi.
Masalahnya, kekuasaan
tidak pernah netral. Ia bisa menyelamatkan atau menghancurkan, tergantung siapa
yang memegangnya. Dan dalam sistem politik yang buruk, kekuasaan lebih sering
menjadi alat untuk mengamankan diri daripada menyejahterakan rakyat. Ia
digunakan untuk membungkam, bukan mendengar. Untuk melanggengkan dinasti, bukan
membangun demokrasi.
Di negeri ini, kekuasaan
bahkan diwariskan. Anak penguasa menjadi penguasa. Menantu menjadi calon.
Saudara menjadi penjaga kekuatan. Seolah kekuasaan adalah harta benda yang bisa
diwariskan di balik meja makan. Tak ada lagi rasa malu ketika konflik
kepentingan dijalankan terang-terangan. Bahkan lembaga-lembaga independen pun
dirangkul, dikooptasi, dan dipaksa menjadi bagian dari drama kekuasaan.
Inilah titik di mana
candu menjadi sistemik. Ia tak lagi bersarang dalam diri satu orang, tapi
menjadi bagian dari kultur politik. Kita mulai terbiasa melihat kekuasaan
dipertahankan dengan segala cara. Kita mulai terbiasa pada pelanggaran. Pada
pengaburan etika. Pada manipulasi hukum. Dan ketika kebiasaan itu menjadi
wajar, kita sedang menuju negara yang tanpa rasa.
Di tengah semua itu,
rakyat hanya menjadi penonton. Atau lebih tepatnya, ditonton balik oleh
kekuasaan. Karena dalam negara yang mabuk kekuasaan, suara rakyat hanya
dianggap latar. Ia boleh ribut, tapi tak perlu didengar. Ia boleh marah, tapi
akan segera dilupakan. Sebab kekuasaan yang sudah kecanduan tak bisa mendengar
suara selain suaranya sendiri.
Maka kritik dianggap
ancaman. Pers dikontrol, aktivis diintimidasi, kampus dibungkam. Semua
dilakukan bukan demi stabilitas, tetapi demi kelangsungan candu. Sebab mabuk
itu harus dijaga. Jangan sampai terganggu. Jangan sampai berhenti.
Apa yang bisa
menyembuhkan candu kekuasaan?
Jawaban itu tidak
mudah. Karena seperti pecandu lainnya, penyembuhan dimulai dari kesadaran diri.
Tapi kesadaran dalam kekuasaan adalah yang paling langka. Seorang pemimpin
harus berani berkata: cukup. Itu kata yang paling sulit diucapkan dalam
politik. Karena cukup berarti tahu kapan harus berhenti. Kapan harus turun.
Kapan harus memberi jalan.
Sayangnya, kita belum
banyak memiliki pemimpin yang seperti itu. Mereka lebih suka bertahan, bahkan
ketika rakyat sudah muak. Mereka lebih suka memperpanjang, bahkan ketika
demokrasi sudah lelah. Mereka lupa bahwa sejarah hanya menghormati pemimpin
yang tahu kapan pergi.
Di satu titik, candu
kekuasaan akan menumpuk terlalu banyak luka. Rakyat yang diam akan mulai
bicara. Yang takut akan mulai melawan. Dan ketika itu terjadi, perubahan bukan
lagi pilihan. Ia menjadi keharusan. Lalu sejarah akan menuliskan: bahwa
kekuasaan yang dipeluk terlalu erat akan meledak di tangan sendiri.
Saya teringat satu
kisah Zen: Seorang samurai bertanya kepada gurunya, “Apa yang paling sulit
dilakukan oleh manusia?” Sang guru menjawab: “Menaruh pedang saat semua orang
masih menunduk padamu.” Kekuasaan, seperti pedang, memang menggoda untuk terus
diangkat. Tapi pemimpin sejati adalah ia yang tahu kapan harus meletakkannya.
Di negeri ini, kita
masih menanti mereka yang berani menaruh pedang. Mereka yang tidak kecanduan.
Mereka yang tahu: kekuasaan itu untuk mengabdi, bukan untuk menetap.
Dan jika suatu saat
pemimpin seperti itu datang — yang tak mabuk, yang tak rakus, yang tak bertahan
demi diri — maka barangkali kita bisa benar-benar mengatakan: demokrasi belum
mati.